Menulis sebagai Terapi Jiwa
KETIKA kita punya cerita berupa kisah yang menguras energi, air mata, bahkan berdarah-darah dan kita sanggup melewati liku-liku luka itu dengan baik, sanggup melampauinya satu per satu hingga kau berada di titik saat ini, maka itu artinya kita memiliki kepribadian yang tangguh dan pantang menyerah. Ada kalanya kita merasa lelah butuh berhenti sesaat untuk istirahat. Namun dengan kesadaran penuh harus melanjutkan perjalanan. Boleh menangis, lelah dan istirahat, tapi jangan lupa lanjutkan langkah. Semua hal yang kita lewati itu memang tak harus dikabarkan, namun tak juga harus dilupakan begitu saja.
Semua itu proses jatuh bangun jatuh bangun menaiki anak tangga fase-fase kehidupan. Kita boleh mengabadikan momennya, boleh mencatatnya, mana tahu kelak kita membutihkan semacam “alarm” untuk menolak lupa dan kembali bernostalgia dengan kenangan-kenangan pahit yang kerap membentur-benturkan diri kita dalam kenyataan-kenyataan yang di luar ekspektasi kita, sehingga membentuk pribadi kita saat ini. Meminjam istilah Tan Malaka; “hidup itu terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk.” Mereka dalam menempuh jalan itu akan mengalami ujian, ujian, ujian, baru kemudian bisa menjadi manusia berkarakter.
Tentu saja kita boleh menyimpannya dalam laci ingatan jadi milik sendiri. Tetapi tidak ada juga yang melarang untuk dibagikan kepada teman-teman, siapa tahu ada yang senasib, dan mana tahu ada bonus-bonus lain, misalnya kisah tersebut mampu memberi inspirasi bagi pembaca. Semua punya pilihan masing-masing. Kalau toh menjadi sebuah karya, saya percaya karya itu akan menemukan takdirnya. Apalagi karya yang dahsyat, bonus-bonus lainnya pasti mengikuti. Menjadikan pengalaman sebagai bagian dari proses kreatif tentu selain sebagai self-healing, katarsis, sekaligus mampu menghasilkan karya yang tidak datar-datar saja mirip penggaris.
Kalau pun itu dipublikasi dan melewati kurasi dewan redaksi media tertentu itu sama dengan mengukur seberapa berkualitasnya karya kita di mata orang lain. Tentu yang bisa menilai itu adalah orang lain, bukan? Jadi, mau jadi penulis serius yang bisa menghasilkan, atau mau jadi penulis sampingan seperti saya karena ada tugas utama bekerja dan lain-lain, atau mau jadi penulis tanpa time line, tanpa ingin ada pencapaian, tanpa punya ambisi sekecil apa pun, itu adalah meerupakan pilihan. Mari saling menghormati pilihan masing-masing. Jangan lupa bahwa bisa jadi kita menulis berangkat dari kegelisahan atau perasaan atas situasi tidak baik-baik saja.
Menulis adalah terapi jiwa, di sana ada pelepasan, penerimaan, perdamaian, yaitu berdamai dengan keadaan dan diri sendiri untuk menjaga agar tetap waras dan selalu kuat menghadapi dinamika hidup dan kehidupan ini. Di sana ada proses seni mengolah energi negatif menjadi menjadi dan akhirnya menjadi sebuah karya berbentuk tulisan, entah itu puisi, cerpen, novel, esai, atau apapun. Kemudian karya itu mau diapakan, itu terserah masing-masing. Setiap orang punya kebebasan berekspresi, berpikir dan lain sebagainya. Mari kita hargai jalan masing-masing.
Saya Memilih Sastra dan Menulis Puisi
Sudah lazim perkataan bahwa “sastra tidak muncul dari ruang kosong atau jatuh dari langit, tetapi dari disiplin belajar dan latihan terus menerus.” Buat saya, menulis puisi tidaklah berangkat dari kekosongan dan kesombongan diri, namun justru berangkat dari kegelisahan pikiran, adanya gagasan, serta suara-suara yang berisik di kepala.
Puisi tidak berangkat dari kekosongan atau kehampaan, puisi berangkat dari kegelisahan bahkan puisi adalah upaya untuk mengatasi rasa tidak baik-baik saja seperti cara perempuan dan laki-laki mengungkapkan sesuatu yang berisik dan mengganggu, atau cara lain agar bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri, menjahit keadaan dan perasaan, menambal lubang-lubang kecewa dan terkatuplah semuanya. Menulis adalah sebuah upaya memuliakan kehidupan, mengatasi rasa tidak baik-baik saja demi menjaga kewarasan dan keseimbangan dalam hidup.
Puisi milik semua orang. Menulis puisi menjadi salah satu upaya memeluk diri sendiri. Syukur-syukur dapat memeluk atau paling tidak dapat menyentuh ruang batin orang-orang yang membacanya atau mendengarkannya. Menulis puisi juga adalah sarana berkontemplasi paling elegan dan intelektual. Sebuah lorong sunyi yang panjang di riuhnya rutinitas dan dinamika hidup yang terkadang kompleks.
Menulis puisi sebagai salah satu jalan untuk melakukan pelepasan atau berdamai dengan keadaan dan diri sendiri, sebuah suasana yang tadinya tak baik-baik saja menjadi rileks di dalam aktivitas menulis puisi. Seeperti saya singgung sebelumnya,ini juga bermakna bagaimana mengolah energi negatif menjadi sebuah karya sebagai wujud hal yang positif, serta bagaimana menciptakan sebuah ruang untuk permenungan dan perenungan sebagai sarana untuk “menyembuhkan diri” atau istilah kerennya sekarang adalah healing, serta bagaimana kita memaknainya sebagai proses katarsis, pencerahan, atau munculnya berbagai kesadaran baru.
Pengalaman terbuat dari kumpulan realita, kejadian, fakta, data, entah itu kejadian yang menimpa orang lain ataupun diri sendiri. Kita tentu saja boleh melupakan, menghapusnya, atau sebaliknya, mengenangnya, mencatatnya. Catatan itu bisa ditransformasikan menjadi sebuah karya apa saja, bisa berbentuk puisi, cerpen, bahkan karya seni yang lain seperti rupa dan musik, atau dibiarkan sekedar menjadi buku catatan dan buku harian saja. Semua terpulang pada masing-masing orang.
Catatan itu mau diapakan nantinya itu bebas saja, apakah mau disimpan di lemari milik sendiri, dibukukan, atau dipublikasikan, syukur-syukur menginspirasi yang membacanya. Apalagi jika kejadian yang dicatat tersebut adalah kejadian penting yang bernilai sejarah, atau yang mewakili situasi sosial yang tengah berkembang, atau malah hanya kondisi emosi personal, namun penting untuk disimak. Singkatnya, semua catatan itu penting sebagai bahan pembelajaran.
Apa pun keputusannya, suka-suka menurut keyakinan yang ditempuh masing-masing. Tentu tidak ada yang salah dan itu sangat tergantung kepada mindset masing-masing. Tetapi harus diingat bahwa jalanmu adalah jalanmu, dan itu pilihanmu, sedangkan jalanku adalah jalanku, dan itu pilihanku. Kalau mengutip perkataan Budha; “temukanlah sendiri cahayamu, temukanlah sendiri jalanmu.” Saya yakin sebuah karya akan menemukan takdir baiknya. Tidak punya ambisi sebagai penulis komersial juga sebuah pilihan. Namun, menjadi penulis yang terus berproses juga sebuah pilihan.
Jadi, bahagialah dengan apa yang menjadi pilihan masing-masing. Menurut saya, berkarya bukan untuk gagah-gagahan agar terlihat hebat atau keren, namun bagaimana kita mampu menghasilkan sesuatu yang membawa kepada kemaslahatan orang banyak, dan syukur-syukur dapat menginspirasi pembacanya, apalagi sampai mampu mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Bukankah itu membawa kemaslahatan?
Saya pernah mendengar bahwa karya sastra perlu dibaca banyak orang karena karya sastra turut serta menjaga nilai-nilai dalam perkembangan peradaban. Apalagi di era serba digital, masyarakat cerdas 5.0, kecerdasan buatan atau AI, dan sebagainya, karya sastra sangat dibutuhkan untuk menjaga aspek humanistik dari perkembangan semua aspek. Karya sastra akan memperhalus jiwa manusia, sehingga menjadi berkarakter dalam menghadapi tantangan zaman.
Jadi sekali lai, bagi saya pribadi, menulis puisi berangkat bukan dari kekosongan, apalagi kesombongan. Tidak sama sekali. Saya memulai dari kegaduhan dalam diri, bagaimana belajar pelepasan, berdamai dengan luka, bagaimana mengatasi kegelisahan yang bising di kepala. Saya berangkat dari keinginan untuk “sembuh” atau healing, serta menjadi proses katarsis yang membuat saya tercerahkan.
Kita menjadi dewasa dan bijaksana melalui berbagai benturan, berbagai ujian, kita menghadapi dan melewatinya dengan sepenuh jiwa. Mengutip Nietszche; “sesuatu yang tidak membunuhmu akan membuatmu semakin kuat.” Menulis adalah salah satu cara kita merekam proses “terbentur” tersebut, dan mempublikasikan karya berarti kita membagikan “mutiara” pengalaman tersebut kepada orang lain atau masyarakat. Semua akan menemui takdirnya, dan takdir terbaik adalah, apabila tulisan tersebut memberikan kemaslahatan kepada pembacanya.
Perlukah Karya (Tulisan) Dipublikasikan?
Mempublikasi karya adalah salah satu jalan lain apakah karya kita bisa diterima oleh publik, diterima pembaca melalui kurasi ketat redaksi. Itu juga menjawab pertanyaan; apakah karya kita layak dan cukup melewati persaingan ketat? Sampai di mana kualitas karya kita? Saya rasa kita sendiri sulit mengukurnya. Orang lain lebih mudah melihat noda di wajah kita daripada ktia sendiri, orang lain adalah tempat kita bercermin untuk mengenali diri sendiri.
Itu tidak hanya di dunia sastra semata. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia akademik yang juga sarat dengan menulis. Hasil-hasil penelitian baru akan bermanfaat untuk masyarakat ketika sudah dipublikasikan dan diterapkan. Kecuali kalau si peneliti sangat egois dan hanya ingin menyimpan ilmu pengetahuan berupa hasil risetnya untuk diri sendiri saja. Rasanya tidak ada peneliti yang seperti itu di dunia ini. Kualitas tulisan ilmiah hasil penelitian pun ikut ditentukan oleh publikasi, misalnya di jurnal akademik kualitas apa, apakah Scopus Q1, Q2, dan seterusnya, atau Sinta 1, Sinta 2, dan seterusnya.
Hari-hari membuat kehidupan bergerak semakin dinamis, lalu tumbuh kembang berdampingan dengan problematika yang muncul beragam di tengah kompleksnya kehidupan. Kita berupaya menjaga kesadaran dan menjaga keseimbangan agar tetap waras dan sebisa mungkin keluar dari keterkungkungan keadaan yang tidak menyehatkan hati, pikiran dan perasaan. Semua orang dari segala lapisan adalah pejalan kehidupan yang mengupayakan jalan ketenangan hidup.
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Ini berarti kita harus menulis. Tidak hanya berhenti sampai di situ. “Sampaikanlah ilmu itu walau hanya satu ayat”. Ini berarti kita harus menyampaikan tulisan itu, atau mempublikasikannya, entah berbentuh buku, kuliah, tulisan lepas di internet, dan sebagainya. Kedua kalimat tersebut adalah hadist Nabi Muhammad SAW.
Kita juga mesti ingat ayat pertama yang turun adalah “Iqra’” atau “bacalah”. Kegiatan menulis mesti diawali dengan membaca, membaca, membaca, dan membaca, baru menulis. Membaca kenyataan, membaca kejadian, membaca diri, membaca perasaan, membaca alam, itu juga termasuk awalan sebelum jauh kita mengembangkannya menjadi ilmu, atau menjadikan bakat menulis itu menjadi karya sastra. Sebab tanpa membaca, kita tidak akan pernah tahu “ilmu”, tanpa ilmu kita tidak pernah mengerti artinya menulis, tanpa menulis kita tidak tahu diri kita.
Penutup
Pada akhir tulisan ini saya mengajak diri saya sendiri dan pembaca untuk merenungkan, bahwa Tuhan memberikan jalan dan semesta alam serta semesta waktu akan bahu membahu mendorong kita mewujudkan usaha yang penuh dibarengi doa yang utuh. Semua membentuk harapan yang kuat dan akan memproduksi energi positif yang terus mengalir pada diri kita. Merekam semua perjalanan kehidupan tersebut denan menulis lalu mempublikasikannya supaya dapat dibaca orang lain adalah salah satu jalannya.
Demikianlah manusia saling berbagi pengalaman dan pemikiran serta saling menginspirasi. Semoga segalanya menjadi lebih baik, semua pertumbuhan kita dalam kesehatan spiritual, jasmani maupun mental. Semoga aman, semoga Aamiin. [T]
BACA artikel lain dari penulis EMI SUY