SEORANG kakek berpesan, “Aku titip cucuku ya!”
“Iya, Kek. Saya akan coba,” jawab Laki-laki yang baru kelas dua sekolah menengah atas itu.
Kemudian, laki-laki itu berpamitan, bersalaman. Sebelumnya, Si Kakek bercerita panjang kali lebar tentang cucunya.
Menurutnya, Si Cucu, perlu bimbingan oleh teman sebayanya. Lingkungan bermain yang sehat dan pribadi yang baik menjadi sesuatu yang diharapkan Si Kakek kepada cucunya.
Ya, Laki-laki itu, adalah teman sebaya cucu kakek, hanya berbeda sekolah saja.
Pada suatu malam, di hari yang lain, laki-laki itu bertemu dengan tetangga Si Kakek (Si Tetangga), usianya sekitar setengah abad. Setelah tahu laki-laki itu teman sebaya cucu Si Kakek, dia juga berpesan hal yang sama (seperti Si Kakek).
Hanya saja ada sedikit tambahan, “Sebelum ayahnya meninggal, dulu pernah berpesan kepada saya, untuk ikut mendidik dan membimbing (anaknya), berhubung sekarang ada kamu, tolong bantu saya untuk menuntaskan tugas dari ayahnya!”
Laki-laki itu kaget, kenapa berurutan, ada apa? Tercekat dan bingung menjawab apa, akhirnya laki-laki itu menjawab, “Iya Pak, saya akan coba!”
“Terimakasih ya!” kata Si Tetangga.
Di jalan menuju rumah, laki-laki itu berfikir keras. Memunculkan banyak pertanyaan, “Mengapa orang-orang mempercayakan Si Cucu (teman sebayanya) kepadaku? Aku punya kemampuan apa? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana dengan diriku yang juga butuh bimbingan dan arahan?”
Pertanyaan demi pertanyaan menggelembung di kepala, tak terasa sudah sampai di depan rumah. Duduk di depan kursi teras, diambilnya handphone di kantong celana. Dia membuka sosial media, barangkali ada sesuatu yang menginspirasi. Berfikir sejenak dan merenungi, apa yang sedang terjadi.
Diletakkan handphone di meja yang sedari tadi dia mainkan. Diingatnya kelakuan teman sebayanya itu, tingkah lakunya memang butuh bimbingan. Dipetakan satu persatu, dibuatnya rencana kegiatan mereka berdua untuk menjalin keakraban.
Membicarakan hal yang mendasar dan merinci apa saja yang bisa disinergikan. Mulai bakat, minat, dan hobi atau bahkan terkait mata pelajaran di sekolahan. Dirangkainya dalam pikiran.
Tak terasa sudah hampir tengah malam, alarm waktu tidur dari handphone yang terletak di atas meja berbunyi. Bergegas laki-laki itu masuk ke dalam rumah untuk merebahkan badan, sembari yakinkan dalam hati, besok ada harapan.
Waktu berjalan, satu dua pertemuan masih belum mempan. Tingkah lakunya masih belum ada perubahan yang signifikan. Sepertinya masih jauh dari harapan. Dicobanya lagi, pertemuan tiga, empat dan seterusnya.
Masih sama, tidak ada perubahan. Laki-laki itu terus mencoba, namun masih sama. Terbesit untuk putus asa, tapi rasa penasaran terus ingin mencoba. Tapi, laki-laki itu sudah bingung, cara apalagi yang harus dia coba.
Setitik cahaya perubahan itu ada, di saat laki-laki itu hampir menyerah. Teman sebayanya melakukan tindakan melanggar norma, membuang barang yang bukan miliknya di sungai.
Di luar nalar dan dugaan, melebihi batas yang laki-laki itu dan kebanyakan orang pikirkan, semua terheran-heran. Apa yang dia lakukan menjadi perbincangan, masyarakat memburunya. Sebagian yang lain ingin menghakimi memberi umpatan dan mungkin pukulan.
Pertama, barang itu berharga, masyarakat merasa memilikinya dan yang kedua, membuang apapun di sungai jelas pelanggaran hukum. Di masyarakat membuang sesuatu di sungai adalah aib. Sehingga, jelas masyarakat heran dan marah.
Respon masyarakat yang demikian membuat teman sebayanya ketakutan, tubuhnya bergetar tak karuan. Menangis tersedu-sedu di balik pintu. Laki-laki itu, Si Kakek, dan tetangga si Kakek, tahu kejadian itu. Mereka marah bercampur malu.
Tak ingin menuruti hawa nafsu, laki-laki itu memperluas sudut pandang. Di tengah perasaan marah dan malu tak karuan, laki-laki itu berkeyakinan, “Ini adalah skenario Tuhan di saat aku mulai kewalahan!”
Dia semakin yakin dan bersemangat, tugas dari si Kakek dan si Tetangga mulai ada titik terang. Tak ingin teman sebayanya sendiri menghadapi masalah ini, laki-laki itu berkomitmen untuk menemani. Kemudian, laki-laki itu dan teman sebayanya, meminta pendapat sana-sini bagaimana menghadapi kasus ini.
Dua pelajar sekolah menengah atas menghadapi benang kusut agar terurai. Tahapan demi tahapan mereka lalui dengan penuh mawas diri. Bertemu berbagai pihak dengan rasa takut dan was-was tetap mereka jalani. Mencermati dan menikmati setiap caci maki dari sana sini.
Di sisi lain, tak sedikit orang-orang turut menasehati dan menyemangati untuk tetap bertanggungjawab dan tegar menghadapi. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi masing-masing diri. Mungkin akan dikenang sampai mereka tua nanti. Berjuang menemani teman sebayanya, terhindar dari jeruji besi.
Pada Keesokan harinya, laki-laki itu menghadap kepada Si Kakek dan Si Tetangga dalam waktu yang berbeda. Melaporkan tugas yang diembannya telah selesai tahap pertama.
Dia berkeyakinan, mendidik perilaku setiap manusia adalah pekerjaan sepanjang masa, tidak cukup waktu sebentar merubah tingkah laku seseorang menjadi baik. Sehingga, selama masih bersama dengan teman sebayanya, tugas itu tetap ada dan menjadi tugas tahap kedua, ketiga dan selanjutnya.
Kemudian, laki-laki itu memberi pengertian kepada keduanya, apa yang menimpa teman sebayanya (disadari atau tidak) atas dasar harapan yang mereka inginkan. Seolah-olah Tuhan memberi cobaan terlebih dahulu sebelum teman sebayanya naik derajat (lebih baik dalam hal tingkah laku).
Maka sebaiknya, mari bersama temani dia sebagai tanggung jawab sosial. Terakhir, Tuhan memberikan sesuatu kepada manusia hari ini, (jika manusia ingat) adalah sesuatu yang pernah manusia “langitkan” kemarin. Si Kakek dan Si Tetangga, hanya tersenyum kegirangan, tidak merasa digurui dan diceramahi, melainkan penyampaian konklusi dari episode pelajaran yang mereka alami. Esok lusa, mereka tidak terlalu cemas lagi. [T]
- BACA tulisan lain dari penulisCherik Ayyash