AKHIR tahun 2023 saya berlibur ke Eropa. Karena liburan, bukan tugas negara, saya tentu saja bersama keluarga. Kami mengunjungi cukup banyak kota tujuan wisata di tujuh negara di Eropa Barat. Saat datang saat benua itu sedang berada di pertengahan musim dingin.
Mohon maaf, saya tidak berbagi cerita tentang berbagai keindahan dan daya tarik lokasi tujuan wisata yang saya kunjungi. Saya juga tak mengupas sejarah kota-kota itu, meski betapa menakjubkannya dan begitu bersejarah segala bangunan kuno di kota-kota itu. Tentang hal-hal semacam itu dengan mudah bisa didapatkan dari internet, atau dari berbagai media cetak dalam negeri maupun media asing.
Cerita saya tentu saja soal pengalaman saya, yang terasa cukup unik dan menarik, meski barangkali tidak berhubungan sama sekali dengan destinasi wisata. Saya toh bukan agen wisata. Hahaha.
Verona, Italia | Foto: Dok. Arya Nugraha
Pertama-tama, saya harus menyampaikan pengakuan, bahwa saya termasuk orang yang takut naik pesawat terbang. Meskipun belum sampai pada level fobia, namun harus diakui saya selalu cemas jika akan naik pesawat terbang. Apalagi jika saya terus pikirkan lama penerbangan ke Eropa tidak kurang dari 17 jam.
Berada di atas tanah setinggi 13 kilo meter di dalam wahana ciptaan manusia itu, selama hampir seharian, mungkin tak membuat risau bagi kebanyakan orang. Namun saya, terus terang, degdegan. Apalagi saat itu, kami transit di Singapura yang dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar, cuma ditempuh dalam tiga jam. Maka sisa waktu ke Eropa tentu saja sekitar 14 jam.
Berapa lama sih kita kuat tidur di pesawat? Atau menikmati berbagai tayangan pada monitor LCD layar sentuh di depan mata kita, film, musik atau teve. Namun berapa lama sih kita mampu? Masalah yang cukup mengganggu ini akhirnya teratasi berkat hobi saya gemar menulis.
Dengan sebuah laptop, ide saya cukup deras mengalir, mungkin juga semakin deras, akibat dorongan rasa takut naik pesawat itu. Hasilnya, dalam perjalanan berangkat saya menulis sebuah cerpen, dan satu lagi cerpen saya selesaikan dalam perjalanan pulang.
Dengan menulis, apalagi untuk sebuah ide yang menarik, segala rasa cemas dan risau saya tertutupi oleh pikiran yang menggali ke sana ke mari. Bahkan turbulensi pesawat pun luput dari perhatian.
Pisa, Italia | Foto: Dok. Arya Nugraha
Transit di Singapura pun memberi sesuatu yang sangat menarik bagi saya. Salah satu alasannya adalah karena saya memang belum pernah ke Singapura, walau sekali pun. Sebagai perbandingan, pegawai kontrak di Rumah Sakit di Bali Utara yang saya pimpin saja sudah berkali-kali ke main ke sana. Singapura seakan sudah menjadi tempat liburan standar bagi masyarakat Indonesia.
Waktu transit yang cukup lama, memberi saya kesempatan untuk mengamati negeri Singapura, meskipun hanya dari Bandara Changi. Itu karena kita tidak bisa keluar bandara mengunjungi suatu tujuan wisata jika belum melakukan registrasi secara on line sebelumnya.
Sebuah kenyataan, betapa fix-nya segenap sistem negeri tetangga yang terkenal paling bagus sistem meritokrasinya itu.
Segala hal mesti diketahui oleh negara dan harus dipastikan clear bagi keamanan domestik mereka. Dengan kereta yang digerakkan secara otomatis tanpa masinis itu, kita dapat mengunjungi semua terminal Bandara Changi. Nah, dari atas kereta yang dinamai skytrain itu kita dapat mengintip “sampel” negeri Singapura.
Sungguh menakjubkan, area publik yang tertata sedemikan apik, baik desainnya yang sangat fungsional maupun perpaduannya dengan eksterior taman yang asri. Dan hal yang paling sederhana, namun justru bagi saya paling spektakuler, adalah tak ada sehelai kecil sampah pun. Kalau di Bali, keadaan yang begitu bersih sering diistilahkan dengan ungkapan “kedas silapin meong.” artinya bersih dijilati kucing. Merujuk pada kebiasaan kucing yang selalu menghabiskan sampai bersih jika diberikan makan.
Saya selalu meyakini, apa pun hal-hal besar dan megah, selalu harus dimulai dari hal-hal kecil yang ditekuni secara serius dan sepenuh hati. Maka kesimpulan saya adalah, pencapaian itu bukanlah karena Negara Singapura yang keras dalam mengatur warganya. Namun sebaliknya, warga negaranyalah yang saat ini telah mengurus dirinya sendiri dengan sangat baik dan secara kolektif kemudian telah membuat negerinya sempurna.
Brussels, Belgia | Foto: Dok. Arya Nugraha
Kita pasti sepakat, bagi yang sudah pernah berwisata ke Eropa, setiap sudutnya, semua sisinya terlihat cantik dan memukau. Dan tentunya, udara sejuk atau dingin serta akses untuk pejalan kaki yang luas, selalu membuat kita nikmat untuk berjalan kaki. Ini sama dengan situasi di Australia atau Jepang yang kebetulan juga sudah pernah saya kunjungi.
Namun sama pula dengan Australia, hampir semua hotel dan tentu saja di rumah warga, toiletnya tidak dilengkapi dengan shower untuk cebokan setelah buang air besar. Ini tentu sangat menyulitkan kita orang Indonesia yang sudah biasa cebokan dengan air setelah buang air besar. Entah itu dengan shower yang lebih modern, atau dengan gayung sebagai cara yang lebih lama, atau metode yang paling alami yaitu berak di sungai. Itu bahkan tak tanggung-tanggung, cebokan memakai sumber air sebangsa. Hahaha.
Hanya di beberapa hotel di Italia yang saya temukan memiliki sarana cebok yang bentuknya menyerupai washtafel disebut bidet. Metode ini justru berasal dari Prancis di abad ke-17. Bidet sendiri dalam bahasa Prancis berarti kuda poni. Sebab, saat kita hendak membasuh organ sensitif kita di area bokong, maka posisi terbaik kita adalah seperti sedang menunggangi seekor kuda poni.
Masalahnya, posisi toilet dan bidet itu berjarak. Artinya setelah buang air besar selesai, maka untuk cebokan kita harus berpindah posisi ke toilet bidet di sebelahnya. Aduh, saya sarankan anda tak usah membayangkan peristiwa itu. Bayangkan saja jika bidet itu ditaruh di ruangan lain, hahaha. Lebih parah lagi, betapa repot, jorok dan hebohnya setiap kita mau buang hajat.
Akhirnya, sebagai solusi di hotel yang tak juga tersedia bidet, kita harus menampung air dengan botol air mineral untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini, kita boleh meledek orang Eropa yang maju dan modern, kok tidak praktis dan agak jorok ya?
Dan rata-rata air keran di Eropa saat ini sudah bisa dikonsumsi sebagai air minum. Maka air yang sama kita pakai untuk mandi, diminum dan juga untuk cebokan, hahaha!
Saya coba mencari sebab, kenapa sih orang Eropa atau Amerika dan Australia tak mau cebokan dengan air dan tangan. Dan memilih hanya dengan tisu? Ada beberapa alasan, katanya karena jijik tangannya bersentuhan langsung dengan tinja, padahal tinjanya sendiri. Atau karena suhu air yang terlalu dingin, dan akhirnya lebih banyak karena memang sudah kebiasaan turun-temurun.
Ada kisah lucu terkait hal ini. Saat mampir di sebuah rest area dalam perjalanan dari Verona, Italia, menuju Swis, anak remaja saya yang gadis telah naksir seorang pemuda Swis yang bekerja sebagai kasir di swalayan di rest area tersebut. Tentu saja karena badannya setinggi 1.8 meter lebih, matanya yang biru dan wajahnya yang tampan. Ia terus mengungkapkan kekagumannya pada pemuda tersebut kepada kami.
Adiknya, anak bungsu kami yang cowok, mungkin sudah mulai jengkel mendengar ocehan kakaknya tentang pemuda itu, lalu sinis menanggapi, “Kamu suka sama cowok gak pernah cebokan?”
Saya dan mamanya berusaha keras menahan tawa, kakaknya memasang muka masam dan setelah itu, semakin jarang membicarakan kasir ganteng itu.
Koln, Jerman | Foto: Dok. Arya Nugraha
Di luar dugaan, saat dalam perjalanan dari kota Frankfrut, Jerman menuju Amsterdam, Belanda, ada pesan WA masuk. Saya cek, rupanya dari kawan saya, staf RRI Pusat Jakarta. Selama ini saya memang sering menjadi narasumber untuk program Pro 3 RRI Pusat Jakarta, tentu saja untuk topik medis. Menanyakan, apakah saya ada teman yang pernah berwisata ke luar negeri? Untuk diwawancarai, terkait fenomena liburan ke luar negeri.
Saya terlonjak kaget dan menjawab, “Lah, saya pas sedang liburan ke Eropa ini.” Ia pun terlonjak kaget. Jika begitu kita wawancara saja ya, pintanya. Saya menyetujui.
Dalam wawancara live itu, penyiar menanyakan, kenapa sih liburan ke luar negeri? Lalu saya menjelaskan opini saya. Berwisata itu soal ingin mengetahui hal baru. Itulah kenapa orang Eropa datang ke Asia atau Indonesia. Apalagi secara pribadi, saya sangat tertarik dengan bangunan-bangunan kuno yang begitu megah dan sarat sejarah.
Situs-situs di kota Roma, seperti Colosseum misalnya, bahkan dibangun di awal Masehi yaitu di sekitar tahun 70, dan sekarang masih berdiri berdampingan dengan segala modernitas kota Roma.
Kita pun dapat merasakan langsung, bagaimana sistem yang telah diterapkan oleh negara-negara maju dan modern itu dalam hal teknologi digital yang sangat memudahkan hidup. Inovasi yang tentu saja dapat kita adopsi.
Roma, Italia | Foto: Dok. Arya Nugraha
Jadi menurut saya, jika demikian, berlibur ke luar negeri bukanlah gejala nasionalisme yang menurun. Seperti juga, jika kita berlibur ke Labuan Bajo, bukan berarti kita tidak mau mendukung pariwisata di Bali misalnya. Semua baik asal memang dengan niat yang baik.
Apakah bukan untuk gaya-gayaan diunggah di media sosial? Kalau cuma untuk gaya-gayaan, saya rasa itu bujetnya terlalu gede, hahaha. Namun mengunggah foto-foto liburan di media sosial pun bukan hal yang salah. Karena setiap manusia memiliki sisi kepribadian narsistik dalam batas-batas yang lazim, yang lebih tepat disebut sebagai aktualisasi diri. [T]
BACA artikel TUALANG atau artikel lain dari penulis PUTU ARYA NUGRAHA