HOREEE… Sabtu, 3 Februari 2024 adalah hari spesial bagi tumbuh-tumbuhan dan juga pepohonan. Dalam kepercayaan Hindu, Sabtu atau Saniscara Kliwon Wuku Wariga dikenal sebagai Tumpek Wariga, yaitu Hari Otonan (lahirnya) tumbuh-tumbuhan dan seluruh jenis pepohonan di dunia. Sehingga tidak ayal di Hari Sabtu ini, umat Hindu akan mempersembahkan segala rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara memuliakan pohon dan tumbuh-tumbuhan. Hal tersebut dikarenakan, pepohonan dan berbagai jenis tumbuhan telah tercipta untuk kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya.
Jika digali dari sisi historis, Tumpek Wariga merupakan hari suci yang dirayakan oleh umat Hindu terutama di Bali dari sejak dahulu. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan hidup umat Hindu yang senang memanusiakan segala makhluk hidup layaknya saudara. Meskipun demikian, Tumpek Wariga bukanlah hari untuk menyembah pohon atau tumbuh-tumbuhan yang sering dikonotasikan negatif sebagai berhala. Justru sebaliknya,
Tumpek Wariga hadir sebagai hari pengingat untuk umat manusia, agar dapat senantiasa bersyukur dan menghormati semua ciptaan Tuhan. Sehingga dengan adanya Tumpek Wariga, pepohonan dapat dijaga, tumbuh subur, dan lestari untuk tinggal bersama manusia secara harmoni.
Lebih lanjut, keyakinan umat Hindu terhadap Hari Suci Tumpek Wariga juga berdasar pada sebuah literatur suci. Dimana dalam Lontar Sundarigama disebutkan bahwa, pohon merupakan aspek alam semesta yang sangat penting sehingga patut dijaga dan dimuliakan. Secara lebih lanjut, salah satu kutipan suci dalam Lontar tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Wariga Saniscara Kliwon, ngaran panguduh pujawali Sanghyang Sangkara, apan sira amrtaken sarwaning tawuwuh, kayu-kayu kunang, widhi-widhanana, pras tulung, sesayut, tumpeng, bubur mwang tumpeng agung iwak nia guling bawi, itik wenang, saha raka, penyeneng, tetabuh, kalinggania anguduh ikang awoh mwang godong, dadya pamrtaning hurip ring manusa. Sesayut cakragni kalinggania anuduh kna adnyana sandhi.”
Terjemahan:
“Hari Sabtu Wuku wariga adalah hari panguduh. Suatu hari untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Sangkara. Berkat Beliau, menciptakan segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah peras tulung sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng agung dengan daging babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka- raka (jajan dan buah-buahan), penyeneng, tetebus dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut di atas ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur, lebat buahnya bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam ketentraman hati, serta kesejahteraan lahir dan bathin (Suandra, 1992: 15 dalam Sudarsana, 2017).
Berdasarkan kutipan suci dalam Lontar Sundarigama tersebut, dapat diketahui bahwasanya tumbuhan dan pepohonan memiliki peran besar terhadap kehidupan manusia. Tumbuh-tumbuhan memiliki peran kunci terhadap kesejahteraan, keasrian, dan ketentraman hidup manusia baik secara lahir dan juga bathin. Sehingga dapat dikerucutkan, kelestarian hidup pohon dan tumbuh-tumbuhan, juga berarti kelestarian hidup bagi manusia beserta penerus generasi di masa yang akan datang.
Namun apa yang terjadi kini? Pepohonan di tahun 2024 mesti menghadapi rasa sakit yang tak terkira. Bayangkan, jika sekujur tubuh kita dihias dengan paku, ditusuk dengan bambu runcing, dan tertancap berbagai macam jenis Alat Peraga Kampanye (APK). Hal inilah yang terjadi pada nasib pohon di hari spesialnya kini. Tidak hanya rasa sakit, siklus memasak mereka (fotosintesis) juga mesti terhambat oleh tirai BALIHO besar yang menghalangi datangnya sinar matahari.
Dengan gegap gempitanya pesta demokrasi yang akan datang tak lama lagi, justru berkebalikan dengan apa yang dirasakan oleh pohon belakangan ini. Berbeda dengan para politikus yang mungkin mampu merayakan hari ulang tahunnya dengan penuh sukacita, pepohonan di hari Otonannya mungkin merenung sesak penuh nestapa. Bagaimana tidak? Beberapa kejadian yang memberitakan pengguna jalan tertimpa APK di jalan raya membuat pohon merasakan dirinya penuh dosa. Rasa yang mungkin tidak menyentuh oknum politikus, karena terlalu sibuk mengusung jurus untuk meraup berbagai dukungan dan suara.
Dari sisi aturan, pihak berwenang katanya telah mengeluarkan regulasi yang melarang pemasangan APK salah satunya di pepohonan. Namun apa nasib yang menimpa pohon akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak terjadi jika regulasi benar-benar dijalankan dengan sepenuh hati. Atau mungkin, regulasi terlalu terpukau sehingga kaku untuk menghadapi wajah ganteng dan cantik yang menghiasi APK pada pepohonan?
Entahlah…. Hanya berharap semoga di hari spesialnya ini, hadiah persembahan bubur dari kita masih diterima oleh pepohonan yang nasibnya penuh derita…. Svaha… [T]
Sumber Referensi:
Sudarsana, I. K. 2017. Konsep Pelestarian Lingkungan dalam Upacara Tumpek Wariga sebagai Media Pendidikan Bagi Masyarakat Hindu Bali. Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya, 2 (1).