ADA empat pohon mangga yang sedang ditanam istri saya sore ini. Tiga pohon sudah berhasil ditanam di pekarangan rumah, namun ketika hari mulai gelap ia memutuskan untuk menanam satu pohon lagi besok pagi, setelah terbitnya matahari. Ia mencuci tangannya di bawah pancuran air keran yang terpasang di kamar mandi. Saya menyuruh petukang untuk membuatkan dua pancuran air, yang satu untuk mengisi bak mandi, satunya lagi di samping bak agar memudahkan kami mencuci atau membersihkan sesuatu dari pancuran air tersebut.
Setelah isya, istri saya menyediakan hidangan makan malam, kemudian kami sekeluarga berkumpul di sekitar meja makan. Kedua puteri saya, Adiba dan Alena sudah duduk seraya berdoa sambil tertawa-tawa saling berlomba siapa di antara mereka yang lebih fasih membaca doa sebelum makan. Istri saya menegur mereka agar duduk dengan sopan saat berdoa, “Karena Tuhan akan mencintai hamba-Nya yang lebih serius berdoa, daripada orang yang bercanda seolah-olah mempermainkan doa.”
Alena membela diri bahwa ia memang bercanda, tetapi ia tak berniat mempermainkan doa, apalagi mempermainkan Tuhan. Meskipun kakaknya, Adiba berusaha menengahi bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, terlebih kepada hamba-Nya yang mau berdoa sebelum dan sesudah makan. Akhirnya, saya pun menyarankan mereka agar menghabiskan makanannya, terutama Alena yang seringkali menyisakan makanan di piring. Tapi malam ini, tampaknya ia makan dengan lahapnya hingga tak menyisakan sisa makanan sedikit pun.
Ketika mereka sedang belajar di kamar, istri saya menatap mata saya dengan sorotan tajam, “Ada apa, Pah?” tanyanya kemudian.
“Ke sini sebentar, Mah!” Saya mengajaknya menuju sofa ruang tamu, dan kami pun duduk berdampingan.
“Ada apa sih? Sepertinya Papah serius banget tadi di meja makan?”
Saya menatap matanya, kemudian berbisik pelan, “Mah, apa yang akan kita lakukan kalau malam ini adalah malam terakhir kita?”
“Maksudnya?”
“Malam ini akan datang kiamat, Mah,” kata saya.
“Ah, Papah ada-ada saja,” balasnya tak acuh sambil mengamit pot bunga dan membetukan dahan kawat yang melenggkung.
“Saya serius, Mah, malam ini akan datang kiamat,” tegas saya lagi.
“Ah, dari mana Papah tau?”
“Serius Mah, malam ini!”
Sorot mata istri saya mulai berkaca-kaca. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Tapi saya enggak dengar kabar apa-apa?”
Ia menghilang sebentar ke dapur, membuatkan dua cangkir teh, kemudian kembali duduk di sofa tanpa suara. Cahaya lampu agak berkedap-kedip, lalu Adiba berteriak dari kamar menanyakan pada ibunya. Seketika saya menjawab, bahwa tegangan listriknya mungkin sedang menurun. “Sebentar lagi juga terang kembali, Sayang,” kata saya menenangkan. Istri saya menatap lampu dengan perasaan waswas.
“Papah serius, malam ini?” ujarnya.
“Ya,” kata saya mengangguk.
“Lalu, apa yang harus kita persiapkan, Pah? Apakah kita perlu telepon saudara-saudara kita sekarang?”
“Saya kira tidak perlu.”
“Apakah akan ada bom hidrogen? Apakah gara-gara perang antara Israel dan Palestina?”
“Bukan,” kata saya menggeleng, “Ini memang sudah waktunya akhir zaman.”
“Semacam tutup buku di Lauhul Mahfudz, begitu?”
“Kurang lebih seperti itu,” kata saya dengan tatapan menerawang.
“Ah, saya enggak paham, Pah.”
“Sama, saya juga enggak paham. Saya cuma merasakan saja. Kadang perasaan ini membuat saya takut… tapi, anehnya kadang juga membuat hati merasa tentram.”
Saya melangkah pelan menuju pintu kamar, menoleh ke dalam untuk memastikan kedua puteri saya sedang belajar. Rambut Alena yang nampak agak pirang, sudah memanjang melewati bahu dengan warna berkilauan di bawah sinar lampu 20 watt. Saya kembali ke sofa sambil merendahkan suara, “Mah, sekarang Papah mau bilang, bahwa tanda-tandanya sudah saya rasakan sejak seminggu lalu.”
“Maksud Papah?”
“Saya mimpi munculnya suara melengking seperti terompet raksasa yang ditiup oleh laki-laki berjubah putih, dengan tubuhnya yang tinggi dan besar.”
“Mungkin itu yang dimaksud Malaikat Israfil?”
“Suara itu mengisyaratkan bahwa semua yang ada di muka bumi ini akan hancur dan binasa. Tadinya saya enggak mempedulikan mimpi itu, tapi ketika paginya saya berangkat mengajar ke sekolah, tiba-tiba Pak Supadilah wali kelas tiga A bercerita di kantor guru, bahwa dia telah bermimpi sama dengan apa yang saya mimpikan. Jadi, mimpi dia itu persis sama, khususnya mengenai jenis terompetnya, ciri-ciri peniupnya, pakaiannya, bahkan bentuk kehancuran yang disaksikannya.”
“Setelah terompet itu ditiup?”
“Ya, persis sekali.”
Kami terdiam sejenak, lalu lanjut saya, “Siang harinya, ketika saya keluar kelas sehabis mengajar, saya berpapasan dengan Ibu Irawaty yang habis mengajar di kelas dua C, tampaknya dia diam saja ketika saya sapa, lalu saya mengajaknya duduk-duduk di bangku panjang untuk menanyakan ada masalah apa. Tiba-tiba dia membuka mulutnya, lalu menceritakan mimpi yang sama dengan apa yang kami mimpikan. Saya tak habis pikir, sebab dia pun bicara tentang terompet, tentang manusia raksasa yang berjubah putih, bahkan bentuk lengkingan terompet itu pun sama saja. Lalu, saya menduga, barangkali banyak orang-orang yang bermimpi sama, hanya mereka enggak mau menceritakannya seperti Ibu Irawaty dan Pak Supadilah.”
“Jadi, Papah percaya dengan mimpi itu?” ulang istri saya, sambil menatap lampu yang beberapa kali berkedip.
“Saya yakin malam ini, Mah. Tanda-tandanya sudah jelas sekali.”
Istri saya menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah saya. “Kira-kira jam berapa, Pah?”
“Ini malam apa, Mah?” tanya saya spontan.
“Malam Jumat.”
“Mungkin beberapa saat setelah jam duabelas malam.”
“Jadi, begitu di mimpi Papah? Ada kabar mengenai waktunya?”
“Tidak,” kata saya menggeleng. “Di mimpi itu suasananya gelap sekali, kemungkinan besar di sekitar jam-jam itu. Jadi, malam ini di wilayah Indonesia, Asia dan sekitarnya, lalu menyusul wlayah-wilayah lainnya. Prosesnya kira-kira memakan waktu duapuluh empat jam.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan malam ini, Pah? Apakah Adiba dan Alena perlu diberitahu sekarang juga?”
“Ssst, jangan, nanti mereka panik… lebih baik kita hadapi saja bersama-sama, apa yang akan terjadi malam ini.”
Kami duduk duduk dalam diam, suasana hening dan senyap. Saya mengambil cangkir dan menghirup teh yang sudah mendingin. Istri saya menoleh sebentar untuk memastikan apakah kedua puteri kami sudah tidur.
“Apakah kita pantas mendapatkan kehancuran ini, Pah?”
“Bukan soal pantas atau tidak pantas, masalahnya ini sudah akhir zaman, sudah ketentuan Tuhan. Seperti halnya Alena yang jatuh dari pohon jambu dua bulan lalu. Diterima atau tidak diterima, kejadian itu sudah menjadi catatan-Nya di sana,” kata saya menunjuk ke atas.
“Tapi dalam beberapa hari ini, hampir tidak ada siaran teve yang menayangkan akan datangnya kiamat?”
“Untuk apa memberitakan sesuatu yang belum terjadi? Misalnya, kejadian tsunami beberapa tahun lalu di perairan Aceh atau di Selat Sunda, toh malam harinya enggak ada kabar apa-apa, tapi pagi harinya tiba-tiba terjadi begitu saja, kun fayakun?”
“Lalu, bagaimana dengan Dajjal, dan datangnya Imam Mahdi?”
“Saya kira, itu semacam metafora atau simbol yang dibuat untuk diwujudkan ke dalam teks hadis atau kitab suci, tapi boleh jadi sosok-sosok perusak itu memang sudah ada, begitu pun sosok-sosok penegak kebenaran dan keadilan. Tapi, entah di mana tempatnya dan siapa orangnya, mungkin kita tidak melihatnya. Sedangkan simbolisasi Dajjal bermata satu itu identik dengan pemikiran manusia dengan perspektif tunggal, ketika banyak orang menghendaki agar setiap manusia berkiblat dalam satu peradaban dunia, sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dikehendakinya.”
“Semacam Ka’bah, begitu?”
“Bukan, kalau Ka’bah memang dari wahyu Tuhan, tapi kiblat yang dikehendaki Dajjal lahir dari ambisi dan obsesi manusia sendiri.”
“Kenapa mereka tega melakukan perbuatan sekejam ini, Pah?”
“Masalahnya, mereka juga berbuat atas dasar kebanaran.”
“Ini pembenaran, bukan kebenaran,” kata istri saya jengkel.
“Ya, saya setuju, tapi mereka berbuat atas dasar keyakinan mereka.”
“Omong kosong, saya kira ini cuma nafsu eksplorasi yang tak mau direm oleh mereka. Semacam hawa nafsu yang tak mau mereka kendalikan…”
“Padahal tidak semua yang sanggup terjangkau oleh kecerdasan otak, boleh semua-maunya mereka lakukan,” sambung saya lagi.
“Ya, padahal mereka juga manusia yang dibekali pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.” Ia terdiam sejenak, dan lanjutnya, “Lalu, mengenai jebolnya tembok pembatas, munculnya Ya’juj dan Ma’juj yang berbaur dengan umat manusia?”
“Itu juga metafora di dalam Alquran. Apakah jebolnya tembok dan penyatuan manusia itu identik dengan jebolnya Tembok Berlin dan bersatunya Jerman Barat dan Timur, ataukah Tembok China yang tak ada batasan lagi, ataukah bersatunya Korea Selatan dan Korea Utara? Ataukah justru bertemunya Israel dan Palestina berikut runtuhnya batas-batas yang memisahkannya. Saya kira, di seluruh dunia sudah tidak ada batasan lagi antara orang beriman dan kafir, muslim dan musyrik, theis dan atheis, termasuk yang liberal maupun yang religius. Sekarang, semuanya sudah menyatu dan berbaur di sekeliling kita.”
“Lalu, munculnya binatang melata atau dabbah dari perut bumi?”
“Mah,” kata saya mengingatkan, “bukankah virus corona berikut varian-variannya beberapa tahun terakhir, ini adalah fakta yang baru kali ini terjadi dalam sejarah, suatu penyakit bisa mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia di seluruh permukaan bumi ini. Juga negara kita kewalahan menanganinya, bahkan saudara-kerabat, dan keluarga kia pun merasakannya.”
Saya mengelus-elus bahu istri saya yang sedang menatap pintu kamar dengan tatapan yang mencekam, “Apakah kamu takut?” tanya saya kemudian.
Ia pun menggeleng, “Enggak, saya hanya lebih fokus memikirkan anak-anak ketimbang diri saya sendiri. Kalau dulu saya merasa takut dengan kematian, tapi setelah berbaring tujuh minggu di rumah sakit waktu terkena Covid-19 lalu, persepsi saya tentang mati sudah berubah.”
“Tapi, bukan berarti menantang Tuhan, kan?”
“Sama sekali tidak.”
Kami terdiam dalam suasana khidmat, kemudian kata saya, “Bagaimanapun kita harus siap menghadapi keputusan Tuhan, dalam situasi apapun.”
“Ya,” balas istri saya dengan tatapan menerawang, “melihat kenyataan hidup di sekeliling kita, bahkan di seluruh dunia saat ini, sepertinya cukup logis jika hal ini memang harus terjadi.”
“Tapi hidup kita selama ini baik-baik saja, kan?”
“Ya,” jawab istri saya, “tampaknya hidup kita biasa-biasa saja. Dalam hal-hal tertentu justru lebih baik daripada rumah-tangga orang lain. Kita juga tidak melakukan hal-hal yang berisiko tinggi untuk melanggar peraturan agama, maupun kejahatan kemanusiaan. Sementara, banyak orang, atau rumah-tangga lain yang tergopoh-gopoh ingin mengubah hidup mereka menjadi luar biasa.”
Kedua puteri kami ternyata belum tidur. Waktu sudah menunjukkan Pk. 21.30 malam. Di kamar mereka sedang memainkan balok-balok plastik yang disusun hingga meninggi. Kadang balok-balok itu dibiarkan berdiri tegak dalam susunan yang rapi, sampai kemudian keesokan paginya mereka robohkan kembali untuk dimasukkan ke wadah plastik.
“Kadang saya membayangkan, ketika muncul suara sangkakala yang disusul dengan kerusakan di sana-sini, lalu orang-orang tentu akan berhamburan keluar rumah sambil berteriak-teriak histeris di sepanjang jalan.”
“Saya kira itu cuma imajinasi dalam film saja,” tegur saya. “Kalau kehancuran itu terjadi seketika, dan suasananya sedemikian parah, orang-orang sudah tidak sanggup lagi berteriak. Mereka hanya menerima apa adanya.”
Saya duduk tengadah, menarik nafas panjang dan menatap jam dinding yang sudah menunjukkan Pk. 22.15. Istri saya menyingkap hordeng dan melongok keluar jendela yang gelap. Kedua puteri kami sudah tidur, lalu saya mengecup kening mereka satu persatu. Saya memeluk istri di ruang depan dalam posisi berdiri, kemudian berkata sambil berbisik, “Kita hadapi saja bersama-sama. Jika memang benar-benar terjadi malam ini, yakinlah bahwa ini adalah hal terbaik yang Allah putuskan.”
“Tapi, apa yang harus kita persiapkan, Pah? Menurut kiai ini kita harus baca ini, menurut ulama itu, kita harus baca itu. Lalu, mana di antara pendapat mereka yang benar, paling tidak mendekati kebenaran, hingga kita sanggup menyelamatkan diri atas pertolongan Tuhan?” kata istri saya semakin tegang.
“Saya kira para ulama maupun pendeta bermaksud baik, mereka hanya berbeda dalam soal menafsirkan wahyu Tuhan. Tapi pilihan yang tepat saat ini, sebaiknya kita percayakan sepenuhnya pada kekuasaan Allah Yang Menggenggam dan Merawat alam raya ini. Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Yakinlah, bahwa sifat Penyayang Allah kepada hamba-Nya akan melebihi sifat-sifat lainnya. Mustahil Dzat Yang Penyayang itu akan berlaku zalim kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya.”
Kami terdiam sejenak, dan sambung saya, “Kalau ada kesepakatan ahli-ahli agama untuk melakukan yang terbaik, tentu malam ini seluruh manusia di dunia akan melakukan hal yang sama. Tapi, memang inilah yang pertama kali dalam sejarah manusia, di mana semua orang sedang melakukan apa yang terbaik menurut keyakinan masing-masing.”
“Saya jadi penasaran, apa yang sedang dilakukan orang-orang malam ini, selama beberapa jam ke depan.”
“Apapun yang dilakukan orang-orang di luar sana, malam ini sebaiknya kita matikan teve, ponsel, dan semua jenis elektronik yang mengeluarkan suara.”
“Oo iya, saya harus tutup rapat air keran dulu. Sepertinya masih ada suara air yang keluar,” istri saya menuju kamar mandi, lalu muncul lagi sambil bertanya, “Lalu, kenapa harus malam ini, Pah? Kenapa bukan suatu malam di tahun lalu, seabad lalu, atau sepuluh abad lalu?”
“Mungkin karena tidak ada tanggal 19 Januari 2024 di abad-abad sebelumnya. Tapi sekarang, tanggal itu membawa petaka yang sebentar lagi akan menghancurkan dunia dan seisinya.”
“Bagaimana kalau kita salat tahajud bersama di ruangan ini, Pah, sementara kita biarkan anak-anak tidur di kamar?”
“Saya kira itu pilihan yang terbaik,” sambut saya.
Kini, waktu sudah menunjukkan Pk. 23.24. Istri saya menyisakan sedikit celah dan tidak menutup kamar anak rapat-rapat. Barangkali, supaya kami bisa mendengar suara mereka jika memanggil-manggil orang tuanya.
Saya membayangkan, bahwa malam ini, orang-orang di seluruh dunia sedang menghabiskan menit-menit terakhir dalam hidup mereka, dengan caranya masing-masing. Bahkan, masing-masing tokoh agama pasti menjatuhkan pilihan terbaik sesuai dengan keyakinan mereka yang berbeda-beda.
Apa yang bisa kami lakukan, setelah melaksanakan salat tahajud adalah duduk berdampingan sambil berpegangan tangan di samping pembaringan kedua puteri kami. Menit demi menit, bahkan detik demi detik sudah hampir mendekati Pk. 24.00. Istri saya semakin erat menggenggam kedua telapak tangan saya.
Ketika detik terakhir mendekati Pk. 24.00, tiba-tiba keluar suara dari mulut istri saya, “Pah, ingatkan saya, ada satu lagi pohon mangga yang siap ditanam di pekarangan rumah kita.”
“Kapan pohon mangga itu mau ditanam, Sayang?”
“Besok, setelah matahari terbit.”
Dan saya pun memeluk istri saya sambil tersenyum.[T]
- BacaCERPEN-CERPEN lain tatkala.co