KABAR duka datang dari Rumah Sakit Hermina Grand Wisata, Bekasi. Seorang cendekiawan yang juga sejarawan dr. Soegianto Sastrodiwiryo tutup usia pada Senin (18/12/2023) siang. Semasa hidupnya, dr. Soegianto menulis banyak buku sejarah dan pernah aktif di berbagai organisasi. Padahal, secara akademis, ia adalah seorang dokter.
“Pak Soegianto berpulang akibat pneumonia. Mohon doanya dan dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya untuk kekhilafan yang diperbuat selama hidupnya,” kata Amoeng A. Rachman, sahabat yang juga editor beberapa buku dr. Soegianto Sastrodiwiryo.
Soegianto Sastrodiwiryo lahir di Singaraja, 12 Agustus 1943. Ia adalah putra dari perkawinan Alip Soemioto yang berdarah Jawa (Solo) dengan Legi Rahayu yang berdarah Bali (Lombok).
Pada tahun 1977, setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Soegianto berkarier sebagai dokter Inpres di daerah Nusa Tenggara Timur. Namun, itu hanya berlangsung selama dua tahun. Sejak tahun 1979 ia berhenti dengan hormat sebagai PNS dan pulang ke Bali, tanah kelahirannya, dan bekerja di ASJ Bina Atma Denpasar.
Selama hidup di Bali, Soegianto pernah menjadi Ketua ICMI Orsat Buleleng—dan ia merupakan ketua yang pertama. Selain itu, ia juga pernah tercatat sebagai pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Buleleng.
Soegianto termasuk sosok yang unik. Bagaimana tidak, selain tekun memelajari ilmu medis, ia juga terkenal memiliki minat terhadap ilmu sejarah dan sastra. Untuk itulah, maka tak mengherankan, sejak memutuskan kembali ke Bali setelah mengabdi di NTT, alih-alih mendirikan klinik atau apotek, ia justru mendirikan Yayasan Kawisastra Mandala—sebuah lembaga yang bergerak di bidang usaha pelestarian lontar-lontar tua—dan Lembaga Pengkajian Bali Utara (North Balinese Study Group).
Mengenai minatnya terhadap sastra dan sejarah tidak bisa dianggap main-main. Sejak tahun 1994, alih-alih menulis buku tentang kedokteran, ia memang lebih banyak menelurkan karya sastra dan sejarah. Lihatlah buku-buku hasil karyanya yang sudah diterbitkan, seperti Perang Jagaraga (1994), I Gusti Anglurah Panji Sakti (1994), Perang Banjar (1997), Perjalanan Danghyang Nirartha (1999), Budak Pulau Surga (2009), Pemberontakan Bali Aga (2021), dan Kalacakra Tantrayana (2022).
Selain menulis karya sastra-sejarah, ia juga menulis kumpulan esai sosial budaya dan sejarah yang berjudul “Mumbul Melintasi Zaman”. Serta beberapa buku yang masih dalam proses pengeditan.
Namun, Soegianto tak selamanya bermukim di Bali. Pada tahun 1994 ia memilih bermukim di Bekasi, Jawa Barat. Dan, di sana juga lah ia mengembuskan napas terakhirnya. Selamat jalan Soegianto Sastrodiwiryo. Namamu akan abadi dalam karya dan pikiran-pikiranmu.[T]