NARASI IMAJINER MEMASUKI RUANG KOSONG SNERAYUZA
1. Lorong Snerayuza
saat ruang dalam studio terlihat lenggang
pintu terbuka lebar
kuketuk perlahan
lama tak berjawab
kemanakah para penghuninya?
setiap lorong kujelajahi
di sudut ruang
tergeletak begitu rupa
rumah purba penyair nuryana asmaudi
tak bergerak
aku masuki saja!
bagai memasuki rumah keong
dengan langkah yang aneh
mencoba berjalan sendiri menyusuri setiap lorong
merasakan bagaimana menjadi sosok penyair
sesekali
mendekati setiap orang yang kutemui
tapi
tak ada yang bereaksi saat kusapa
orang-orang seperti tak percaya aku sang penyair itu
di luar
angin berdesir menggoyang pucuk pepohonan
beberapa lembar daun berjatuhan
aku memungut dan menempelkan di wajah
lalu berkata
aku sang penyair itu!
tapi masih juga orang-orang terdiam
aku teriakkan dengan suara lantang
aku nuryana asmaudi
penyair pungguk merindukan bulan!
kau tahu?
satu persatu aku tatap wajah-wajah yang membisu
tapi tetap tak ada yang merespon
aku berlari menuju jalanan sambil kuteriakkan nama itu berkali-kali
satu-dua orang menatap
kudekati
kau tahu
aku penyair yang bermimpi merengkuh bulan
orang gila!
katanya lalu pergi
apa
kau bilang aku gila?
aku penyair!
kesal tak ada yang menggapi
dengan langkah lunglai
aku menuju sudut ruang snerayuza
merunduk sambil menatap hampa lukisan-lukisan di dinding
tak ada yang percaya
aku penyair nuryana asmaudi
keluhku dalam lelah
sampai kemudian terlelap
dari balik pintu
ada suara ketukan halus
siapa di dalam?
aku terjaga
membuka pintu rumah
sang pemilik datang membawa sejumput mimpi dari perjalanan jauh
aku keluar melayang-layang di langit berbatas dinding
sampai terdampar di sudut snerayuza yang lain!
2. Rumah Panggung Snerayuza
itu rumah panggung snerayuza
dikelilingi penuh pepohon liar
tempat semadi sang maestro made budhiana
adakah ia di dalam?
kupanjat anak tangga dari kayu
dengan hati-hati agar tak mengganggu
di depan pintu
aku berdiri ragu
kuketuk perlahan
tapi tak ada jawaban
aku masuki saja rumah yang ditinggal itu
sang maestro sedang terbang menabur warna cahaya
jauh di gelap langit
memasuki tubuh pelukis itu
aku menjadi pelukis
sungguh terasa gagah dan membanggakan
dengan warna-warna yang berserakan di lantai
aku memulai memoles kanvas dengan telapak tangan dengan kaki bahkan kadang dengan jidat
tak tahu wujud yang terbentuk
warna-warna berhamburan begitu saja memenuhi kanvas
aku balurkan tubuhku dengan berbagai warna
lalu berguling-guling di kanvas
aku telah jadi pelukis itu
kepada setiap orang yang datang
kutunjukkan diriku penuh belepotan warna
sesekali
aku mendemontrasikan ketrampilanku melukis dengan tangan kiri
mengapa?
karena jika tangan kananku tak lagi berfungsi
aku masih bisa menggunakan tangan kiri
aku ingin sepenuhnya dalam hidup ini mengabdikan diri untuk tetap melukis
tapi aneh
orang-orang hanya menontonku
mengapa kalian tak berkomentar?
aku ini pelukis, maestro!
kau harus tahu itu!
orang-orang masih tetap diam tak berkomentar
aku kesal
lalu kembali mengguling-gulingkan tubuhku di kanvas
seluruh penuh dengan berbagai warna tak beraturan
karena orang-orang masih tetap diam
aku menggulung diri dengan kanvas penuh warna
sampai tak bergerak
diam
orang-orang hanya tetap menonton
3. Epilog
ah
ternyata aku memang bukan penyair nuryana asmaudi
atau pelukis made budhiana
meski dapat memasuki rumah-rumah kehidupan itu
aku tak dapat menjadi dirinya
snerayuza-umah panjer, oktober 2022-november 2023
TERUNYAN PADA SEBUAH LUKISAN
tubuh yang semadi
teronggok di atas tanah hitam
mata bekumu
runcing dan tajam
di wajah basah
musim kemarau
jangan kau tikam aku seperti itu
bilah bambu
udara dingin pegunungan
berkabut tipis
diam pepohonan menebar wewangian
menyimpan rahasia kematian semesta
mata bekumu tajam
mengapa kau tatap aku seperti itu
tersayat sebagian dari sisa waktuku
untuk berbenah pulang
mengikuti perjalanan senja
detak terakhir
di denyut nadi
snerayuza- umah panjer, november ‘23
DI ATAS MEJA PELUKIS MADE BUDHIANA
di atas meja
ada kepala- kepala berserakan
menggelinding ke berbagai arah
seperti mencari badannya
tak kutahu milik siapa
raut wajahnya menakutkan
mengejekku sambil berbisik
mengapa tak kau lepaskan saja kepalamu seperti kepala-kepala ini?
bebas menggelinding bersama kemana kau suka
ayolah
kau tanggalkan saja kepalamu di sini
bertukar kepala dengan kepala-kepala yang kau suka
kau boleh memilih
kepala-kepala itu menggelinding lagi ke segala arah
seperti bermain petak umpet
terlihat betapa riang
aku tercenung bimbang menjawab tantangan
tapi entah ada apa
tiba-tiba tanganku mulai bergerak
gemetar
kepala berputar-putar mengikuti arah jarum jam
makin lama semakin kencang
berontak ingin dilepas
aku berteriak sekuat tenaga
tapi kepalaku sudah lepas
menggelinding di atas meja
tersenyum bebas mencari kepala-kepala yang berserakan
meninggalkan tubuhku tanpa kepala
berdiri kaku
kepala-kepala yang menggelinding di atas meja
bersorak gembira
menyambut kepalaku yang baru lepas dari badan
terasa aneh permainan ini
dan aku tak mengerti
dalam kebingungan
aku mencoba mencari kepalaku sendiri
dengan meraba-raba
tapi aku tak tahu yang mana kepalaku
kuambil saja satu yang tertangkap
dan kupasangkan pada tubuhku
aku kembali menjadi manusia berkepala
sungguh asing terasa
kepala yang kukenakan tertawa sekeras-kerasnya bahkan mengejek
sekali waktu menangis sejadi-jadinya
sedih
aku tak tahu
apakah kepala yang kukenakan itu kepalaku?
aku ragu
untuk kemudian mencoba mencari-cari lagi
dimanakah kepalaku bersembunyi
di atas tumpukan buku
ada sebuah kepala
menempel di kanvas penuh warna pucat
berair mata
itukah kepalaku?
pelan -pelan kudekati
dan katanya, kaukah kepalaku?
air matanya mengalir semakin deras
sementara kepala yang kukenakan
membrontak tak mau lepas dari tubuhku
“aku ingin tetap tinggal di sini!”
permainan ini
semakin tak kumengerti
aku tanyakan pada setiap orang yang kutemui
“apakah kepala yang kukenakan ini kepalaku?”
tak ada terdengar yang menjawab
menghindar ketakutan
sambil bersembunyi dalam warna-warna tebal di kanvas
siapakah aku dengan kepala ini?
malam semakin larut
aku lelah mencari kepalaku
di kursi panjang aku duduk
tanganku meraba-raba permukaan meja
sampai akhirnya kepalaku terantuk di kanvas basah
di atas tumpukan buku
melekat keras
aku meronta-ronta
sampai kepala yang kukenakan terlepas
menggelinding berkumpul dengan kepala-kepala yang lain
dalam keletihan
tanganku meraba-raba permukaan meja menyentuh sesuatu
aku berteriak keras
kepalaku! ini kepalaku!
aku menemukan kepalaku
sungguh
aku seperti menemukan kembali bagian dari hidupku yang hilang
dalam perjalanan panjang menyusuri waktu
(denpasar, akhir oktober ‘23
sebuah puisi eksperimen).