LIBUR Galungan dan Kuningan tahun 2018, di tengah aktivitas kampus yang padat dan terik bulan puasa, untuk pertama kalinya saya mendaki gunung itu. Seorang teman meyakinkan saya bahwa mendaki gunung adalah aktivitas yang menyenangkan. Saya terpengaruh, meski awalnya sedikit gamang. “Ini gunung tidak tinggi, hanya seribuan mdpl. Cocok bagi pemula,” katanya, meyakinkan.
Waktu itu saya berangkat dengan bekal pengalaman yang minim—bahkan nyaris tak punya. Tapi beberapa teman memberi jaminan bahwa selama pendakian tidak akan ada hal buruk terjadi. “Percayalah,” ucap seorang teman.
Kami mendaki saat orang-orang sedang nyenyak bermimpi. Bintang bertebaran di langit, tapi malam tetap saja gulita. Saya seperti terperangkap di masa lampau, tanpa aliran listrik dan sinyal seluler. Tidak ada yang bisa dikerjakan selain terus berjalan dan bertukar cerita.
Jaswanto di puncak Gunung Batur tahun 2018 / Foto: Dok. Jaswanto
Setapak semakin terjal. Nyaris tak pernah landai. Pinggang Gunung Batur somplak dan berdebu, sementara tanjakannya penuh batu. Jurang dan kaki hanya dipisahkan oleh sejengkal jarak. Benar-benar sejengkal, tanpa pembatas pula. Begitu terjal hingga menuliskan kondisinya saja menguras tenaga.
Namun, anehnya, meski kaki terasa lumpuh, saat perjalanan mendaki menembus kegelapan malam di jalan setapak yang terjal, berpasir, berdebu, licin, berlubang, menanjak, seolah tak berujung telah terlewati, untuk pertama kalinya, saya merasakan sensasi yang hebat.
Saat sampai di puncak Gunung Batur, memotret atau berfoto dengan latar belakang sunrise yang indah, yang tak akan bisa saya lihat di tempat lain, menyatu dengan alam, seperti tak berjarak, di sebuah area yang berdinding kehampaan, merasa kecil, melebur, menggigil di dalam semak di sebuah cekungan lembah, di bawah naungan bintang-gemintang, di antara batu-batu dan rumput-rumput yang basah, dan jauh dari keramaian tentu saja, saya merasakan sebuah perasaan yang belum ternamakan sebelumnya—atau mungkin itulah yang disebut: ketenangan.
Batur adalah satu-satunya gunung di Bali yang saya kunjungi beberapa kali—nyaris tak terhitung bahkan. Meski tak setinggi Gunung Agung atau Gunung Abang, dalam kondisi tertentu, keindahan Batur tak perlu diragukan.
Beberapa pendaki berjalan di atas kaldera Batur tahun 2019 / Foto: Jaswanto
Jajaran kaldera yang menurut dugaan G. Marinelli dan H. Tazieff—dalam L’Ignimbrite et la Caldera de Batur (Bali, Indonesie) ( 1968)—terbentuk sekitar 22.000 tahun yang lalu itu, bagaikan lukisan Hindia Molek, gambaran haru-biru orang Eropa tentang eksotisme Timur.
Konon, pada 30.000 tahun yang lalu, gulungan bubur panas raksasa dari perut Gunung Batur menjalar pelan menuju arah selatan lebih dari 40 kilometer dari bibir puncaknya. Abunya merabunkan pandangan mata karena sangat tebal.
Sekarang, endapan bubur panas itu, juga batuan dan abunya, meninggalkan paras-paras halus di sekitaran Sukawati, hingga lekukan batuan indah di sepanjang Hidden Canyon, Desa Guwang, Kabupaten Gianyar. Jejak letusan Batur juga dapat dinikmati di dinding Tukad Ayung, Air Terjun Tegenungan.
Seorang Peneliti Kaldera Nusantara Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo membayangkan tebal dinding bubur panas itu mencapai ketinggian lebih dari 20 meter di Hidden Canyon. “Maka, ketinggian itu mampu menggambarkan betapa muntahan lava Batur tertinggi bisa diperkirakan lebih dari 400 meter,” katanya.
Suasana menjelang pagi di puncak Gunung Batur tahun 2019 / Foto: Jaswanto
Tinggalan Batur, tulis Ayu Sulistyowati dalam “Letusan Gunung Batur Melukis Alam Bali” (2020), yang berbeda dari letusan kaldera Nusantara lainnya adalah kehalusan warna dan tekstur paras atau bisa disebut padas. Di tebing-tebing Sungai Petanu, di Gianyar, tersaji dinding-dinding tebing batuan dengan warna krem kekuningan, terpotong lurus vertikal oleh mesin-mesin gergaji tambang batu.
Ketika sebagian rakyat Indonesia heboh dengan Debat Capres 2019—yang kemudian, seperti biasa, muncul ribut-ribut dan segera memenuhi timeline media sosial tentang perilaku kedua capres, pendapat, dan lain-lain—bersama tiga kawan saya memilih berkendara menuju Gunung Batur. Meninggalkan kota pada akhir pekan, mulai mendaki pada pagi buta. Beberapa bulan setelahnya, bersama teman-teman dari India, saya kembali menyambangi gundukan batu purba setinggi 1717 mdpl itu.
Sebagaimana gunung di Bali pada umumnya, Batur juga dianggap sebagai tempat suci. Menurut keyakinan setempat, gunung purba ini sering disebut “ibu” dari Gunung Agung. Namun, berbeda dengan anggapan tersebut, dalam lontar Candi Supralingga Bhuana—sebagaimana disampaikan I Ketut Sumarta dalam Batur Jantung Peradaban Air Bali (2015)—Agung dan Batur justru dianggap “pasangan”.
Jaswanto bersama teman-teman India-nya di puncak Gunung Batur / Foto: Dok. Jaswanto
Agung adalah purusha (laki-laki) dan Batur adalah pradana (perempuan). Purusha-pradana dalam Agung-Batur senantiasa bersinergi untuk melahirkan kesuburan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Keduanya menyatu sebagai dwi lingga giri (dwi = dua, lingga = tempat, giri = gunung). Terlepas dari anggapan tersebut, yang jelas, keduanya adalah gunung api (volcano) yang berada dalam lingkaran atau rangkaian Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire).
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sebagaimana kita ketahui, Gunung Batur adalah tempat tujuan pendakian yang paling diminati di Bali berdasarkan jumlah wisatawan. Setidaknya ada empat sampai enam jalur pendakian dari desa-desa di kakinya. Tapi yang paling dikenal dan umum adalah starting point dari area Pura Jati yang terletak di pinggang Gunung Batur.
Bali telah lama terjerumus ke dalam mangkok salad pariwisata. Sejak Walter Spies melukis pemandangan sebuah pulau yang indah dan eksotis pada tahun 1930-an, sebagaimana ditulis Edward Speirs dalam “Coming to Terms with Change in Bali (and of Bali)” (2022), reputasi sebagai surga telah membayangi Bali.
Berkat alamnya yang asri, sejak dulu Bali masuk radar turis—bahkan pria Meksiko bernama Covarrubias menjulukinya sebagai “the last paradise”. Selain alam, Bali punya ajang kebudayaan dan kesenian yang selalu ramai bukan kepalang. “Kita tidak mungkin melarang orang untuk datang ke sini,” jawab seorang tour guide dengan tenang dan diplomatis. Berbeda dengan Ciptagelar, misalnya, Bali sangat sudi menjadi objek wisata.
Jaswanto bersama kedua sahabatnya di sabana Batur / Foto: Dok. Jaswanto
Namun, jika keindahan adalah sumber daya Bali, kata Speirs, maka itu juga kutukannya. “Kecantikan adalah daya pikat yang otentik namun sekaligus menjadi korban: ‘Cantik itu Luka’, seperti yang dikatakan oleh penulis Indonesia Eka Kurniawan,” sambungnya.
Kintamani, tempat Batur berdiri, tak luput dari radar. Dalam banyak hal, popularitas Kintamani bahkan melebihi Bangli itu sendiri. Bahkan, saking tersohornya, pada 1970-an beredar film berjudul “Kabut di Kintamani” karya Kurnaen Suhardiman. Sedangkan musisi legendaris Indonesia Ebiet G.Ade dengan romantik menulis “…sejuk lembut angin di bukit Kintamani…” pada lirik lagu “Nyanyian Rindu” tahun 1980.
Beberapa orang menyebut puncak kejayaan pariwisata di Kintamani terjadi pada tahun 80-an, saat perpaduan antara pariwisata dan budaya mulai digagas Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Ketika itu dapat melihat kaldera Batur dengan paduan budaya dan tradisi adalah pengalaman yang luar biasa. Namun, seiring waktu berlari, wisata-budaya di Batur mulai ditinggalkan.
Jaswanto sedang memotret di atas kaldera Batur / Foto: Dok. Jaswanto
Wisata kebudayaan di Kintamani kini telah memudar. Mereka tidak lagi lestari. Mereka telah modern. Tetapi, bagaimana mungkin sebuah kebudayaan bisa dilestarikan sementara ia adalah entitas yang terus bergerak? Batur tampaknya terlalu tua dan lelah untuk menjawab.
Sebelum pandemi memorak-porandakan banyak tatanan, bersama beberapa teman, saya kembali mendaki Gunung Batur. Meski tak sampai puncak, saya tetap merasakan sensasi yang hebat, seperti pertama kali mengunjunginya. Sabananya, batuan purbanya, embun paginya, asap belerangnya, adalah bagian sedikit keindahannya. Bali mungkin telah berubah, tapi Batur barangkali akan tetap suci dalam hati dan pikiran masyarakat sekitarnya.[T]