BUKU Indonesia dari Pinggir karya Fatris MF menghadirkan perspektif yang segar dan mendalam tentang realitas Indonesia melalui lensa masyarakat pinggiran. Fatris menggambarkan kompleksitas sosial, politik, budaya dengan detail yang tajam, memperluas pemahaman kita tentang keberagaman dan tantangan yang dihadapi oleh berbagai komunitas di Indonesia.
Dengan gaya penulisan yang mengalir dan penuh empati, buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna sebenarnya dari kesetaraan, keadilan, dan persatuan dalam konteks yang beragam.
Indonesia dari Pinggir adalah kontribusi yang berharga untuk literatur Indonesia, yang pastinya akan merangsang pikiran dan menimbulkan refleksi yang mendalam bagi pembacanya. Ada 15 judul esai yang terbagi menjadi 2 bab dalam buku yang diterbitkan Penerbit Partikular tahun 2023 itu. Seluruhnya tidak lepas dari narasi budaya. Petualangan dari Larantuka, Pulau Buru, Ambon, dan lainnya, bagi saya merupakan ekspedisi budaya dari kawasan Indonesia Timur.
Dari awal membaca, pembaca akan merasa disuguhi dengan budaya. Terutama bahasa. Dialog-dialog yang digambarkan dalam tulisan Fatris sangat kuat. Pembaca secara tidak langsung (mungkin) akan menirukan dialek dari orang-orang di wilayah itu. Ketika dijelajahi lebih dalam hingga tulisan terakhir, Fatris tidak pernah lupa menyisipkan budaya pada setiap daerah yang disinggahi.
Tradisi Belis, misalnya. Tradisi itu sampai kini, menurut tulisan Fatris, masih dilakoni. Belis atau sederhananya mungkin seperti mahar. Mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang atau hewan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada pihak perempuan. Belis di wilayah NTT bisa dikata cukup mahal.
Terlepas dari tulisan Fatris, film dari Lasja. F Susatyo yang berjudul Perempuan Tanpa Sumba, Duo Documentary of women in East Sumba, NTT, Indonesia, juga menyinggung tradisi ini. Sekilas dalam film produksi dari Tanakhir Film itu menyuarakan perempuan-perempuan dari Sumba yang tersentuh langsung dengan adat Belis ini. Ada hal-hal yang harus dituruti dan ada pula yang mesti dilawan. Secara tidak langsung, perempuan Sumba di zaman yang modern ini (mungkin) dilema, antara ikatan budaya yang tidak bisa ditinggalkan dan cinta yang mesti diperjuangkan.
Begitu juga dengan tradisi Pasola. Perang berkuda dengan senjata tombak dan lembing itu masih dilakukan hingga kini, meski tombak dan lembingnya telah dimodifikasi. Tulisan Fatris dalam buku Indonesia dari Pinggir ini sangat menarik. Catatan perjalanan yang diabadikan lewat buku ini membantu pembacanya mengenal lekuk tubuh wilayah yang dijejaki Fatris. Cerita yang mengalir seolah pembaca turut melakukan perjalanan bersama. Pengantar-pengantar yang dituliskan Fatris seakan membuat kita sangat dekat dengan daerah-daerah yang seolah terpinggirkan atau bahkan tidak pernah terdengar.
Bergeser ke kampung Waerebo. Desa ini ada di pegunungan Manggarai. Penduduk desa masih mempertahankan budaya tradisional. Salah satunya rumah yang berbentuk kerucut. Desa tua ini masih memegang teguh adat istiadat Manggarai.
Rumah Mbaruniang adalah rumah panggung dengan atap bertingkat. Atap terbuat dari bambu dan sejenis jerami. Rumah-rumah adat itu memiliki nilai sejarah. Di samping itu juga sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan masyarakat Waerebo. Rumah ini sudah sangat sering wara-wiri di televisi. Memuat uniknya, cantiknya dan klasiknya. Tapi dari tulisan Fatris, rumah itu juga digunakan sebagai penginapan dan disewakan. Dan saya baru tahu itu.
Perjalanan yang menggelitik juga digambarkan Fatris dengan apik. Seperti misalnya dialog di bawah ini: “Kakap nama saya,” katanya. Kami bersalaman. Saya terdiam, kok ada manusia bernama ikan?
“Nama ini diberi oleh ibu saya. Ini nama diambil dari nama sebuah kapal yang menyelamatkan ibu saya ketika saya masih dalam perut ibu saya. Orang-orang di sini tidak pernah pusing mencari nama untuk anaknya. Di sini kau akan bertemu lelaki bernama Mesin, Ponten, Yamaha, Arab…,” kata Kakap, matanya setengah pipih menyipit karena sunggingan senyum.
Dan yang lebih mencengangkan adalah harga kerbau yang melangit. Satu kerbau bisa buat beli rumah dan satu mobil. Mungkin bisa juga sisanya untuk dideposito. Orang-orang di Toraja menggunakan kerbau ketimbang sapi untuk upacara keagamaan mereka.
Dan budaya yang paling melekat digambarkan Fatris adalah memakan sirih. Dari awal hingga akhir tulisan budaya itu tidak pernah putus. Penyampaian terhadap keberadaan budaya ini beragam. Ada yang disampaikan secara langsung tokoh itu mengunyah sirih, ada pula disampaikan lewat semiotik seperti warna gigi yang memerah bahkan menghitam akibat dari nyirih.
Dalam buku “Indonesia dari Pinggir” karya Fatris MF, penulis membawa pembaca dalam perjalanan menelusuri berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Timor hingga Kalimantan. Dia tidak hanya menghadirkan gambaran keindahan alam dan budaya setiap tempat yang dikunjunginya, tetapi juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang proyek wisata yang sering kali mengabaikan suara-suara manusia biasa di sekitarnya.
Dengan gaya narasi yang memikat, Fatris menghadirkan nuansa humor dan ironi dalam setiap perjalanannya, memberikan kesan bahwa catatan perjalanan masa kini seharusnya mencakup refleksi dan narasi yang sastrawi.[T]