KOMUNIKASI merupakan sesuatu yang setiap hari dilakukan semua orang. Tidak ada yang bisa menghindar dari komunikasi. Lantaran itulah orang beranggapan tidak perlu mempelajari komunikasi. Ketika timbul masalah dalam hubungan antarmanusia, saat itu pula orang mengatakan perlunya belajar berkomunikasi.
Sesungguhnya komunikasi tak sederhana seperti yang dibayangkan. Komunikasi selalu melibatkan pesan verbal dan nonverbal. Itulah sebabnya komunikasi dianggap sebagai suatu paket yang komplet. Orang tidak hanya berkomunikasi dengan ucapannya, namun juga gerakannya.
Kesulitan akan muncul ketika orang harus berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Selain harus memahami secara verbal apa yang disampaikan, orang juga dituntut untuk memahami ekspresi nonverbal orang lain.
Selain itu, komunikasi sebagai paket komplet juga kerap mengalami diskordansi, yaitu situasi dimana terdapat kontradiksi antara pesan verbal dan nonverbal secara bersamaan. Orang mengatakan tidak punya masalah, namun ekspresi wajahnya menunjukkan keresahan. Orang juga bersumpah-serapah tidak berbuat salah, tetapi gerakan matanya menunjukkan kebohongan.
Diskordansi pesan memang sulit untuk dihindari, apalagi dimanipulasi. Meskipun ada beberapa orang yang mampu memanipulasi pesan verbal dan nonverbal, seperti aktor atau pemain peran. Mereka sudah terlatih untuk memanipulasi pesan demi menjalankan peran atau aktingnya di depan kamera.
Seorang pemain film atau sinetron dapat saja tertawa bahagia di depan kamera, walau dalam kehidupan nyatanya ia sedang berduka. Artis sinetron dapat memerankan tokoh yang baik dalam keluarga, meski kehidupan keluarganya berantakan. Itu semua diskordansi pesan yang sengaja dimanipulasi demi kepentingan peran. Mereka mampu berdramaturgi, sehingga panggung depan dan panggung belakang dapat dimanipulasi.
Dalam kehidupan sehari-hari memanipulasi pesan verbal dan nonverbal tidaklah mudah. Itu karena komunikasi adalah paket. Bahkan oleh orang yang terlatih sekalipun. Tak heran, ketika seorang artis terlibat kasus narkoba atau tindak kriminal lainnya; dia tidak dapat berdusta ketika diinterograsi polisi, karena dunia peran berbeda dengan kehidupan nyata.
Proses Penyesuaian
Menyadari kesulitan untuk memahami komunikasi sebagai paket, maka orang akan belajar melakukan penyesuaian dalam interaksi sosialnya. Proses penyesuaian itu dimulai dari pengenalan, penafsiran, dan pemahaman terhadap nilai, norma, perilaku, kepercayaan, dan bahasa yang digunakan orang lain.
Semua orang belajar menyesuaikan diri terhadap komunikasi yang dilakukan orang lain. Seorang anak tidak begitu saja dapat berbicara. Ia akan belajar dari mulut orang tuanya. Anak-anak juga akan mempelajari ekspresi orang tuanya saat kecewa, sedih, dan marah. Termasuk gerak tubuh teman-temannya.
Wisatawan yang mengunjungi satu daerah atau negara akan banyak belajar menyesuaikan diri terhadap norma, kepercayaan, dan bahasa setempat. Tanpa itu, wisatawan akan banyak mengalami kendala dalam berkomunikasi.
Bahasa kerap menjadi kendala berkomunikasi di antara bangsa yang berbeda. Oleh sebab itu, banyak wisatawan yang menggunakan gerakan nonverbal untuk mempertegas komunikasinya. Dengan harapan, orang yang kesulitan memahami bahasanya dapat menafsirkan gerakannya.
Hanya saja, gerakan nonverbal adalah produk budaya masyarakat. Sehingga setiap masyarakat akan memiliki gerakan nonverbal yang berbeda untuk satu pesan komunikasi yang sama. Menganggukkan maupun menggelengkan kepala bisa dimaknai berbeda sesuai latar belakang budaya masyarakatnya.
Dimensi Komunikasi
Komunikasi sebagai satu paket komplet bukan hanya menyangkut pesan verbal dan nonverbal. Komunikasi juga berkaitan dengan dimensi isi dan relasi. Memahami komunikasi dengan demikian harus pula mencermati isi pesan dan relasi pesan. Dimensi komunikasi ini akan sangat terasa ketika orang harus berkomunikasi dalam masyarakat yang menempatkan budaya dan stratifikasi sosial sebagai sesuatu yang penting.
Beberapa faktor ikut mempengaruhi dimensi isi dan relasi ini, seperti bahasa, mitos, dan seni budaya masyarakat. Isi pesan yang sama bisa menimbulkan relasi yang berbeda jika diucapkan dengan bahasa tertentu yang digunakan masyarakat. Sebagai contoh, kata “makan” memiliki isi pesan yang sama, yaitu menikmati sesuatu.
Namun bagi masyarakat Jawa, penggunaan kata “makan” dalam bahasa daerah akan mempertimbangkan relasinya. Untuk sesama teman, orang akan menyebutnya mangan. Tetapi ketika mempersilakan orang tua untuk makan, orang akan mengatakannya dhahar. Padahal isi pesannya sama, yaitu tentang makan. Penggunaan bahasanya akan berbeda jika dikaitkan dengan hubungan di mana pesan itu disampaikan.
Dimensi isi dan relasi juga tergambarkan dalam kesenian, seperti tarian pada masyarakat Jawa. Gerakan tarian pada kesenian masyarakat biasa akan berbeda dengan tarian di lingkungan keraton. Tarian seperti Ebeg, Jathilan, atau Kuda Lumping sarat dengan gerakan menghentak bumi. Isi pesan tarian itu adalah semangat perjuangan dan perlawanan. Relasi pesannya adalah dinamika perubahan yang perlu dilakukan rakyat.
Sedangkan tarian di lingkungan keraton seperti Serimpi, Gambyong, dan Bedhaya Ketawang, lebih diwarnai oleh gerakan yang lembut dan melambai. Isi pesan yang ingin disampaikan adalah menjaga ekuilibrium atau keseimbangan. Relasi pesan dari tarian itu adalah menjaga keharmonisan di kalangan keraton.
Secara nonverbal, tarian rakyat juga berbeda dengan tarian keraton. Para penari di kalangan rakyat menggunakan pakaian yang sederhana. Sedangkan para penari di keraton memiliki jenis tata rias penari yang cantik dan anggun. Busana pakaian para penari di keraton juga mewah dan serupa pakaian para bangsawan. Dengan demikian, isi pesan dan relasi komunikasi di kalangan rakyat tentu akan berbeda dengan keraton.
Begitulah komunikasi. Sederhana jika hanya sebatas tutur kata. Namun ketika menjadi satu paket verbal dan nonverbal, menyangkut nilai, norma, kepercayaan, dan budaya masyarakat; komunikasi bisa menjadi rumit. Karenanya, komunikasi tetap terus perlu dipelajari sesuai konteksnya.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU