DINASTI adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Sedangkan pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara. Dalam versi lain menyebut, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang masih terkait dengan hubungan keluarga. Dan politik dinasti ini menurut penulis mengaplikasi sistem pemerintahan di jaman kerajaan yang menganggap kekuasaan bisa diwariskan secara turun temurun dan tetap berada dalam lingkaran keluarga.
Lantas apakah politik dinasti ini dilarang? Tentu saja tidak ada. Secara hukum dan konstitusi, politik dinasti merupakan fenomena yang legal dan tidak dilarang oleh UU. Namun demikian, selayaknya politisi harus menggunakan kesempatan tersebut dengan bijak, yaitu mengutamakan kompetensi untuk menduduki suatu jabatan sesuai dengan norma-norma kepatutan. Dan memang tak dapat dipungkiri “Politik Dinasti” memang masih sangat kental keberadaannya di Indonesia.
Di negeri kita, saat ini tengah terjadi penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat. Berawal dari keinginan meneruskan kekuasaan, namun terbentur dan terhalang aturan serta penolakan dukungan partai ditambah narasi sebagai petugas partai. Maka titik picu itu kemudian dijadikan pelecut bahwa dirinya dirasa bisa dan mampu mengendalikan semua unsur. Hebatnya lagi, siapa yang tak turut maka bisa kena pecut baik melalui tangan-tangan oportunis para pejabat sehingga berakibat mereka “terpenjara” oleh keadaan.
Orde Reformasi sejatinya telah memberikan dampak reformasi yang membuat Indonesia menjadi negara demokratis dengan dilaksanakannya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan kepala daerah dan banyaknya partai politik. Namun belakangan, demokrasi Indonesia sekarang ini kembali berubah 360 derajat sejak munculnya dinasti politik yang justru menjadi ancaman demokrasi. Hal ini terjadi, sebagai akibat adanya upaya serta ambisi melanggengkan kekuasaan yang tentunya bisa merusak tatanan demokrasi yang sudah terbangun dengan baik sejak reformasi bergulir yang bergerak dengan berdarah-darah serta mengorbankan banyak jiwa.
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (Lipi) Siti Zuhro, menilai praktik politik dinasti merebak setelah era reformasi lahir. Warisan system nilai yang gagal terhapus seluruhnya menjadi salah satu penyebab. Dan ternyata era reformasi yang ditandai dengan diterapkannya demokrasi ternyata tetap menyisakan nilai-nilai masa lalu seperti feodalisme, praktik patrimonialisme, patronase dan masyarakat komunal yang cenderung permsif.
Konsekuensinya, dinasti politik mendapatkan peluangnya di era demokrasi. Dalam sistem patrimonial misalnya, perbedaan batas privat dan public menjadi kabur, dimana hubungan kekuasaan seperti politik atau administrasi merupakan hubungan yang bersifat personal. Disisi lain, sistem multi partai dan praktik pilkada langsung justru berhasil meningkatakan tisipasi rakyat, namun keduanya, justru menghambat konsolidasi demokrasi lokal. Contohnya, muncul praktik politik dan transaksional dalam Pilkada yang justru memunculkan para kaum oprtunis dan perilaku menghalalkan segala cara. Ujung-ujungnya pilkada sekadar digunakan untuk arena elit meraih kekuasaan atau membangun dinasti. Dan akibatnya, Pilkada jadi menyimpang dari tujuannya untuk memilih pemimpin yang kompeten, berintegritas dan mampu memajukan daerah. (Dinasti Politik Mendapat Peluang Di Era Demokrasi, Indonesia Coruption Watch, www. antikorupsi.org/2016)
Diibaratkan, saat ini seolah-olah dinasti politik tengah mendapatkan peluang di era demokrasi, yang justru karena demokrasi di Indoneia sangat prosedural. Pro kontra pun bermunculan dan tak bisa terhindarkan. Meskipun dipermukaan umumnya tak tak tampak adanya gejolak partai politik, tapi sulit dinafikan bahwa ada jua kegelisahan sejumlah kadernya yang merasakan adanya ketidakadilan. Dan gambaranya mirip antrean panjang ditengah kemacetan yang tiba-tiba disalip kendaraan pada hal antrian tersebut di kawal polisi. (R. Siti Zuhro, Dinasti Politik Ancaman Demokrasi, Opini Kompas, November 2023).
Gejala ini sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Yang mutahir adalah berkembangnya dinasti Jokowi. Hal ini ditandai dengan rencana pencalonan Kaesang Pangarep sebagai Wali Kota Depok (Majalah Tempo 9 Juli 2023) dan majunya putra bungsu Jokowi, Gibran Rakabumi Raka sebagai Wakil Presiden RI. Jokowi sepertinya telah membentuk dinasti politik sendiri. Mengutip salah satu judul berita Minggu, 29 Oktober 2023 lalu, majalah Tempo dengan judul “Dinasti Politik Jokowi Menghancurkan Demokrasi” tentunya mengejutkan banyak pihak. Karena dalam taglinenya, menyebutkan : Menempatkan anak sebagai calon Wakil Presiden wujud paranoia Jokowi. Kepentingan personal yang merusak demokrasi setelah gagal mendapatkan dukungan publik dalam partai politik untuk memperpanjang masa jabatan, Jokowi memakai cara sepintas demokratis untuk tetap berkuasa. Di banyak negara politik dinasti memang tak dilarang. Tapi ia bisa merusak demokrasi karena menodai fairness dalam sistem pemilihan. Sebagai penguasa Jokowi bisa memobilisasi aparatur dan alat negara serta sumber dana untuk memenangkan calon presiden yang ia dukung.
Mengutip Koran New York Times, pada terbitan Minggu 7 Janurari 2024, yang mengambil judul “Presiden a Term s Ending, but Dynasty is Beginning” atau diterjemahkan menjadi “Bagi Presiden Indonesia Masa jabatan berakhir, Tetapi Dinasti Dimulai”. Tapi judul lain dalam edisi onlinenya memberikan judul : “A Prsiden Son Is In Indonesia’s Election Picture Is It Democarcy or Dynasty? Atau jika diterjemahkan :”Putra Seorang Presiden Ada dalam Gambar Pemilihan Indonesia. Apakah Demokrasi atau Dinasti?
Membahas soal dinasti politik, pembahasan New York Times mengawali pembahasannya menyebutkan bahwa putra sulung Presiden Joko Widodo yang menjalankan bisnis catering dan jaringan toko makanan penutup. Sekarang dia adalah simbol dinasti politik yang sedang berkembang dan penerima manfaat dari manuver keluarganya. Dengan bantuan keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin pamannya., putra presiden Gibran Rakabuming Raka (36) menjadi cawapres termuda. Intrik presiden ketujuh Indonesia ini tentu saja mengguncang para kritikus yang memperingatkan bahwa Jokowi berupaya melemahkan perombakan demokrasi yang dilakukan setelah puluhan tahun berada di bawah kediktatoran dan membantu Jokowi sendiri memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2014 silam. Dalam wawancaranya, New York Times yang mewancarai pengamat politik di tanah air, salah satunya peneliti dari Universitas Atma Jaya, Yoes C Kenawas mengatakan bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik. Dan Gibran dipersiapkan sebagai Presiden pada tahun 2029. Dan menjabat Wapres dibawah Prabowo akan menjadi “masa magang”.
Penulis menilai ada semacam gerakan kelompok populisme yang justru kecenderungannya bisa memecah belah bangsa. Dan populisme semacam ini hanya dipergunakan untuk memobilisasi massa bagi kepentingan elite pemimpinnya sendiri, tanpa memperdulikan perpecahan rakyat, gerakan ini populisme seperti inilah yang semestinya juga diwaspadai bersama dan jangan sampai ada kesempatan untuk berkembang di Indonesia.
Yang mengagetkan ada kecenderungan lain, yaitu munculnya politikus populis dan teknokrat yang justru enggan berdiskusi untuk mencari solusi alterative karena memandang posisi masing-masing sebagai dogma yang berlaku absolute. Lantas kemudian justru di sini dua jenis fundamentalisme politik bertemu dalam satu sikap antipolitik. Demokrasi antagonistis muncul yang bertentangan dengan logika demokrasi yang senantisa membuka ruang untuk berbuat salah, tetapi memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan. Kemampuan untuk belajar dari kesalahan sejatinya merupakan kekuatan demokrasi jika dibandingkan dengan sistem otoritarian. Demokrasi bukan dogma. Demokrasi membuka ruang dialogis dan semua mempunyai hak sama untuk menyampaikan pendapat dan berhak menentukan pilihannya sendiri tanpa intimidasi ataupun ancaman. Demokrasi menurut penulis harus dibangun dengan kesetaraan dalam berpendapat dan menerima pendapat. Disnilah dapat terbangun demokrasi yang sehat. (I Made Pria Dharsana, Populisme Merusak Demokrasi, Balinitizen, Mei 2019)
Pilpres 2024 yang tinggal 4 hari lagi akan jadi alat uji.apakah terbangun demokrasi yang sehat.sebagaimana cita cita Reformasi atau demokrasi yang buruk sepanjang sejarah. Kitalah yang menorehkan catatan sejarah bagi generasi bangsa Indonesia ke depan.
BACA artikel lain tentang kenotarisan dari penulis I MADE PRIA DHARSANA