PAGI menjelang siang, di area dermaga Pelabuhan Celukan Bawang, Buleleng, Bali, orang-orang itu mulai berdatangan satu persatu. Di bawah terik yang mulai menghangat, orang-orang itu datang dengan tujuan untuk melakukan pendataan diri sebagai pemilik rumpon—alat bantu menangkap ikan yang dipasang di laut—yang telah diangkat beberapa hari sebelumnya.
Dengan raut wajah pasrah namun penuh harap, setidaknya ada dua hal yang mendasari kedatangan para nelayan dari berbagai desa yang ada di Buleleng ke area dermaga Pelabuhan Celukan Bawang itu. Pertama, untuk memastikan apakah rumponnya termasuk salah satu rumpon yang “dibersihkan”. Dan kedua adalah, kejelasan mengenai kompensasi terhadap rumpon yang di pinggirkan oleh petugas.
Para nelayan itu, sembari menunggu giliran untuk melakukan pendataan diri sebagai pemilik rumpon, sesekali mereka mondar-mandir untuk mencari keberadaan rumponnya. Meskipun, dari sorot mata mereka tak bisa disangkal bahwa ada semacam kesedihan yang menyelimutinya, meski para nelayan itu tampak berusaha menerimanya dengan ikhlas.
Salah satu dari nelayan yang hadir itu adalah I Gede Desember. Nelayan asal Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt itu, terlihat beberapa kali mengecek keberadaan keempat rumponnya yang ikut di angkat oleh petugas. Di antara tumpukan rumpon yang menggunung itu, Desember—sebagaimana ia akrab dipanggil—berusaha dengan teliti untuk mencari keberadaan alat pencari nafkahnya selama beberapa tahun terakhir.
Para nelayan sedang memverifikasi data kepemilikan rumpon | Foto : Yudi
Sebagai seorang nelayan, untuk menerima kenyataan bahwa rumpon miliknya termasuk sebagai salah satu yang harus dipinggirkan, tentu hal itu adalah kenyataan yang sulit ia terima. “Sebenarnya saya sangat bergantung pada rumpon itu sebagai alat untuk mencari nafkah,” jelasnya kepada tatkala.co, Kamis (25/02/23) siang.
Namun kini, nelayan dengan 13 orang karyawan itu mengatakan bahwa ia merasa kasihan kepada para karyawannya yang harus menganggur karena alat mencari nafkahnya kini telah tiada. “Saya kasihan kepada mereka. Karena ini kan mata pencaharian mereka satu-satunya, jadinya sekarang mereka nganggur,” ujarnya.
Rumpon yang menjadi tempat kami mencari nafkah selama kurang lebih 6 tahun ini, katanya lagi, sekarang harus kami relakan untuk diangkat. “Tapi mau bagaimana lagi, soalnya ini program pemerintah juga, kan?”tambahnya.
Desember mengatakan bahwa untuk biaya pembuatan rumpon lumayan besar, sehingga ia berharap mendapatkan nilai kompensasi yang sepadan dengan biaya pembuatannya.
“Saya punya 5 rumpon, tapi yang terverifikasi baru 4 buah. Semoga nilai kompensasinya sepadan. Soalnya biaya pembuatan satu rumponnya lumayan besar, sampai dua puluh juta untuk satu rumponnya,” ujarnya.
Selain itu, ia berharap, setelah pemetaan survei sudah selesai dilakukan, ia dan para nelayan lainnya diperbolehkan untuk memasang rumpon kembali. Sebab, menurutnya, jika tidak diizinkan memasang kembali, ia dan nelayan lainya akan mengalami kesulitan untuk menangkap ikan.
“Semoga saja setelah semuanya selesai, kami diperbolehkan memasang lagi. Namun kalau tidak, ya kami akan kesusahan,” jelasnya.
Pemetaan Potensi Migas
Kegiatan yang dilakukan dari pagi sampai siang hari itu merupakan tindaklanjut yang dilakukan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Buleleng dan PT. Technical Geophysical Services (TGS) dalam melakukan survei seismik pemetaan daerah potensi migas di Bali Utara. Sebenarnya, kegiatan pembersihan rumpoh sudah dilakukan sejak akhir bulan lalu, tepatnya 29 Desember 2023.
Kegiatan yang melibatkan nelayan di sepanjang pantai Bali Utara itu dilakukan oleh PT. TGS guna memverifikasi data kepemilikan, serta volume dari rumpon untuk menentukan nilai kompensasi dari rumpon tersebut.
Sedangkan, menurut Abdul Manap, selaku Plt Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan dan Perikana (DKPP) Buleleng, pengangkatan rumpon-rumpon milik nelayan di sepanjang pantai Bali Utara itu dilakukan untuk melancarkan survei pemetaan daerah potensi migas di Bali Utara. “Rumpon ini memang harus kita angkat, supaya tidak menganggu kegiatan survei,” katanya.
Dengan jumlah 202 rumpon yang telah didaratkan, membuat pemandangan di area dermaga Pelabuhan Celukan Bawang tidak seperti biasanya. Rumpon-rumpon itu menggunung dengan bau busuk dari ikan yang mati akibat terselip di antara bambu-bambu rumpon.
“Yang sudah berhasil didaratkan ini ada sebanyak 202 rumpon, dengan total 261 rumpon yang sudah diputus. Beberapa masih ada di dalam kapal belum diturunkan,” jelasnya.
Sedangkan, menurut Gusni Firmansyah, tim sosialisasi PT. TGS, dalam proses survei seismik laut di Bali Utara, kondisi permukaan air laut harus bersih dari berbagai obstacle. Rintangan-rintangan tersebut berupa rumpon, sampah, dan aktivitas nelayan yang dapat mengganggu proses perekaman yang dilakukan oleh PT. TGS.
“Untuk rumpon sendiri kami angkat. Sedangkan, untuk aktivitas nelayan, kami halau agar tidak memsuki area lokasi survei,” jelasnya.
Dengan target waktu dua minggu, PT. TGS berupaya untuk membersihkan laut Bali Utara dari berbagai aktivitas nelayan untuk kelancaran kegiatan perekaman dan pemetaan daerah potensi migas tersebut. Meskipun, menurut Gusni, estimasi awal dua minggu pembersihan ternyata memakan waktu selama hampir 1 bulan.
Tumpukan rumpon yang sudah diangkat | Foto : Yudi
“Awalnya, untuk proses pembersihan itu estimasi waktunya selama dua minggu. Namun, karena volume rumpon yang besar-besar dan memakan waktu untuk menangkat ke atas kapal dan loading di Pelabuhan, ternyata prosesnya sudah hampir 1 bulan,” jelasnya.
Untuk menjawab pertanyaan para nelayan terkait pemasangan rumpon kembali setelah proses pemetaan survei selesai dilakukan, ia menjelaskan bahwa nelayan diperbolehlan untuk memasangnya kembali.
“Selama proses perekaman ini masih berlangsung, selain mengangkat rumpon, kami juga mengimbau para nelayan untuk tidak melakukan aktivitasnya di area survei yang kami lakukan,” jelasnya. Sesaat setelah memberi jeda, ia menambahkan, “Kalau sudah selesai, nelayan boleh kok memasang rumponnya kembali, asalkan tidak di area yang sudah ditentukan.”
Sedangkan, untuk memastikan kebenaran rumpon yang diangkat oleh PT. TGS agar tidak menimbulkan kesalahan informasi kepada nelayan, pihak Dkpp Buleleng dalam proses pengangkatan rumpon, mengikutsertakan perwakilan nelayan, perwakilan dari dinas, TNI AL, dan Pol Air, dalam proses pengangkatannya.
“Agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak-tidak dari nelayan, untuk proses pengangkatan rumponnya, kami dari Dkpp Buleleng dan PT. TGS mengikut sertakan perwakilan nelayan, perwakilan dinas, TNI AL dan Pol Air dalam proses pengangkatan rumponnya,” tutur Manap.
Namun, selain I Gede Desember, ada juga Komang Sunawa, nelayan asal Kecamatan Seririt, yang rumponnya terkena proses pembersihan yang dilakukan oleh PT. TGS
Ia mengaku bahwa untuk nilai kompensasi yang diberikan oleh PT. TGS kepada rumponnya sudah mencapai nilai kesepakatan dari kedua belah pihak. “Untuk saya, nilai kompensasinya sudah cukup,” katanya.
Nelayan dengan total kepemilikan 20 rumpon yang tersebar dibeberapa desa tersebut, mengaku bahwa kompensasi yang ia terima sudah cukup untuk menggantikan biaya pembuatan rumpon dan untuk ia bagikan kepada karyawan-karyawannya.
“Kompensasi ini nanti selain untuk mengganti biaya pembuatan rumpon, nanti juga akan saya bagikan kepada karyawan-karyawan saya. Dan, ini sudah cukup nilainya,” jelasnya.
Sebagai seorang nelayan dengan kepemilikan jumlah rumpon yang cukup besar, Sunawa mengaku bahwa memiliki ketertarikan untuk bekerja di pertambangan minyak yang dilakukan oleh PT. TGS tersebut. “Jika ada kesempatan dan tawaran untuk menjadi pekerja tambang minyak, saya mau untuk diajak bekerja di sana,” tegasnya.
Dampak yang akan Terjadi
Survei ini dilakukan atas anggapan bahwa di perairan utara Bali diyakini ada cadangan migas sebanyak lima trillion cubic feet (TCF). Cadangan migas itu diprediksi ada pada kedalaman 600-800 meter di bawah permukaan laut. Setelah survei seismik tuntas, hasilnya akan diserahkan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hal itu tampaknya bukan omong kosong. Sebab, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga mengatakan hal demikian. Katanya, potensi sumber daya gas di kawasan Buleleng terbilang besar, bahkan telah masuk dalam tahap eksplorasi di sisi utara Pulau Bali.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, potensi sumber gas di perairan Bali Utara bisa mengambil bagian sekitar separuh dari data yang dimiliki Blok Masela, Maluku. “North Bali saat ini diduga memiliki cadangan yang besar juga, mungkin tidak sebesar Masela, tapi mungkin separuh Masela,” kata Tjipto di Surabaya, Senin (22/5/2023).
Pengembangan blok kaya gas di Bali Utara itu, sebagaimana telah beredar di berbagai pemberitaan, adalah Blok Agung yang terbagi dalam dua zona. Blok Agung I berada di laut dalam seluas 6.656 kilometer persegi lepas pantai Bali dan Jawa Timur, sedangkan Blok Agung II terletak di laut dalam lepas pantai Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur seluas 7.970 kilometer persegi.
Ketua DPRD Kabupaten Buleleng, Gede Supriatna, waktu itu mengatakan sudah mengetahui informasi itu sejak setahun lalu, dan berharap potensi tersebut mampu dioptimalkan untuk menunjang pundi-pundi bagi Kabupaten Buleleng maupun Provinsi Bali.
“Saya dapat informasi tentang keberadaan sumber gas alam tersebut sudah sekitar setahun yang lalu. Kalau ini benar dan sudah diekplorasi, tentu sesuatu yang sangat bermanfaat untuk Buleleng— karena kita akan memiliki pendapatan dari sumber daya alam yang selama ini, Bali maupun Buleleng tidak punya,” ungkap Supriatna, Jumat (26/5/2023).
Tumpukan rumpon yang sudah diangkat | Foto : Yudi
Lantas, jika memang PT. TGS jadi menambang gas di lepas pantai Buleleng, apa yang bakal terjadi? Tak ada yang dapat meraba dan melihat masa depan. Tapi setidaknya, berkaca pada pembangunan-pembangunan yang sudah-sudah, dampak positif dan negatif sudah berada di depan mata.
Dampak positifnya, sebagaimana dikatakan Kepala SKK Migas, Indonesia bakal mengalami surplus gas mencapai 1.715 MMscfd yang berasal dari beberapa proyek potensial dalam 10 tahun ke depan. Adapun, potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan dengan cadangan terbukti sekitar 41,62 triliun kaki kubik (Tcf).
Blok Migas Agung I berlokasi di lepas pantai Bali dan Jawa Timur diperkirakan memiliki sumber daya mencapai 985 miliar kaki kubik atau billion cubic feet (Bcf). Blok Migas Agung I itu dikelola BP Agung I Limited dengan nilai tanda tangan bonus atau signature bonus sebesar US$100.000. Sementara itu, komitmen pasti 3 tahun dipatok sekitar US$2,5 juta dengan rencana kerja G&G dan seismik 2D 2.000 kilometer untuk mengelola blok sepanjang 6.656,73 kilometer persegi.
Namun, di sisi lain, ada yang dipilih, tentu ada juga yang harus dikorbankan. Mengekstraksi cadangan minyak dan gas dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Secara khusus, eksplorasi dan pengembangan minyak dan gas menyebabkan terganggunya jalur migrasi, degradasi habitat hewan, dan tumpahan minyak—yang dapat berdampak buruk bagi hewan dan manusia yang bergantung pada ekosistem tersebut.
Selain itu, sebagaimana dikutip dari OSPAR Assessement Portal, ancaman seperti fenol, alkilfenol, dan asam naftenat, akan sangat mengganggu ekosistem laut. Beberapa bahan kimia berbahaya yang digunakan selama proses penambangan mengandung zat yang bersifat persisten, dan/atau mudah terakumulasi dalam organisme hidup dan/atau beracun.
Dampak terhadap organisme laut dari bahan kimia yang dibuang ke lingkungan laut dapat bersifat akut atau jangka panjang dan pada akhirnya dapat berdampak pada kesehatan manusia melalui jaring-jaring makanan.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto