Penulis: Ni Kadek Nindi Ayu Dinda
EKSISTENSI jaja (kue) bali terjaga sepanjang zaman. Ada banyak orang Bali yang dengan begitu gigih mempertahannya. Banyak orang dengan begitu tekun menampilkan ketahanan dan daya tarik kuliner manis tradisional itu di tengah arus makanan modern yang terus berkembang.
Salah satu pedagang yang masih bertahan berjualan jaja bali adalah Dayu Kade Made (65). Ia tak hanya menjaga eksistensi jaja bali, namun juga menggantungkan hidupnya dengan berjualan jaja bali. Dayu melakoni sebagai penjual jaja bali sejak tahun 1992. Tak dapat dipungkiri bahwa sudah selama 31 tahun wanita paruh baya yang memiliki empat anak itu berjualan jaja Bali.
Luh Kade Made, penjual jaja bali di pasar Banyuasri
Dayu banyak mempunyai langganan dari berbagai kalangan yang setia menggemari jajanan tradisional buatannya.
Awalnya Dayu membuka lapak dagangannya di daerah Jalan Samudra, di sebelah timur Pasar Banyuasri, Singaraja, mulai 1 Oktober 1992. Kemudian setelah pandemi covid-19, ia mulai membuka lapak lagi di tempat yang berbeda yaitu di pasar tumpah Banyuasri.
“Kalau pagi itu jualannya mulai dari jam 6 pagi sampai 12 siang di Jalan Samudra, terus sorenya lanjut di pasar Banyuasri dari jam 4 sore tapi tutupnya gak menentu kadang jam 8 kadang 9 malam,” ujarnya saat ditemui, Selasa 05 Desember 2023.
Jadi saat ini Dayu berjualan di dua lokasi yang berbeda. Pagi-pagi datanglah ke Jalan Samudera, sorenya bisa dapatkan jaja bali di pasar tumpah Banyuasri.
Jenis jaja bali yang dijual ada beragam seperti injin (ketan hitam), laklak, pisang rai, pecik lebang, olen-olen, hingga lukis. Harganya mulai dari 3.000 rupiah sampai 5000 rupiah. Dan kita bisa membeli berapa pun sesuai keinginan kita.
Semua varian jaje tersebut dibuatnya sendiri, bahan utamanya yaitu tepung beras dan tepung ketan. Awal belajar membuat jaja Dayu diajarkan oleh iparnya, lalu mulai membuka usahanya sendiri.
Berbagai jenis jaja bali
Dayu menuturkan setiap hari, jaja bali yang dibuatnya selalu habis terjual.
“Setiap hari selalu habis, karena ya dua kali jualannya jadi semisal pas jualan pagi dagangannya masih tersisa, itu bisa dijual lagi sewaktu jualan di sore harinya. Jajanya awet sampai sore gak basi jadi masih bisa dijual lagi,” ungkapnya.
Dari hal ini kita dapat melihat bahwa sampai saat ini jaja bali masih tetap eksis digemari oleh masyarakat. Walaupun kue tradisional ini sudah ada sejak dahulu dan kadang dianggap kuno. Karena jaje bali memiliki cita rasa dan ciri khasnya tersendiri yang tidak lekang oleh waktu. [T]{***]
Catatan:
- Ni Kadek Nindi Ayu Dinda, mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja
- Artikel ini adalah bagian dari tugas kuliah mahasiswa Prodi Komunikasi Hindu, STAHN Mpu Kuturan Singaraja