MENINGGALKAN rumah panggung Suharto, kami menuju ke sebuah musala kecil di dalam gang yang sempit. Waktu menunjuk pukul tujuh malam lebih. Azan Isya baru saja berkumandang. Ibu-ibu dan para gadis Pegayaman obral seperti laron di musim penghujan, keluar dari lubang rumah masing-masing. Mereka, dengan sajadah dan mukenah, berduyun-duyun menuju tempat yang sama—tempat yang menggelar salat Tarawih berjamaah.
Pegayaman punya sistem sendiri dalam menjalankan salat Tarawih. Alih-alih barengan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana umumnya di tempat lain, di Pegayaman, antara laki-laki dan perempuan, punya waktu dan tempat masing-masing.
Perempuan Pegayaman menjalankan salat Tarawih sekira pukul tujuh malam atau lebih—selepas salat Isya, tak ada bedanya dengan tempat lain. Mereka berjamaah di musala atau di rumah-rumah warga.
Sedangkan salat Tarawih laki-laki digelar satu jam setelah perempuan selesai salat, atau lebih tepatnya pukul sepuluh malam. Jika perempuan berjamaah Tarawih di musala atau di rumah-rumah warga, laki-laki melaksanakannya di masjid—walaupun ada beberapa lelaki yang mengerjakan Tarawih di musala, bersamaan dengan perempuan.
“Mungkin mereka punya alasan lain untuk itu,” ujar Suharto saat melihat beberapa pria salat Tarawih di musala.
Salat Tarawih berjamaah di Masjid Safinatus Salam Pegayaman | Foto: Jaswanto
Salat Tarawih di musala tentu bukan sebuah kesalahan. Toh, sistem yang dianut masyarakat Pegayaman juga bukan suatu keharusan. Ini hanya tradisi, bukan syariat. Alasan tetua Pegayaman, dulu, melaksanakan Tarawih pukul sepuluh malam karena menunggu jamaah yang tinggal jauh dari Masjid Safinatus Salam—satu-satunya masjid yang berdiri di desa ini, dari dulu hingga kini.
Desa Pegayaman memang memiliki wilayah gografis yang cukup luas. Penduduknya tak hanya tinggal di pusat desa, tapi tersebar sampai ke bukit, lembah, dan tengah kebun yang jauh.
Wilayah Pegayaman dibagi menjadi lima banjar atau dusun, yaitu Dauh Margi (Barat Jalan), Dangin Margi (Timur Jalan), Kubu Lebah, Kubu, dan Amertasari. Khusus penduduk di Banjar Amertasari, mereka lebih banyak memeluk agama Hindu. Sedangkan sisanya kebanyakan Muslim. Dan selama ini, tak pernah ada pertikaian antaragama di sini.
Jika ada perkelahian, orang-orang Pegayaman tak menganggapnya sebagai gejolak agama, tapi karena urusan pribadi masing-masing. Mereka saling percaya, tak ada agama yang mengajarkan—atau menghendaki—pertikaian yang menyebabkan perpecahan di tubuh sendiri.
Musala kecil itu sudah diisi puluhan ibu-ibu, gadis-gadis, anak-anak perempuan, dan beberapa lelaki—yang jumlahnya tak lebih banyak dari jari tangan. Seperti petapa bijak yang baru saja keluar dari tempat pengasingannya, kakek tua itu memasuki musala. Dialah yang bertugas menjadi imam malam ini. Sebagaimana orang yang dituakan dan dihormati, perangainya tampak jauh dari dunia hitam.
Kakek tua itu terbata-bata melantunkan Al-Fatihah. Meski terbata, tapi bacaannya sangat fasih, tak keluar dari hukum tajwid. Suaranya parau dan pelan, meski pernapasannya masih teratur. Tapi fisiknya memang masih bugar. Ia menyelesaikan empat rakaat Isya tanpa hambatan apa pun.
“Tarawih di sini dua puluh rakaat dan tiga rakaat Witir. Jadi semuanya 23 rakaat,” Suharto menerangkan. Saya membayangkan kakek tua yang menjadi imam itu. Diam-diam saya mengaguminya. Sungguh, lelaki yang kuat di umurnya yang tak lagi muda. Ah, atau saya saja yang lemah dan terlalu malas.
Meninggalkan musala di balik gang sempit itu, kami menuju ke musala tempat Perbekel Pegayaman menjadi imam salat Tarawih. Ini sesuatu yang langka, setidaknya di kampung saya. Sependek ingatan, baru kali ini saya menemukan seorang kepala desa menjadi imam salat. Di kampung saya, misalnya, boro-boro menjadi imam, ke musala atau ke masjid saja bisa dihitung pakai jari.
Dan Suharto tertawa saat mendengar hal itu keluar dari mulut saya. Ia merasa bangga memiliki kepala desa yang bisa dan mampu menjadi imam salat. Barangkali ia memiliki bayangan bahwa kepala desanya saat ini semacam khalifah—pemimpin pemerintahan sekaligus imam agama—di zaman dulu.
Kami memasuki lorong-lorong sempit dengan parit-parit kecil di samping rumah warga yang mengalir tak henti-henti. Tampaknya air di Pegayaman masih melimpah. Setapak basah malam itu. Terompah meninggalkan jejak-jejak di tanah yang gembur. Lantunan Al-Fatihah dan surat-surat pendek terdengar dari segala penjuru. Di Pegayaman, musala berserak di mana-mana. Nyaris di setiap gang satu musala teronggok.
Di depan musala tempat kepala desa menjadi imam Tarawih, kami mematung. Belum lama kami datang, kepala desa mengucap salam terakhir. Itu tanda akhir dari rangkaian Tarawih dan Witir. Kami menghampirinya di dalam musala.
Agus Asghar Ali, namanya. Kepala Desa Pegayaman yang sudah menjabat selama tiga periode berturut-turut. Dia, sang kepala desa, alih-alih tampak seperti pejabat pemerintah, dilihat dari perangainya, malah mirip seorang ulama khos pemimpin pondok pesantren tua di pedalaman Jawa. Lihat saja kumis dan jenggot tipisnya yang sudah memutih itu. Dan kata-katanya… Ah, setegas pemuka agama dalam menyerukan amar ma’ruf nahi munkar!
“Tak banyak tradisi yang berubah di sini,” ujar Asghar Ali. “Selama itu tidak bertentangan dengan agama, kami berusaha untuk melestarikan dan mempertahankannya,” sambungnya diplomatis. Perbekel paruh baya ini bercerita panjang lebar tentang bagaimana masyarakat Pegayaman masih menganut budaya lama, seperti misalnya Tarawih di masjid pukul sepuluh malam.
Mendengar apa yang dikatakan Asghar Ali, bisa dibilang tak banyak perubahan terjadi di Pegayaman, maksudnya dalam hal kepercayaan, tradisi, dan kebudayaan. Perubahan barangkali hanya terjadi pada bentu fisik, bukan jiwa Pegayaman. Tradisi-tradisi lama pada saat bulan Puasa, seperti ngejot, misalnya, kata Ali, masih berlangsung hingga kini. Para tetangga, sanak keluarga, handai tolan, saling berbagi kudapan dengan mengantarkannya ke rumah-rumah. Ngejot biasanya dilakukan secara bergantian, meski tak jarang bersamaan.
Berbincang dengan Perbekel Pegayaman (tengah berpeci hitam) | Foto: Jaswanto
Salah satu faktor penyebab budaya di Pegayaman tak banyak berubah, menurut Ali, dikarenakan tak banyak hal luar yang masuk ke Pegayaman. Benar. Masyarakat Pegayaman sangat selektif terhadap hal baru di luar sana, sebut saja pariwisata, misalnya. Istilah yang sangat populer di Bali ini, sebisa mungkin, tak mempengaruhi Pegayaman—apalagi tergoda olehnya. “Bukannya kami menolak pariwisata, kami hanya mempertimbangkan banyak hal!” ujar Ali serius.
Dalam kacamata destinasi wisata, Pegayaman sebenarnya memiliki potensi. Selain menarik sebagai tempat yang sering dikunjungi untuk penelitian Islam di Bali, kesenian dan sumber daya alam Pegayaman berpotensi masuk radar pariwisata. Pegayaman menyimpan banyak hal. Dari keindahan alam, kesenian, kebudayaan, hingga peninggalan sejarah masa silam. Di Pegayaman, masih ada jejak tentara Jepang saat menjajah Hindia Belanda.
“Di sini ada benteng di masa penjajahan Jepang. Mereka menyuruh orang Pegayaman untuk membangunnya. Letaknya di bukit sana. Lumayan jauh dari sini,” kata Ali kepada kami. Sepertinya Pegayaman memang wilayah strategis sebagai benteng pertahanan. Kita tahu, jauh sebelum Jepang menginvasi Hindia Belanda—dan membangun benteng di Pegayaman—I Gusti Anglurah Panji Sakti, Raja Buleleng pertama, sudah melakukannya terlebih dahulu.
“Tapi kami tidak merawat benteng Jepang itu,” kata Ali lagi. Saya agak kaget mendengarnya. “Buat apa? Orang-orang Pegayaman tidak menganggapnya penting!” sambungnya. Saya dibuat lebih kaget lagi setelah mendengar ucapannya. Saya tak setuju dengan pikiran semacam itu. Tapi juga tidak mau membantahnya sekarang. Alasan Ali tak merawat peninggalan sejarah itu, selain karena menganggap itu bukan sesuatu yang penting, juga nanti akan mengundang lebih banyak orang luar datang ke Pegayaman. Tampaknya, secara tidak langsung, Ali memang tak tertarik dengan rayuan pariwisata. Tapi bukankah pariwisata dapat menambah pendapatan warga, Pak Ali?
“Leluhur kami memberi pesan, antara urusan dunia dan akhirat harus seimbang, kalau bisa malah 70 akhirat, 30 dunia. Jadi, kami belum membutuhkan pariwisata. Yang penting adalah, masyarakat Pegayaman masih menegakkan agama Islam, dan mempertahankan tradisinya. Saya tidak mau menjadi penyebab perubahan yang buruk bagi Pegayaman,” ujar Ali, lagi-lagi diplomatis.
Malam kian beranjak. Ali masih berbicara. Kali ini omongannya ke mana-mana. Lompat sana-lompat sini. Banyak hal yang tak saya setujui. Tapi buat apa juga mengutarakannya. Toh, saya datang ke Pegayaman untuk bertanya, bukan memberi pernyataan. Jadi, lebih baik saya telan bulat-bulat ketidaksetujuan itu.
***
Kami meninggalkan Ali yang menggebu-gebu. Masjid adalah tujuan selanjutnya. Tapi sebelum benar-benar memasuki kawasannya, Suharto mengajak kami berhenti di sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat tadarus Al-Qur’an besama-sama. “Ini juga salah satu tradisi kami saat bulan Ramadan,” tutur penulis buku Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Bali itu.
Sebagaimana di tempat lain saat bulan Puasa, umat Islam di Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, setelah selesai salat Tarawih, juga melangsungkan tadarus Al-Qur’an bersama-sama. Bedanya, jika di tempat lain tadarus bersama hanya dilakukan di musala atau masjid, di Pegayaman, digelar di tiga tempat sekaligus, yakni musala, masjid, dan rumah-rumah warga.
Seperti halnya pelaksanaan salat Tarawih di masjid pada pukul sepuluh malam, tadarus di rumah-rumah warga ini juga sudah berlangsung sejak dulu—ini adalah tradisi warisan leluhur orang-orang Pegayaman yang sudah berabad-abad menghuni wilayah pemberian Raja Buleleng pertama itu.
Di Pegayaman, tak hanya satu atau dua rumah saja yang menggelar tadarus bersama, tapi nyaris delapan dari sepuluh rumah melakukannya. Para tetangga, handai tolan, sanak-keluarga, kadang kala datang bergantian di setiap rumah warga yang menggelar tadarus.
Dan dalam semalam, di semua tempat, entah di musala-masjid-rumah, mereka biasa—dan harus bahkan—membaca Al-Qur’an sampai tiga juz. Orang-orang Pegayaman, selama bulan Puasa, bisa khatam Al-Qur’an sampai tiga kali. Aturannya memang begitu sejak dulu.
Anak-anak tadarus bersama di rumah Abdul Hadi | Foto: Jaswanto
Di rumah sederhana itu, anak-anak laki-laki dari umur SD sampai SMA bergerombol menghadap kitab suci Al-Qur’an yang mereka bawa. Mereka sedang menunggu giliran untuk membaca. Sementara anak lain sedang membaca, mereka menyimaknya dengan khusyuk. Anak-anak itu melakukannya setiap malam seusai salat Tarawih ibu-ibu.
Rumah tempat anak-anak tadarus itu miliki salah satu tokoh agama di Pegayaman. Namanya Abdul Hadi. Lelaki berumur 60 tahun itu pernah mondok di Blok Agung, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak dulu, sejak kakek-buyutnya, rumah Abdul Hadi sudah digunakan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak sekitar.
Di rumah inilah, banyak anak-anak Pegayaman yang lancar membaca Qur’an dan tahu dan paham ilmu-ilmu agama lainnya. Sebab, selain sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an, di rumah tersebut juga mengajarkan isi kitab-kitab dasar seputar Islam, fiqih, tajwid, aqidah, seperti kitab Aqidatul Awam karya Syeikh Sayyid Ahmad Al-Marzuqi Al-Maliki Al-Hasani (1205-1261 H) sampai kitab Fathul Qorib-nya Muhammad bin Qasim Al-Ghazi (1455- 1512 M).
“Ada sekitar 150 anak yang ngaji di sini. Bahkan, yang rumahnya jauh, mereka sampai menginap di sini, sudah seperti pondok pesantren,” kata Hadi di tengah-tengah suara anak-anak membaca Al-Qur’an di rumahnya.
Ini suasana yang jarang ditemukan di tempat lain. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa umumnya, pada saat bulan Puasa, tadarus bersama hanya dilaksanakan di musala atau masjid. Di tempat lain, kalaupun tadarus di rumah, biasanya hanya dilakukan sendiri-sendiri, tidak bersama-sama seperti orang Pegayaman.
Oleh karena itu, tentu saja, rumah Abdul Hadi bukan satu-satunya tempat yang menggelar tadarus bersama. Belakangan, tak jauh dari rumah Hadi, di sebuah rumah warga lainnya, orang-orang dewasa juga sedang membaca Al-Qur’an bersama. Bedanya, kalau di rumah Hadi dilakukan setelah salat Tarawih ibu-ibu, sedangkan di rumah-rumah warga lainnya digelar setelah salat Tarawih bapak-bapak—yang dilaksanakan pukul sepuluh malam itu.
Kami menuju masjid. Pukul sembilan malam baru saja lewat, orang-orang Pegayaman mulai berdatangan ke Masjid Jami’ Safinatus Salam—satu-satunya masjid yang berdiri di Desa Pegayaman—dari berbagai penjuru. Mereka, tua-muda-anak-anak, yang tinggal di atas bukit, di balik lembah, di belantara kebun, berbondong-bondong menuju masjid tua kebanggan yang kini dalam tahap pembangunan itu.
Safinatus Salam terlihat semakin megah dari tahun-tahun sebelumnya. Di lantai pertama yang luas, karpet-karpet bercorak Islami terbentang memenuhi ruangan. Satu dua orang lelaki duduk di teras. Sedang kebanyakan dari mereka sudah menempati saf di belakang imam. Saya mengamati mereka dari balik jendela.
Sesekali saya berpaling menuju bedug tua yang bertengger di pojok utara. Saya lupa bertanya kepada Suharto kayu apa yang dipakai ini. Yang jelas, bedug itu cukup besar. Dan ini dibuat tanpa sambungan sedikit pun. Benar-benar kayu utuh yang dilubangi lalu ditutup dengan kulit sapi. Seingat saya, Suharto mengatakan bahwa bedug ini adalah buah tangan masyarakat Pegayaman sendiri, tidak membeli atau pemberian orang lain.
Menjelang salat Tarawih di Masjid Jami’ Safinatus Salam, sambil menunggu jamaah, imam yang bertugas malam itu terlebih dahulu memberi sedikit khutbah agama. Alih-alih menggunakan bahasa Indonesia atau Arab, sang imam memilih menyampaikan ceramahnya menggunakan bahasa Bali halus yang sesekali dilengkapi dengan dalil-dalil kitab suci maupun ucapan Nabi.
Bedug tua di Masjid Safinatus Salam | Foto: Jaswanto
Malam itu, langit Pegayaman cerah dengan satu-dua bintang berkedip menghiasainya. Angin malam berkesiur sejuk. Masjid yang berdiri sejak dulu kala itu, seperti madu yang mengundang lebah berdatangan. Laki-laki Pegayaman berduyun-duyun memasuki pintunya. Tak butuh waktu lama, lima saf panjang penuh terisi. Jamaah merapatkan barisan. Imam memulai salat Tarawih.
Kebiasaan salat Tarawih pukul sepuluh malam ini sudah berlangsung selama berabad-abad silam. Dan ini dilakukan bukan tanpa sebab. Dulu, sebagaimana telah disinggung di atas, permukiman warga Pegayaman masih berjarak-jarak sangat jauh dari masjid—sekarang pun demikian. Tapi zaman itu belum ada kendaraan bermesin seperti sekarang. Jalan pun masih setapak dengan gelap yang pekat.
Mereka yang tinggal di selatan desa, di dataran tinggi Pegayaman, harus turun ke utara dengan berjalan kaki. “Karena alasan itulah, para tetua dulu memiliki kebijaksanaan untuk melangsungkan Tarawih pukul sepuluh malam. Supaya saudara-saudara yang jauh dari masjid tidak telat dan bisa berjamaah,” tutur Suharto memberi keterangan.
Meskipun kondisi hari ini sudah jauh berbeda dengan yang dulu, tapi orang-orang Pegayaman masih mengikuti tradisi tersebut. Mereka bahkan tak memiliki sedikit pun pikiran untuk merubah atau justru menghilangkannya. Tradisi ini dianggap sudah mendarah-daging, tak bisa dilepaskan dari DNA orang Pegayaman. Ketaatannya dalam mempertahankan tradisi, sama besarnya dengan menjaga keimanan itu sendiri.
Selama bulan Puasa, orang Pegayaman seperti tak memiliki waktu istirahat. Selain mengisi hari dengan kegiatan sehari-hari, bekerja mencari nafkah, mereka juga menghabiskan waktu dengan beribadah, salah satunya adalah dengan tadarus bersama setelah salat Tarawih.
“Laki-laki salat Tarawih jam sepuluh malam di masjid. Paling tidak itu membutuhkan waktu satu jam baru selesai. Setelah itu baru tadarus, selesai sekitar pukul dua dini hari. Setelah tadarus, sebentar saja sudah masuk waktu sahur. Pagi sampai siang beraktivitas kerja dan sebagainya. Jadi, waktu tidur di bulan Puasa lebih sedikit daripada hari-hari biasa,” kata Suharto sembari tertawa.
Orang-orang Pegayaman tampaknya memang tak mau membuang-buang kesempatan yang hanya hadir setahun sekali ini. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengisi bulan Ramadan dengan kegiatan yang bernilai akhirat. Musala, masjid, rumah pribadi, bergitu meriah.
Orang-orang berbondong-bondong, beribadah, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang Maha Kuasa. Dan setiap menjelang tengah malam, di sana, ayat-ayat suci Al-Qur’an berkumandang di mana-mana. Bersama lantunan ayat-ayat suci itulah, saya meninggalkan Pegayaman. Membelah angin basah, menuju Singaraja.[T]