SENJA begitu lembap, langit terlihat gelap. Sebagian wilayah Jakarta basah sudah diguyur hujan. Tapi, lagi-lagi hujan tak akan menyurutkan langkah saya untuk menghadiri undangan Sastra Reboan. Biarlah Rabu menggebu bagi kami dan orang-orang yang peduli dan rindu pada puisi—cinta pada sastra. Tak ada alasan lain yang dapat mempertemukan saya, dia, mereka dan kita semua, selain puisi, seni, budaya dan acara merayakan hal-hal baik yang pantas kita rayakan bersama.
Orang-orang yang setia pada puisi, adalah mereka memuliakan hidup dan kehidupan. Memilih setia di jalan puisi, sebuah jalan yang lapang—sunyi di luar, gaduh di dalam. Sunyi dalam proses penciptaan, tapi gaduh di kepala sendiri. Riuh dalam pembacaan, tapi sunyi dalam diri. Sastra Reboan adalah salah satu tempat persinggahan dalam menempuh perjalanan sunyi yang panjangnya tidak terkira.
Kali ini berbeda dari beberapa tahun belakangan, Sastra Reboan berpindah ke TIM tepatnya di gedung PDS HB Jassin. Mengobati kerinduan kali ini, Sastra Reboan digelar di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Blok M Jaksel pada tanggal 6 Maret 2024. Dulunya cikal bakal Sastra Reboan memang di tempat ini, dan sampai kapan pun soulnya akan melekat di Wapres Bulungan.
Sastra Reboan kemarin mengajak kita bersama-sama memperingati Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day, yang jatuh pada 08 Maret besok. Dengan tujuan turut serta meningkatkan kesetaraan, menghilangkan diskriminasi, serta menjamin hak-hak kaum perempuan. Maka, banyak atau rata-rata yang hadir kemarin malam adalah kaum hawa/perempuan, dan para pementas di panggung juga dihadirkan para perempuan, ini menjadi acara yang sangat bagus dan emansipatif.
Emi Suy tampil di panggung Sastra Reboan | Foto: Dok. Emi
Hari Perempuan International, kita tahu bermula dari gerakan buruh tekstil perempuan di Amerika, pada 8 Maret 1857, yang menuntut hak-haknya, karena mereka menganggap kondisi kerja yang tidak adil dan upah yang terlalu rendah. Gerakan itu kemudian meluas dan berkembang hingga ke abad teknologi informasi seperti sekarang ini, intinya sama, menuntut kesetaraan hak, kondisi yang adil, aman tidak ada diskriminasi, dan mencita-citakan perdamaian serta nilai-nilai kebebasan yang baik.
Ini membuktikan bahwa sosok perempuan memiliki kekuataan (the power of women) yang mampu mempengaruhi arus nilai global, dan merubah pandangan kebanyakan orang tentang pentingnya peran perempuan dalam membawa obor perubahan menuju masyarakat beradab yang sejahtera dan berkeadilan.
Hari Perempuan Internasional 2024 kali ini mengusung tema: “Invest in Women: Accelerate Progress” yang berarti,”Berinvestasi pada Perempuan: Mempercepat Kemajuan.” Tema ini dimaksudkan bahwa; mencapai kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan di semua aspek kehidupan menjadi semakin penting jika kita ingin menciptakan perekonomian yang sejahtera serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang.
Maka, atas dasar itulah, Sastra Reboan mengangkat tema perempuan dengan judul “PUITIKA WANITA”. Sebuah penghargaan sekaligus pemuliaan untuk perempuan di mana pun berada. Sebuah puitika yang tak pernah selesai kita baca, dan tak pernah berhenti bergerak dan “berbicara” tentang nilai-nilai baik kehidupan.
Yang mengisi panggung Sastra Reboan edisi kali ini adalah mereka yang memiliki kesamaan ide tentang pentingnya peran perempuan, oleh karenanya dihadirkan pula para penampil dari kaum perempuan.
Sastra Reboan kemarin menampilkan perempuan-perempuan hebat di antaranya: Devie Matahari (Musikalisasi Puisi), Rini Diyanti Ayahbi (Musikalisasi Puisi), NyaPoe Nyanyi Puisi (Ayu Yulia, dkk), Dyah Kencono Puspito Dewi (Puisi), Emi Suy (Puisi), Fia (Musikalisasi Puisi), Mita Katoyo (Puisi), Ruri Pramodawardhani (Petikan Cerpen), Ratu Dzakiyya (Puisi), Mahasiswa UIN (Musikalisasi Puisi). Sastra Reboan mengusung slogan; “Datang ke Sastra Reboan, Pulang Membawa Ilmu”.
Hadir juga di tengah-tengah acara kemarin para senior sastra kita; Mas Kurnia Effendi, Mas Jodhi Yudono, Pak Aloysius Slamet Widodo, Bang Fikar W. Eda, Mas Yoyik Lembayung, dan masih banyak yang lainnya. Saya membawakan satu puisi yang berjudul:
HIMNE SEORANG GADIS
Pada bilik kapal tua
yang berlayar menuju Batavia
aku seperti paku karat
menancap pada dinding kesunyian
Setelah berhari-hari
aku sudah lelah menangis
dan air mata seakan mengering
Bersama gadis-gadis malang
yang namanya telah dihapus
aku disekap dalam gelap
dalam pengap
tanpa harap
Kami hanya bisa bernyanyi
saling menguatkan
untuk tidak bunuh diri:
“Di laut tanpa alamat
hari-hari begitu kiamat
kami berpelukan dengan tatapan
membiarkan duka berdoa
dan kepada badai:
segeralah berlalu …”
Satu-satunya yang tersisa
dan nyala dalam dada:
ibuku …
Ibu yang begitu pilu menatapku
saat diseret seperti binatang
sebagai ganti bayar utang judi ayahku
malam itu
Aku pun pingsan
dan tiba-tiba berada di kapal ini
dengan tangan terikat tali
tak ubahnya kawanan anak ayam
yang kehilangan induknya
dan bernasib sial
di tangan penjagal
“Ibu, selamat tinggal,”
kata yang tak sempat
aku lambaikan
“Mungkin aku tak akan pernah
kembali padamu
pada pelukanmu …”
Sebelum usai bisik
tidur telah mengambilku
lalu aku bermimpi ibu memelukku
dan tangannya yang lembut
mengusap pipi
Aku terbangun …
saat membuka mata
ternyata
yang kulihat bukan ibuku
melainkan seorang perempuan anggun
dan tersenyum serupa ribuan lilin
“Tenang, Nak … tenang …
kini kau aman bersamaku
ibumu yang baru …,” ucapnya
Aku seolah lahir kembali
menjadi manusia lagi
Ia memapaku keluar bilik
turun dari kapal
meninggalkan pelabuhan
Sampailah kami ke sebuah rumah besar
bertulis “Atie Soeji”
dan aku tahu kemudian
bidadari penyelamat itu
adalah Auw Tjoei Lan.
Puisi ini salah satu dari sekian puisi yang akan ditampilkan dalam opera yang digarap oleh Mas Ananda Sukarlan berjudul “I’m Not for Sale: Menyelamatkan Kehidupan”. Puisi ini sebelumnya sudah pernah dinyanyikan oleh soprano Ratnaganadi Paramita dalam seminar “Justice and Mercy” tentang perdagangan manusia tahun lalu.
Dalam opera tersebut, tokoh Ny. Auw Tjoei Lan akan diperankan oleh soprano Mariska Setiawan, seorang penyanyi sopran berbakat yang kini sedang naik daun, dan pementasan melibatkan Ananda Sukarlan sebagai Composer dan Casting Director. Stage Decor & Artistic Director oleh Rama Soeprapto, koreografi Hartati dan sutradara Chendra Panatan.
Mariska akan menyanyikan cuplikan opera ini untuk pertama kalinya tanggal 4 Juli 2024 nanti bersama Melbourne Symphony Orchestra saat kunjungan mereka ke Jakarta dalam rangka perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara Australia dan Indonesia. Ratna juga akan kembali memerankan sebagai seorang korban di opera yang rencananya akan diperdanakan pada November 2024 ini.
Suasana panggung Sastra Reboan | Foto: Dok. Emi
Opera yang menceritakan tentang perjuangan Auw Tjoei Lan ini dilatarbelakangi oleh isu perdagangan manusia masih menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia. Perdagangan manusia masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa. Pada tahun 2020-2022 terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban yang dilaporkan. Sebanyak 96% korban perdagangan orang adalah perempuan dan anak (data SIMFONI PPA). Fakta ini memantik rasa kemanusiaan kami—Rumah Hati Suci bersama KEMENPPPA—untuk membuka mata dunia lebih lebar tentang urgensi isu perdagangan manusia.
Ananda Sukarlan dan Tim ingin mengemas pesan penting ini melalui media seni opera yang menggabungkan seni teater, musik dan tari. Kami meyakini cara ini dapat memantik kesadaran di masyarakat, karena pengemasan pesan yang mudah diterima serta menggugah perasaan. Opera kemanusiaan ini akan mengangkat kisah heroik dan inspiratif dari Ny. Auw Tjoei Lan, seorang perempuan Tionghoa, yang pada tahun 1914 telah memerangi perdagangan perempuan.
Siapakah AUW TJOEI LAN? Auw Tjoei Lan atau dikenal juga sebagai Ny. Lie Tjian Tjoen, adalah seorang istri seorang Kapitan China yang bermukim di Batavia setelah menikah. Di sanalah hati Auw Tjoei Lan mulai terpanggil untuk menyelamatkan anak-anak dan perempuan korban perdagangan manusia. Para korban umumnya didatangkan dari daratan China yang dijanjikan kehidupan yang lebih baik di Batavia.
Namun, faktanya mereka dijual ke rumah bordil dan terjerat prostitusi. Mereka lantas diselamatkan Auw Tjoei Lan, dan dibekali keterampilan di Rumah Ati Soetji. Dampaknya, putri dari pengusaha dan Kapitan Auw Seng Hoe ini pernah diancam akan dibunuh dan menerima kekerasan fisik dari orang-orang yang tidak suka bisnis prostitusinya “diusik”.
Peran Auw Tjoei Lan dinilai signifikan dalam memperjuangkan HAM di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Namun, sosoknya belum banyak dibicarakan yang berpengaruh ke minimnya catatan sejarah tentangnya. Oleh karena itu, Ananda Sukarlan, seorang komponis dan pianis terkemuka, berinisiatif menghadirkan pertunjukkan “Musuh si Mucikari” untuk mencatatkan sejarah perjuangan Auw Tjoei Lan melalui seni opera.
Adapun Rumah Ati Soetji (saat ini menjadi Rumah Hati Suci), yang didirikan sejak 1914, sampai saat ini masih berdiri untuk meneruskan nilai kemanusiaan dan semangat Auw Tjoei Lan yang berfokus mengasuh anak-anak perempuan terlantar yang tidak mampu, hingga korban kekerasan.
Auw Tjoei Lan (1889-1965) adalah seorang wanita kelahiran Majalengka sekaligus istri dari Kapitan China, Lie Tjian Tjoen. la dikenal sebagai pahlawan keturunan Tionghoa yang memiliki peran besar dalam menyelamatkan ratusan anak-anak dan perempuan dari aksi kriminal perdagangan manusia pada abad ke-19. la menampung, melindungi dan membekali para korban dengan berbagai keterampilan di Roemah Ati Soetji yang didirikannya.
Perjuangan Auw Tjoei Lan tidak berjalan mulus. Para mucikari geram dengan aksinya hingga melakukan berbagai serangan hingga ancaman pembunuhan. Namun, Auw Tjoei Lan tak gentar. la tetap pasang badan demi para korban hingga akhirnya perjuangannya berbekas dan masih terus berlanjut melalui eksistensi Rumah Hati Suci yang telah bertahan 109 tahun lamanya hingga sekarang.
Jasa Auw Tjoei Lan yang luar biasa dalam aksi kemanusiaan dirasa pantas disejajarkan dengan R.A Kartini dan Dewi Sartika. Namun, namanya tidak melambung tinggi sebagaimana dua sosok perempuan yang disebut belakangan, malah cenderung tidak dikenal. Opera ini akan menjadi sekian anak tangga lainnya untuk mencatatkan dan melambungkan nama Auw Tjoei Lan sebagai salah satu pahlawan kemanusiaan abad-19, atau sekurang-kurangnya pahlawan nasional.
Menurut saya, Auw Tjoei Lan adalah pembawa obor nilai yang penting dan relevan kita bicarakan sekarang, dan tentu saja kita mesti banyak mengangkat perempuan-perempuan hebat lainnya, yang turut membawa obor nilai yang sama, yang membawa kita dari kegelapan menuju ke “terbitnya terang”.
Foto bersama di acara Sastra Reboan | Foto: Dok. Emi
Jika Anda penasaran dengan kisah dramatis Auw Tjoei Lan dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan yang dibalut dengan megahnya orkestra dari Ananda Sukarlan? Yuk, saksikan dalam opera “Musuh si Mucikari”. Itulah sekilas tentang opera berjudul “I’m Not for Sale: Menyelamatkan Kehidupan.”
Sebuah kebanggaan dan kebahagiaan buat saya dapat membacakan puisi tersebut di acara Sastra Reboan kemarin, yang juga dihadiri oleh Mas Ananda Sukarlan. Seluruh rangkaian acara berjalan lancar, namun yang menarik bagi saya adalah; ketika seluruh penyair dan pengisi acara dipanggil ke atas panggung oleh Mas Jodhi Yudono. Di sela-sela nyanyian puisinya Mas Jodhi menanyakan bagaimana perspektif perempuan tangguh menurut versi masing-masing.
Tiba giliran saya, dan saya menjawab, “Perempuan tangguh menurut versia saya adalah perempuan yang bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri.”
Ada pertanyaan lanjutan dari Mas Jodhi, “Apakah lukamu sebegitu dalam, Emi, sehingga harus dijahit?”
Saya menjawab, “Tidak terlalu dalam, namun bagaimana kita sebagai sosok perempuan dalam menjalani problematika dan dinamika hidup mencari ‘way’ atau jalan dari setiap permasalahan, entah sebagai individu, sebagai ibu, istri, atau karyawan, sehingga bisa survive menjalani kehidupan dan berdaya guna untuk orang-orang di sekeliling kita; anak-anak, suami, lingkungan, dan semua orang yang sayang pada kita dan masih membutuhkan kita. Ketika kita bisa menjahit luka sendiri, maka kita bisa menjahit luka orang-orang yang kita sayangi itu.”
Secara keseluruhan acara Sastra Reboan kemarin berjalan sukses dan lancar, namun ada hal yang menyisakan ganjalan di hati. Mengapa ketika acara sedang berlangsung—saat para penampil membacakan puisi, membaca cerpen, musikalisasi, dll—para penonton di belakang asyik sendiri berbincang dengan suara yang cukup keras, sehingga mengganggu orang-orang yang khusyuk menyimak acara, sungguh disayangkan.
Selain kasihan kepada penampil juga para hadirin yang menyimak selama acara berlangsung jadi terganggu. Hal ini berbeda dengan konser Ananda Sukarlan yang kalau ada bisik-bisik sedikit saja pasti dipelototin oleh tetangga di sebelahnya.
Mungkin ke depan kita bisa lebih menghargai dan memberi apresiasi kepada para pembaca puisi, pemain musikalisasi puisi, pembaca cerpen dan semua penampil pengisi acara dan juga hadirin yang menikmati dan menyimak acara tersebut. Agar kita sebagai pecinta sastra juga turut mengamalkan nilai-nilai yang kecil-kecil tetapi penting, sebelum akhirnya turut menyumbang ke nilai-nilai yang besar sebagaimana para buruh tekstil di Amerika, R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Auw Tjoei Lan. Terima kasih.[T]