Sutradara: Ashima Chibber; Penulis: Sameer Satija, Ashima Chibber, dan Rahul Handa; Pemeran: Rani Mukerji, Anirban Bhattacharya, Jim Sarbh.
SAYA menonton film ini setelah menyaksikan adegan mengerikan dari Pegunungan Andes dalam film Society of the Snow (2023) garapan sutradara Spanyol Juan Antonio García Bayona dan mengumpati film buruk, drama komedi, berjudul Dunki (2023) yang disutradarai Rajkumar Hirani. Ini film Rajkumar yang jelek—kalau bukan yang terjelek—jika dibandingkan dengan karyanya yang lain. Misalnya, 3 Idiots (2009). Maaf, Mr. Raj. Narasimu melorot di pertengahan.
Dan Shah Rukh Khan, saya tidak menemukan jiwa yang sesungguhnya dari aktor manis dan pandai menangis itu di film Dunki. Kisah cinta Hardy (Shah Rukh Khan) dan Manu (Taapsee Pannu) tidak banyak menciptakan keajaiban. Ini jelas berbeda dengan SRK yang, nyaris selalu, memiliki kisah cinta (bak dongeng) ajaib di beberapa film yang dibintanginya dulu, misalnya, Rab Ne Bana Di Jodi.
Tapi, terlepas dari itu, ini bagian memujinya, selain isu yang diangkat menambah pengetahuan saya, walaupun sedikit, tentang bagaimana London menjadi “Tanah Harapan” bagi orang India, meski bukan yang terbaik dari Hirani, Dunki sudah cukup untuk membuat saya tertawa dan sedikit bergolak—walaupun humor yang disajikan tidak sebanyak, sebaik, dan senatural Rancho atau Phunsukh Wangdu, dkk di 3 Idiots.
Saya menonton film ini juga setelah menandaskan empat season Yellowstone yang menampilkan sosok koboi tua keras kepala-kolot-konservatif John Dutton (Kevin Costner) yang kesepian di lembah Montana bersama kuda dan benteng-bantengnya di peternakan dan ketiga anaknya yang bingung mencari arti kebahagiaan. Juga dua film koboi lainnya, The Professionals dan Silverado.
Mrs. Chatterjee vs Norway (MCVSN) (2023), film yang saya maksud. Saya menonton film ini dengan rasa malas—hujan mengguyur Kota Singaraja nyaris 24 jam, dan itu membuat saya malas melakukan apa-apa kecuali menonton film.
Ini jenis film India dengan unsur Bollywood yang amat minimal: berdurasi dua jam, tanpa goyangan dan pemandangan pegunungan (meski masih ada beberapa lagu ratapan yang diselipkan), serta memakai rentang waktu cerita yang lebih mendekati waktu cerpen daripada roman (yang biasanya ditemukan dalam kebanyakan film India).
Film ini bercerita tentang Debika Chatterjee (Rani Mukerji), imigran India yang tinggal di Norwegia, yang memperjuangkan hak asuh atas kedua anaknya yang dirampas secara paksa oleh petugas layanan kesejahteraan Norwegia Velfred—karena Debika dinilai tidak becus menjadi seorang ibu.
Di sini, di film MCVSN ini, Rani tampak jauh lebih tua dan subur jika dibandingkan dengan ia yang saya lihat di Kuch Kuch Hota Hai (1998), Har Dil Jo Pyar Karega (2000), Chori Chori Chupke Chupke (2001), Veer-Zaara (2004), dan Kabhi Alvida Naa Kehna (2006), dan itu cukup mengejutkan saya. Ternyata waktu begitu cepat melumatnya.
Rani memerankan sosok ibu dari India, yang menurut kacamata orang Norwegia—bahkan suaminya sendiri, Aniruddha Chatterjee (Anirban Bhattacharya), yang ketinggalan zaman, kolot, dan konservatif terhadap kebiasaan India-nya. Di awal film Rani tidak terlalu baik dalam memerankan Debika. Dia begitu lemah dan kebingungan sebagai seorang ibu yang dirampah kedua anaknya.
Tapi di pertengahan, Rani menunjukkan kemarahan yang mengagumkan. Saat suaminya menamparnya, tanpa segan dia membalasnya. Dan betapa epiknya saat dirinya menuangkan susu dan mencampurnya dengan pisang, meremasnya, lalu memamahnya dengan tangan telanjang, tanpa sendok atau garpu sesuai standar moral orang Norwegia. Betapa adegan itu menunjukkan sosok ibu yang marah, bukan saja terhadap sikap suami dan mertuanya yang oportunis, tapi juga kepada Norwegia.
Film ini diadaptasi dari sebuah buku berjudul “The Journey of a Mother” oleh Sagarika Chakraborty, seorang imigran India yang anak-anaknya diambil oleh Layanan Kesejahteraan Anak Norwigia (Barnevernet) pada tahun 2011 silam atas dasar perlakuan yang tidak pantas. Perjalanan dua tahun penuh penderitaan yang dialami Sagarika—termasuk intervensi Kementerian Luar Negeri India yang dipublikasikan secara luas, serta pertarungan hukum dengan Pemerintah Norwegia dan keluarga suaminya—menjadi cerita utama dalam film ini.
Namun, dalam film ini, nama Sagarika telah diganti dengan Debika. Dan Barnevernet dirubah namanya menjadi Velfred. Lebih daripada kisah culas beberapa orang Norwegia dan sosok suami dan ipar yang patriarki juga oportunis, MCVSN menampilkan kisah yang penuh dengan perselisihan sosiokultur antara Timur (India) dan Barat (Norwegia)—diskriminasi sistem Dunia Pertama terhadap disfungsionalitas pola asuh orang tua di Asia Selatan.
Orang-orang Norwegia yang datar, atas nama kesejahteraan anak, telah menjadi monster menakutkan bagi ibu-ibu imigran dari Dunia Ketiga. (Jika Anda kedapatan menyuapi anak Anda menggunakan tangan—tanpa sendok atau garpu—dan menangis di depan buah hati Anda, siap-siap pihak Velfred akan menegur Anda dan menilai Anda sebagai sosok ibu yang tak bermoral dan dengan begitu tak pantas mengasuh darah daging Anda sendiri.)
Ini adalah Debika vs The Rest of the World, yang menolak untuk memberinya martabat sebagai manusia yang kompleks dan memiliki kekurangan. Anak-anak Debika—yang dalam film ini hanya sebatas sebagai catatan kaki, dan itu sangat disayangkan—dirampas tanpa ampun dari orang yang melahirkannya atas nama, sekali lagi, kesejahteraan si anak. Secara tidak langsung ini mencerminkan ironi di zaman ketika negara dan institusi berperang demi melindungi masa depan anak-anak mereka yang tidak bersalah.
Kita tahu, banyak film yang diangkat dari kisah nyata tak sekadar menayangkan estetika, tapi merupakan pernyataan agresi. Pergesekan antara pengasuhan anak cara Barat dan pandangan atas kacaunya orang India dalam memperlakukan keturunan adalah hal yang menarik. (Saya membayangkan bagaimana reaksi orang Norwegia saat melihat ibu-ibu di desa di Indonesia dalam melakukan hal tersebut.)
Debika dianggap sebagai ibu khas India yang gagal—yang tidur bersama anak, menyuapi anak langsung dari tangannya, gagal mengatasi timbulnya autisme, mengaplikasikan celak di mata anaknya, dan bersikap sombong. Dan MCVSN menempatkan sosok Debika sebagai cerminan manusia yang cinta terhadap Tanah Air, betapapun berisik dan keras kepala. Maka tak mengherankan jika Debika dan rekan-rekan nasionalisnya, bersikap defensif dan mencoba menjatuhkan penjahat Velfred—dua cameo berambut pirang yang datar—yang ditampilkan sebagai monster utama yang seperti terjebak dalam film yang salah.
Dua gadis Norwegia pirang yang berperan sebagai agen Velfred dengan seringai jahat, cekikikan, dan tatapan mata mereka, alih-alih berakting dalam melodrama modern, malah tampak sebagai tokoh antagonis perundung dalam drama remaja sekolah menengah yang malu-malu. Dan suami Debika, seorang pria yang awalnya tampak baik, seiring berjalannya film, berubah menjadi monster jahat berkumis dan berkacamata yang bersembunyi di depan sikap tulus dan terlalu sering mengulangi kata “kewarganegaraan”.
Sedangkan para hakim Norwegia ditampilkan sebagai orang Jerman atau Rusia yang kejam, tanpa kompromi. Mertua Debika, ya Tuhan, berperilaku seperti keturunan spiritual karakter Bindu-Bollywood tahun 1990-an. Dan hakim India, yang diperankan Barun Chanda, dibikin seperti Master Shifu yang menyampaikan sulih suara tentang keibuan, dan seorang pengacara wanita—pembela Debika—kecewa dengan argumennya yang flamboyan.
Rani Mukerji sendiri, saat ia berteriak dan berlari sambil menangis mengejar mobil agen Velfred yang menculik anaknya, mengingatkan saya pada sosok Paro yang berlari menuju gerbang rumahnya di saat-saat Devdas (2002) hendak mengakhiri ceritanya. Adegan ini jauh dari kata dramatik. Dan bahasa Bengali Rani seperti orang luar yang mencoba, dengan keras, berbahasa layaknya warga lokal—seperti logat Dian Sastro dalam serial Gadis Kretek yang wagu dan mengada-ada.
Melalui sosok Debika, MCVSN seolah memperkuat stereotip bahwa perjuangan seorang ibu rumah tangga berakar pada ketidakmampuan mereka untuk bertahan hidup dan melawan dunia. Jadi, bagi saya, Mrs. Chatterjee vs Norway hanya sebatas cemilan di kala hujan yang tak kunjung reda. [T]