SABTU KLIWON Wuku Wayang bersamaan dengan Hari Guru Nasional, 25 November 2023, pagi-pagi saya mendapat kiriman cerita dari Gde Aryantha Soethama, berjudul “Menjadi Guru di Hari Guru’’ melalui FB. Isinya tentang keterpaksaan tokoh Trepti menjadi guru karena desakan ayahnya.
Bila mengikuti nuraninya, Trepti lebih suka berwirausaha tanpa terikat aturan birokrasi. Ingin merdeka dalam kerja. Mengatur dan menata sendiri hidupnya, dengan segala risiko. Walaupun demikian, pada Hari Guru Nasional, Trepti berbunga-bunga hatinya mendapatkan buket bunga aneka warna, coklat aneka rasa, dan jepit rambut aneka rupa dari siswa-siswanya. Ayahnya memuji selangit, Trepti merasa salah di tempat yang benar.
Tidak sekali ini Gde Aryantha Soethama menulis tentang guru. Beberapa cerpen, novel, dan esainya tentang guru meluber. Aryantha dominan menempatkan tokoh guru dalam posisi dilematis, seperti cerpen berjudul ”SPP” (1972), ”Ibu Guru Anakku” (2006), dan novel “Senja di Candi Dasa”(novel terbaik Bali Post,1992).
Dalam novel tersebut,Aryantha menempatkan tokoh Nengah Diarsa berada di persimpangan jalan pariwisata, antara menjaga dan merawat idealisme keguruan yang memanggungkan kesederhanaan penuh perhatian atau larut dalam hingar-bingar pariwisata yang menjanjikan kesenangan serta kemewahan.
Kisahnya diawali dengan perburuan hilangnya lukisan Bisma Gugur di rumah Bu Rangun. Bu Rangun sesungguhnya ikhlas lukisan itu hilang, tanpa pemberitaan pers yang menimbulkan keresahan bagi Desa Kamasan yang terkenal damai tetapi guru Nengah Diarsa tidak rela lukisan maestro itu hilang tanpa bekas. Bersamaan dengan hilangnya lukisan Bisma Gugur, I Wayan Rereh anak Bu Rangun menghilang dari rumah dan dicurigai sebagai otak di balik hilangnya Bisma Gugur.
Berhadapan dengan kondisi itu, guru Nengah Diarsa membuktikan diri sebagai agen perubahan di samping agen transformasi budaya. Sebagai agen perubahan, ia berada di garda depan meluruskan kompleksitas persoalan akibat pikiran bengkok masyarakat di lingkungannya sekalipun harus berhadapan dengan keluarga sendiri.
Sebagai agen transformasi budaya, ia menjaga dan mewariskan budaya adiluhur kepada generasi berikutnya, yang dibuktikan dengan pengejaran terhadap lukisan Bisma Gugur sampai tuntas.
Walaupun Nengah Diarsa guru yang bekerja keras, ikhlas, dan tuntas, ia sempat berpaling ke dunia pariwisata karena rayuan mantan pacarnya, Putu Suwitri yang menjadi manager di Candi Dasa. Godaan uang dan wanita meluluhkan hatinya.
Dengan berat hati, Nengah Diarsa mengajukan permohonan berhenti jadi guru SMA, lalu menuruti tawaran Suwitri untuk menjadi manager Klumpu Cottage. Bekerja sebagai manager tidak membuatnya nyaman, senyaman ketika menjadi guru (Senja di Candi Dasa, 2009 : 124).
Kutipan di atas menyiratkan dilema Nengah Diarsa sebagai guru. Pertama, ia sangat mencintai profesinya sebagai guru lalu berhenti, bukan atas kehendak hatinya, melainkan karena tergoda jabatan (uang) dan wanita. Lebih-lebih gajinya sebagai guru tidak seberapa. Kata Sularto, ”hidup sebulan… dengan gaji sehari”.
Kedua, perjalanan karier guru Nengah Diarsa yang ambivalen, di satu sisi mencitrakan kematangan sosial, di sisi lain menunjukkan kerapuhan emosi dan labil. Labilitas Nengah Diarsa sebagai guru akibat godaan kaum kapitalis merupakan ancaman krisis identitas dan krisis integritas, antara mengejar uang demi kebutuhan hidup dan memperjuangkan idealisme. Para ahli kebudayaan Bali menyebut sosok demikian sosok manusia Bali di persimpangan jalan (Sujana, 1994; Coteau,Wiryatnaya, Darma Putra, 1998).
Kompleksitas persoalan guru dalam novel ini menarik diajarkan di sekolah, karena menyajikan interaksi dengan aneka kultur global berbasis pariwisata sebagai katalis. Sangat kontekstual dengan isu kekinian di tengah pemberlakuan Kurikulum Merdeka dalam Penguatan Profil Pelajar Pancasila, khususnya dimensi kebhinekaan global.
Interaksi itu berpeluang menjadikan guru sebagai jembatan komunikasi untuk memuliakan perbedaan budaya sebagai aset kemajuan untuk mengantisipasi benturan peradaban pariwisata yang penuh dengan ketergesa-gesaan bersanding dengan profesi guru yang penuh dengan kehati-hatian. Dalil “waktu adalah uang” dalam kebudayaan Barat berhadapan dengan “waktu adalah perhatian” dalam kebudayaan Timur.
Rumitnya persoalan yang dihadapi guru merupakan beban berat yang harus dipikul, di satu sisi menyelamatkan kebudayaan Bali dari gerusan pariwisata yang kian masip, dan mengantisipasi dampak ikutan negatif pariwisata di tengah arus perubahan sosial budaya, di sisi lain. Bali yang sering dilukiskan bagai gadis cantik mulai tercabik-cabik bahkan diperas susunya lalu “diperkosa”.
“Kecantikan lukisan wayang itu adalah kecantikan Bali, yang membuat dia diuber-uber, digerogoti, disadap, dan diperas. Orang-orang dari negeri jauh datang kemari tidak hanya untuk menikmati tanah ini, tapi berniat mengurasnya habis-habisan. Kalau bisa, mereka ingin memindahkan Bali dan isinya ke mana mereka suka, agar lebih leluasa lagi mengeruk keuntungan.
Begitulah nasib keindahan yang menjadi rebutan banyak orang.” (Senja di Candi Dasa, 2009:238).
Nasib guru mirip dengan hilangnya lukisan Gugurnya Bisma yang diandaikan sebagai gadis cantik. Ia selalu diperlukan dipuja dan dipuji dengan Hymne Guru, lebih-lebih pada Hari Guru. Begitu halnya Bali, selalu juga dipuja dan dipuji sebagai etalase Indonesia.
Aneka pertemuan berskala dunia dihelat di sini, dengan gala dinner : eat, art, and peace. “Seharusnya tidak ada lagi perang di zaman ini” kata Joe Biden, Presiden Amerika Serikat saat menghadiri gala dinner G-20 tahun 2022 di GWK Bali, karena pada hakikatnya semua makhluk bersaudara. Vasudewa khutum bhakam. Damai seharusnya milik bersama di dunia.
Begitulah selayaknya novel Senja di Candi Dasa dibaca dengan tokoh sentral guru yang tergoda gula-gula pariwisata akibat gajinya yang tidak seberapa. Apalagi dengan status guru honorer, hidup segan mati tak mau. Berharap diangkat jadi guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau PNS.
Semoga harapan itu tidak hanya menjadi slogan menjelang Pemilu, tetapi segera menjadi kenyataan sehingga guru tidak makin stress akibat ulah siswa, Kurikulum yang berubah, dan Teknologi Informasi yang kian canggih sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi saat Puncak Hari Guru Nasional 25 November 2023 di Jakarta.[T]