SETELAH lama vakum dalam menulis Opini di media masa, tiba-tiba seorang teman dari jauh menyapa dan bertanya. Pertanyaannya muncul, kata dia, setelah dia membaca tulisan di tatkala.co yang berjudul “Waspada! Sosok Sangkuni Menjelang Pesta Demokrasi 2024”
Pertanyaannya sederhana, “Dengan gegap gempitanya kemampuan politik Sangkuni, mengapa ia bisa gagal mengantarkan keponakan tersayangnya Duryodhana menjadi Raja Hastinapura?
“Di atas langit, masih ada langit!” Itulah salah satu kata pepatah yang menunjukkan bahwa seberapa hebat seseorang, akan masih ada orang lain yang lebih hebat atau berada di atasnya. Begitu juga dalam kancah perpolitikan. Seberapa besar kegemilangan seseorang, bisa saja jatuh di tangan orang yang lebih cemerlang. Terlebih kegemilangan tersebut, diarahkan dengan jalan yang tidak benar dan malah membuat orang lain sengsara.
Hal itulah yang terjadi pada Sangkuni. Counter atau penangkal sosok Sangkuni yang hebat dalam berpolitik itu bernama Sri Krishna.
Siapa itu sosok Sri Krishna? Jika mengacu kepada cerita agung Mahabharata, Sri Krishna adalah putra raja Basudewa dari kerajaan Madhura, dan setelah menumbangkan kekuasaan pamannya yang kejam bernama Kanza, ia mendirikan dan menjadi raja di sebuah kerajaan besar dan megah bernama Dwaraka.
Kemudian pertanyaannya, seberapa jauh sepak terjang Sri Krishna sehingga dipandang sebagai counter dari Sangkuni?
Jika ditarik dari beberapa penggalan cerita Mahabharata (Titib, 2008: 363-364), berikut adalah sepak terjang Sri Krishna yang bisa dijadikan pedoman untuk meng-counter sosok Sangkuni di kontestasi politik tahun 2024.
Sang Penghukum Penebar Fitnah ‘Sisupala’
Sisupala merupakan seorang raja yang memiliki rasa iri hati yang sangat besar. Termasuk kepada Sri Krishna sebagai sosok seorang raja yang besar. Hal ini tidak lepas dari didikan Jarasanda, Raja Magadha, yang membenci sosok tokoh atau pemimpin suci seperti Sri Krishna. Terlebih ketika mengetahui Jarasanda terbunuh di tangan Bima akibat ikut campurnya Sri Krishna, membuat kebencian Sisupala tak terelakkan.
Sisupala pada akhirnya mulai menebar fitnah dan hinaan kepada Sri Krishna. Fitnah ini juga didorong oleh Sakuni untuk menyerang Yudistira, Bhisma, dan tokoh pemimpin agung Hastinapura lainnya. Puncaknya terjadi pada saat Upacara Rajasuya di Kerajaann Indraprastha yang diadakan oleh Pandawa.
Menimbang fitnah dan hinaan Sisupala sudah terlewat batas dan melebihi 100 kali, Sri Krishna atas izin raja-raja yang hadir pada akhirnya menghukum Sisupala dengan menebas kepalanya menggunakan Cakra Sudarsananya.
Jika dikaitkan dengan cerita tersebut, Sisupala dan Sangkuni di suasana menjelang kontestasi politik tahun 2024 adalah sosok yang hampir sama. Mereka sama-sama memanfaatkan fitnah, berita bohong, dan kampanye hitam untuk menjatuhkan lawannya.
Di sinilah peran Sri Krishna sebagai pihak yang berani menghabisi orang-orang kalut seperti itu. Ketegasan dan keberanian inilah yang menjadi alarm peringatan bagi orang-orang semacam Sangkuni dan Sisupala agar berpikir dua kali sebelum melancarkan aksi liciknya.
Netral di Tengah Kontestasi, Namun Tetap Berpihak pada Kebenaran
Sri Krishna adalah sepupu dari Pandawa dan Kurawa. Meskipun berada di tengah sepupu yang tengah berkontestasi, ia tetap menampilkan karakter yang netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak sepupunya. Namun karena adanya Sangkuni di pihak Kurawa yang senang memancing di air keruh, membuat Sri Krishna beberapa kali tampil membantu pihak Pandawa yang berada di sisi kebenaran.
Tidak ayal, tindakan Sri Krishna beberapa kali membuat Sangkuni pusing tujuh keliling karena rencananya gagal untuk menjatuhkan pihak Pandawa.
Jika dihubungkan dengan karakter Sri Krishna tersebut, Sri Krishna di kondisi pesta demokrasi 2024 mungkin sosok yang ide cerdiknya hampir sama dengan Sangkuni. Bedanya ia mengandalkan kecerdikannya untuk kebenaran, serta mengarahkan kecerdasannya untuk keharmonisan.
Sri Krishna sebagai pihak ketiga dalam kontestasi bersikap netral, tetapi tetap setia berada di pihak yang benar jika membutuhkan pertolongan. Sikap inilah yang terkadang menyulitkan orang-orang seperti Sangkuni untuk mengadu domba.
Juru Damai Pencegah Perang Bharata
Setelah mendengar kabar bahwa Perang Bharata yang melibatkan kedua sepupunya, Sri Krishna tidak tinggal diam. Ia menjadi inisiator penengah dan juru damai diantara kedua belah pihak yang akan berperang.
Sri Krishna mendatangi kedua kubu, baik pihak Pandawa maupun Kurawa. Dari sinilah, Sri Krishna mengetahui bahwa, pihak Pandawa berkenan untuk tidak berperang jika hak-hak mereka setelah menjalani masa pengasingan dikembalikan. Sementara pihak Kurawa yang bersikeras tidak mau mengembalikan hak-hak Pandawa dan bersedia jika terjadi perang sekalipun. Hal itu terjadi tentu berkat kelicikan Sangkuni yang tetap mendesak pihak Kurawa untuk mempertahankan istana dan kekayaan yang semestinya milik Pandawa.
Jika dihubungkan dengan sikap Sri Krishna tersebut, sesungguhnya bisa menjadi suri tauladan untuk pemilih di masa Pemilu. Berusaha tetap menjadi pihak penengah, dan berusaha mendamaikan pihak yang bertikai sangat dibutuhkan di suasana panas seperti pesta demokrasi.
Sikap inilah yang akan membawa pesta demokrasi pada esensi utamanya yakni kemenangan bersama. Bukan pesta ambisi milik Sangkuni yang haus akan kekuasaan dan senang akan perselisihan.
Counter dari Segala Kelicikan Sangkuni
Perang Bharata adalah puncak dari kelicikan Sangkuni yang haus akan ambisi kekuasaan. Bahkan di masa-masa perang, kelicikan Sangkuni mengarah kepada tindakan-tindakan curang yang berusaha menghabisi dan mengalahkan pihak Pandawa. Mulai dari penyerangan di malam hari yang menyalahi aturan, menyembunyikan Jayadrata, serta tindakan licik lainnya.
Namun sebagai seorang kusir Arjuna yang berperan sebagai penasihat, semua ide licik Sangkuni dibantahkan oleh Sri Krishna. Untuk menghadapi pasukan Kurawa yang menyerang pada malam hari, Sri Krishna meminta Bima untuk memanggil anaknya yang berkekuatan raksasa yakni Gatot Kaca sebagai tambahan kekuatan.
Sri Krishna juga berperan dalam menutup matahari di saat senja menggunakan Cakra Sudarsana-Nya untuk mengelabui Sangkuni dan Jayadrata. Tidak ayal, segala usaha licik dari Sangkuni sebagai juru perang Kurawa menjadi sia-sia di tengah kecerdasan Sri Krishna.
Jika dihubungkan dengan situasi menjelang pesta demokrasi 2024, Sangkuni adalah sosok yang memiliki ide yang sangat jahat. Namun segala niat jahat tersebut, mampu tercounter oleh kecerdasan dan kebijaksanaan yang disimbolkan oleh Sri Krishna.
Hal ini tentu bisa menjadi pedoman bagi rakyat Indonesia yang akan menentukan pilihannya. Jangan sampai terbuai oleh ambisi kekuasaan dan kelicikan, namun tetap setia mengarahkan kecerdasan untuk kebenaran dan kebijaksanaan.
Melalui sepak terjang Sri Krishna di dalam kisah Mahabharata tersebut, dapat dijadikan pedoman untuk menghadapi kontestasi politik di tahun 2024 ini. Sikap Sri Krishna yang berani, tenang, netral, dan bijaksana menghadapi persoalan menjadi obat mujarab dari bahayanya kelicikan Sangkuni.
Bahkan, sosok seagung Sangkuni dan Sisupala yang terkenal akan kelicikannya mampu ditepis oleh Sri Krishna dengan kecerdasan yang lebih licik. Jadi ini menjadi penegas, bahwa memang benar counter politik Sangkuni itu bernama Sri Krishna! [T]
Sumber Referensi:
Titib, I Made. 2008. Itihāsa Ramāyāna & Mahābhārata (Viracarita): Kajian Kritis Sumber Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita.