SEBAGAI sebuah komunitas sastra, selama ini, kiprah Mahima tak perlu diragukan lagi. Komunitas yang lahir dan berpijak pada bahasa dan sastra itu, selama lima belas tahun, masih konsisten menanamkan kesusastraan di tengah masyarakat meski harus melalui jalan terjal dan sunyi.
Salah satu bentuk keseriusan dan konsistensi Komunitas Mahima dalam memelihara bahasa dan sastra—tentu juga kesenian dan kebudayaan pada umumnya—adalah dengan terselenggaranya Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023 yang berlangsung dari tanggal 17-19 dan 28-30 November 2023.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di Rumah Belajar Komunitas Mahima sendiri yang difasilitasi oleh dana hibah dari Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, RI.
Komunitas sastra yang didirikan oleh Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti, yang bertempat di kediaman mereka di Jalan Pantai Indah III Nomor 46, Singaraja, Buleleng, Bali, itu selalu membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua orang yang tertarik dengan dunia sastra.
Di sana, selain sebagai rumah pribadi, juga telah menjelma menjadi rumah bagi siapa pun yang pernah—dengan sengaja atau tidak—belajar menemukan diri, juga sastra, seni, jurnalisme, dan kebudayaan pada umumnya. Bagi Sonia, apa yang dilakukannya selama ini bersama suaminya, sekali lagi, adalah salah satu usaha memelihara bahasa dan sastra.
“Memelihara bahasa dan sastra adalah memelihara kemanusiaan kita, memelihara identitas kita sebagai manusia. Sejak berdirinya [Komunitas Mahima], saya dan suami memiliki visi sama untuk membangun dunia di atas bahasa dan sastra ini dengan mengajak para talenta muda belajar bersama menemukan diri melalui sastra,” ujar Sonia dalam sambutannya pada pembukaan Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023, Jumat (17/11/2023) lalu.
Kadek Sonia Piscayanti saat memberikan sambutan pada pembukaan Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023 / Foto: Mahima/Amri
Di awal pembentukan Mahima, Sonia bercerita, hanya segelintir yang bergabung. Namun seiring waktu, program-program Mahima terus bertumbuh dan berkembang hingga kini memiliki enam divisi, yaitu divisi sastra, teater, musikalisasi puisi, penerbitan, jurnalistik, hingga film. “Dalam perjalanan panjang itu tentu kami belajar banyak bahwa perjuangan di dunia sastra ini adalah perjalanan yang sunyi, yang menantang,” katanya.
Namun, perjuangan Ole dan Sonia kini telah membuahkan hasil. Dengan sikap cinta akan kemanusiaan, perlahan Mahima dikenal berbagai pihak dan terus menampilkan karya terbaik anak-anak bangsa.
“Beberapa anak kami kini telah berkembang dewasa dan menciptakan oase-oase kebudayaan di tempat mereka masing-masing—dan mereka selalu rindu pulang ke Mahima,” terang Sonia.
Benar. Pekan Raya Cipta Karya Mahima bertujuan, meminjam bahasa Kadek Sonia Piscayanti (pendiri sekaligus founder Komunitas Mahima), untuk mengajak—atau memanggil kembali—mereka yang telah matang berproses di Mahima untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan adik-adiknya di SMA/SMK, mahasiswa, dan siapa pun yang baru tumbuh dan menumbuhkan diri.
Tetapi, lebih daripada itu, kegiatan tersebut sebenarnya adalah bentuk perayaan sekaligus penghargaan yang tinggi terhadap bahasa dan sastra di Indonesia. Artinya, dalam hal ini, Komunitas Mahima juga ikut serta dalam menjaga, merawat, menyumbang pemikiran, dan mendistribusikan pengetahuan bidang kesusastraan Tanah Air—bidang yang notabene kurang dianggap penting oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng, kota di mana Komunitas Mahima dilahirkan.
Program-program dalam Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang berupa pementasan dan pelatihan itu adalah upaya Sonia dan Ole—panggilan akrab sastrawan cum wartawan senior Made Adnyana Ole—dalam memberikan stimulus seni dan sastra kepada para seniman muda yang kelak, kata Sonia, kepada mereka kita berharap akan melanjutkan visi budaya bangsa.
“Jadi, Pekan Raya Cipta Karya ini adalah upaya kita mengingat-ingat kembali makna menjadi manusia dan menemukan nilai-nilai baru yang dapat ditinjau kembali,” ujar Sonia.
Dalam satu pekan kemarin, Komunitas Mahima menghadirkan alih wahana karya sastra ke teater, musikalisasi puisi, dan juga film dengan tujuan memantulkan energi kreatif berkesenian dengan energi penciptaan yang mengalir.
“Besar harapan kami agar program ini mampu memberi dampak bagi seniman Bali Utara khususnya dan Bali umumnya,” ujar Sonia.
Mengalihwahanakan Sastra
Pekan Raya Cipta Karya tahun ini, seperti yang telah disampaikan Sonia, mencoba bereksperimen mengalihwahanakan karya sastra menjadi berbagai bentuk karya lain, seperti lokakarya mengubah karya sastra menjadi musikalisasi puisi, pertunjukan wayang dan teater, film. Lokakarya ini diikuti ratusan mahasiswa dan pelajar di sekitar Buleleng dan Bali secara umum.
Pada Sabtu (18/11/2023) lalu, Rumah Belajar Komunitas Mahima mengawali lokakarya alih wahana sastra ke film atau ekranisasi. Lokakarya tersebut menghadirkan Agus Primartha, filmmaker; Juli Sastrawan, penulis; dan Kardian Narayana, programmer film.
Ekranisasi—proses pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke film (ecran dalam bahasa Prancis berarti layar)—karya sastra ke film sudah jamak dilakukan di Tanah Air. Dalam hal ini, Juli Sastrawan memberikan beberapa contoh seperti film Bumi Manusia (2019) karya Hanung Bramantyo yang dialihwahanakan dari novel terkenal Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer; film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) karya Edwin yang dialihwahanakan dari novel Eka Kurniawan dengan judul yang sama; dan film Gadis Kretek (2023) yang disutradarai Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Gadis Kretek adalah film hasil alih wahana dari novel Ratih Kumala yang diterbitkan pada tahun 2012.
Agus Primartha, Juli Sastrawan, dan Kardian Narayana saat memberikan materi pada lokakarya alih wahana sastra ke film / Foto: Mahima/Amri
Menurut Juli, alih wahana sastra ke film bukan sekadar proses semena-mena pemindahan teks ke ruang visual, tetapi proses yang membutuhkan banyak pertimbangan. Pemindahan novel atau karya sastra (teks) ke layar putih akan mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan (pengurangan atau penambahan unsur). Oleh sebab itu, ekranisasi dapat dikatakan sebagai proses perubahan. Dan yang tak kalah penting, kata Juli, proses perizinan juga betul-betul harus diperhatikan.
Sedangkan, menurut Kardian Narayana, dalam melakukan proses ekranisasi juga harus mempertimbangkan ekosistem perfilman. Katanya, hal tersebut penting dilakukan sebab ini berkaitan dengan proses kreasi, produksi, distribusi, eksibisi, dan apresiasi. Ekranisasi yang baik tentu harus digarap dengan serius. Bukan saja soal kreasi dan produksi, tapi juga soal pendistribusian, eksibisinya, dan apresiasinya.
Selain lokakarya sastra ke film, Pekan Raya Cipta Karya juga mengadakan lokakarya alih wahana sastra ke teater, Minggu (19/11/2023). Dalam kesempatan tersebut Komunitas Mahima mengundang Wayan Sumahardika, sutradara seni pertunjukan; Wulan Dewi Saraswati, penulis dan aktor; dan Rizky Wahyu Fathin, aktor dan koreografer. Hadirnya ketiga narasumber tersebut sedikit-banyak telah memberikan pengetahuan dan pengalaman baru bagi para peserta lokakarya yang notabene terdiri dari siswa dan mahasiswa pelaku teater.
Wayan Sumahardika saat memberikan arahan kepada peserta lokakarya alih wahana sastra ke teater / Foto: Mahima/Amri
Sebagai sutradara, Wayan Sumahardika memberikan banyak penjelasan dan praktik pengalihwahanakan sastra ke seni pertunjukan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Beberapa peserta diminta untuk maju ke depan untuk menjadi aktor yang kemudian ia arahkan. Suma meminta mereka memerankan beberapa adegan yang ia ucapkan.
Tak hanya itu, Suma juga sempat menayangkan satu garapan seni pertunjukan hasil dari alih wahana sastra ke teater, yakni Nurbaya (2021) garapan Venytha Yoshiantini yang terinspirasi dari karya sastra Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Roesli.
Dan di hari yang sama, setelah lokakarya alih wahana sastra ke teater selesai, dilanjutkan dengan lokakarya alih wahana sastra ke musikalisasi puisi, yang mengundang Heri Windi Anggara, musisi, dan Yoga Anugraha, music composer dan director, sebagai narasumber.
Suasana peserta lokakarya alih wahana sastra ke teater / Foto: Mahima/Amri
Dalam kesempatan tersebut, Heri menjelaskan setidaknya ada empat tahapan dalam proses pengalihwahanaan puisi ke musikalisasi puisi. Pertama, tentukan tema puisi dan tema (genre) musik; kedua, lakukan pembacaan puisi; ketiga, tentukan tema kecil (tema dalam); dan keempat, rasa.
Sedangkan menurut Yoga, apa pun bentuknya, bunyi musik harus berangkat dari puisi. Jangan dibalik. Mungkin dalam mengaransemen lagu lain, musik bisa ditentukan terlebih dahulu lalu lirik atau syair mengikuti. Tapi hal itu tidak berlaku untuk musikalisasi puisi. Artinya, dalam proses alih wahana puisi ke musik, banyak hal yang harus diperhatikan, tak hanya sekadar menjadikan puisi sebagai syair nyanyian.
Yoga dan Heri saat menjadi narasumber dalam lokakarya alih wahana sastra ke musikalisasi puisi / Foto: Mahima/Amri
Sampai di sini, sebelum ditutup secara resmi, Pekan Raya Cipta Karya masih menyisakan dua program, yaitu lokakarya cipta karya sastra pada Selasa (28/11/2023) dan bedah buku karya sastra Singaraja dan diskusi pada keesokan harinya, Rabu (29/11/2023).
Peserta dalam lokakarya cipta karya sastra dibimbing langsung oleh Made Adnyana Ole, penyair; Kadek Sonia Piscayanti, akademisi; Pranita Dewi, penyair; dan Supartika, sastrawan. Lokakarya ini difokuskan dalam penciptaan karya sastra berupa cerpen dan puisi. Dari sejak pagi hingga sore menjelang, peserta dilatih dan dibimbing untuk menghasilkan karya sastra.
Dan sehari setelahnya, Komunitas Mahima mengundang Dian Suryantini, penulis dan jurnalis; I Putu Mardika, akademisi; dan Jaswanto, penulis dan jurnalis untuk membedah dan mendiskusikan buku kumpulan cerpen berjudul Singa Raja Berkisah (2023). Dengan begitu, untuk tahun ini, Pekan Raya Cipta Karya telah menuntaskan kelima programnya.
Ditutup dengan Apresiasi
Pada akhirnya, setelah sepekan penuh berlangsung, Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023 resmi ditutup dengan pementasan karya terbaik yang dihasilkan dari lokakarya alih wahana sastra ke teater, musikalisasi puisi, dan film, Kamis (30/11/2023).
Acara penutupan ini sekaligus bentuk apresiasi kepada kelompok peserta terbaik. Mereka—kelompok terbaik itu—selain diminta untuk mementaskan dan menayangkan hasil garapannya, juga diberikan apresiasi berupa dana produksi. Kelompok terbaik teater diraih oleh mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja; predikat musikalisasi puisi terbaik diberikan kepada siswa SMKN 3 Singaraja; dan garapan film pendek terbaik diraih oleh kelompok dari SMAN Bali Mandara.
Dilansir dari RRI Singaraja, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan Pekan Raya Cipta Karya Mahima rencananya akan rutin digelar tiap tahun dan bertujuan untuk menciptakan ekosistem kreatif di bidang sastra, khususnya ekosistem sastra di Bali Utara.
Sonia menyampaikan karya-karya yang berhasil lahir pada program ini adalah bukti bahwa Buleleng menyimpan banyak sekali talenta di bidang sastra.
“Talenta sastra di sini [Buleleng] sangat luar biasa. Kita hanya perlu mewadahi dan memberikan dukungan. Jadi saya rasa ini [Pekan Raya Cipta Karya Mahima] membuktikan sekali lagi bahwa Singaraja adalah gudangnya seniman,” terangnya, usai penutupan Pekan Raya Cipta Karya Mahima, Kamis (30/11/2023), sebagaimana disampaikan RRI Singaraja dalam beritanya.
Sebagai pendiri Komunitas Mahima, Sonia berterima kasih kepada Kemendikbudristek yang telah memberikan dana hibah—itu adalah sebuah anugerah, katanya. Meskipun dia juga menegaskan ada atau tidak adanya bantuan dari pemerintah tak menghalangi berlangsungnya Pekan Raya Cipta Karya Mahima.
“Saat ini tujuan kami untuk menstimulasi pengembangan bahasa dan sastra sudah tercapai. Karena dalam waktu yang relatif singkat ini, peserta yang tergabung dapat melakukan yang terbaik,” pungkas Sonia, mengakhiri wawancaranya bersama RRI Singaraja.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana