“AWALNYA karena pandemi. Karena tidak banyak kerjaan, iseng-iseng bikin film,” kata Agus Primarta, agak terbata. Hadirin menyimaknya dengan serius. Pandemi, mungkin memang jahat; menghancurkan sebagian kehidupan. Dan menyerah adalah jalan yang paling mudah. Tapi, kata Mumu Aloha, hidup pada zaman teknologi yang memberikan jalan alternatif dan berbagai kemungkinan lain yang nyaris tiada batas, menempuh jalan paling mudah rasanya bukan pilihan yang elok.
Orang-orang berdatangan ke kedai kopi sederhana di Jalan Sedap Malam Banyuasri, Singaraja, itu. Pulang tiga, datang lima. Kebanyakan kaula muda. Tetapi, tampaknya tak banyak yang menaruh minat terhadap sekumpulan orang yang sedang berdiskusi tentang film—yang baru saja selesai diputar—yang duduk tepat di sudut paling strategis di kedai kopi deKakiang.
Tapi Gus Prim—panggilan akrab Agus Primarta—tak mengindahkan itu. Meski hanya sedikit orang yang memperhatikan dan menyimaknya, ia tetap berbinar menceritakan proses kreatifnya selama memproduksi beberapa film pendek. “Lalu saya ikut lomba. Dan siapa sangka, film itu dinobatkan sebagai film terbaik dari duaratusan film yang mendaftar,” katanya menggebu. Film yang ia maksud berjudul Seni di Tengah Pandemi yang ia garap bersama timnya pada tahun 2021.
Kardian Narayana dan Agus Primarta pada saat sesi diskusi / Foto: Prim Art
Motivasi Gus Prim memproduksi film pendek salah satunya adalah mengikuti perlombaan yang diselenggarakan di Tanah Air. Pada 2021, film pendek berjudul Seni di Tengah Pandemi yang dia sutradarai dan produksi berhasil meraih Indihome Indie Movie Awards 2021. Sedangkan, di tahun yang sama, film pendeknya yang berjudul Tirta lolos sebagai official selection dalam program Begadang Filmmaking Competition Minikino Film Week 2021.
Sebelum Gus Prim mengungkap perjalanannya menjadi sutradara film pendek, lebih dulu hadirin disajikan lima film yang pernah ia produksi, yakni Made (2022), Tirta (2021), Sesal (2021), Seni di Tengah Pandemi (2021), dan Nyambutin (2021). Pemutaran dan diskusi film yang bertajuk “Prim Art Edition” itu diselenggarakan oleh komunitas mikro sinema Singaraja Menonton yang bekerjasama dengan Kedai deKakiang, Jumat (20/1/2024) malam.
Made adalah sebuah film pendek fiksi berdurasi 07.53 menit. Film ini bercerita tentang keinginan seseorang anak kecil bernama Made. Namun, karena kondisi kehidupan yang tidak berpihak, ia harus mengubur keinginannya itu. Sedangkan empat film lainnya, semua berkisah tentang kondisi Covid-19, dari dilema seniman, sampai upacara keagamaan yang dibatasi dan penuh aturan atas satu alasan: demi keselamatan dan kebaikan bersama.
Suasana pemutaran dan diskusi film “Prim Art Edition” / Foto: Singaraja Menonton
Kelima film yang diputar tidak luput dari komentar dan kritik. Budayawan sekaligus wartawan senior Made Adnyana Ole mengatakan bahwa film-film yang dibikin Gus Prim memiliki kelemahan dari segi cerita. Gus Prim dinilai gagal dalam membuat alur yang membuat penonton penasaran. Menurut Pemred tatkala.co itu, beberapa alur cerita, khususnya dalam film Made, mengabaikan nalar dan logika.
“Kalau bikin cerita, puncak konflik itu bukan di ending. Tapi ada di beberapa adegan sebelum ending,” Ole menjelaskan. Gus Prim mengangguk-angguk sembari serius mendengarkan. Sepertinya ia sangat berterima kasih kepada tokoh yang dianggapnya “guru” itu.
Tetapi, terlepas dari saran dan kritik Made Adnyana Ole, satu hal yang harus diakui adalah bahwa Gus Prim termasuk sutradara muda yang cukup produktif, sebagaimana dikatakan Kardian Narayana, Direktur Program Singaraja Menonton, saat membuka diskusi.
“Bahkan dia berhasil memiliki semacam kelompok film sendiri dan tumbuh bersama. Di Buleleng, dia termasuk sutradara yang produktif,” ujar Kardian.
Apa yang dikatakan Kardian ada benarnya. Selain produktif, Gus Prim juga memiliki tim yang solid. Bayangkan, selama tahun 2021, setidaknya mereka berhasil memproduksi empat film. Kondisi ini tentu merupakan kabar baik bagi ekosistem perfilman di Singaraja. Mengingat, sejauh ini, selain Sang Karsa, nyaris tak ada kelompok lain di Singaraja yang produktif dan serius dalam menghasilkan film.
“Kami masih menggunakan dana pribadi setiap kali memproduksi film. Aktor-aktornya pun temen-temen sendiri,” kata Gus Prim melanjutkan ceritanya. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi setiap kreator. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan.
Suasana pemutaran dan diskusi film “Prim Art Edition” / Foto: Prim Art
Gus Prim memang bukan satu-satunya sutradara muda di Buleleng, tapi apa yang dilakukannya bersama timnya yang tergabung dalam Prim Art Production adalah sebuah ikhtiar yang harus didukung dan diapresiasi. Pasalnya, diakui atau tidak, Prim Art Production telah memberi semangat dan warna baru dalam dunia film di Kota Pendidikan ini. Ia, juga Singaraja Menonton barangkali, dapat menjadi pupuk untuk menumbuh-kembangkan dan mendukung ekosistem perfilman di Singaraja menjadi lebih baik.
Berbicara ekosistem kesenian, termasuk film, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan: kreasi, manajemen produksi, distribusi, konsumsi, dan apresiasi. Jika kelima hal tersebut sudah berada di dalam satu tempat yang sama, maka ekosistem kesenian baru bisa dibilang sehat. Sebab, satu saja hilang dari rel tersebut, sulit rasanya membayangkan sebuah kesenian dapat berlangsung-berkembang sampai pada titik kemajuan.
“Next, saya akan bikin film yang serius untuk festival. Sekarang sedang riset tentang petani cengkih di Tigawasa,” Gus Prim berkomitmen kepada dirinya sendiri dan kepada orang-orang yang hadir sebelum Kardian Narayana menutup acara pemutaran dan diskusi film malam itu.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole