TULISAN INI muncul diawali kegelisahan ketika oknum “guru itu” menjadi objek pengadilan medsos dengan kata-kata hujatan yang vulgar. Lalu apakah hujatan vulgar itu berhubungan dengan situasi, sifat, emosi kolektif masyarakat Bali? Atau apakah berhubungan dengan krisis dan situasi sosial masyarakat Bali?—jika meminjam istilah yang dimunculkan Anak Agung Paramita dalam Buku “Wajah Tuhan dan Sifat Pemuja”.
Resah dan gelisah. Mungkin demikian yang dirasakan guru-guru ketika sebuah video viral di media sosial belakangan ini menghebohkan masyarakat di Bali. Terlihat dalam rekaman video tersebut seorang guru hendak mencukur rambut muridnya. Berbagai persepsi muncul, mirisnya sosok guru tersebut—yang tampaknya guru senior—menjadi sasaran “pengadilan medsos” dari netizen. Jika di video guru “dipersepsikan” sebagai pelaku kekerasan, maka di media sosial guru menjadi “korban” tindakan kekerasan.
Kondisi ini menjadi sebuah sinyal bagi guru sebagai pendidik dalam upaya pembentukan disiplin dan karakter murid. Pola-pola lama tentunya tidak lagi relevan untuk diterapkan, sedangkan pola-pola baru dalam pembentukan disiplin dan karakter masih mencari-cari bentuknya.
Menyikapi situasi ini mengingatkan kembali pidato Bung Hatta 2 September 1948, “Mendayung di antara Dua Karang”, yaitu menggambarkan posisi Indonesia ketika terjadi perebutan pengaruh antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Posisi Indonesia saat itu ibarat kapal yang sedang berlayar di laut lepas, dan harus melewati dua karang raksasa.
Kondisi dan situasi yang dihadapi Indonesia pada masa itu relevan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi guru di masa kini. Ibaratnya berlayar di laut lepas agar tidak membentur karang, maka guru mulai mentransformasikan diri ketika dihadapkan membentuk disiplin dan karakter murid.
Pola-pola lama tidak lagi relevan diterapkan, sedangkan di sisi lain pola-pola baru belum menemukan bentuknya. Pertanyaan besarnya adalah apa dan bagaimana yang boleh dilakukan guru untuk membentuk disiplin dan karakter? Mengingat masih besarnya porsi yang “dibebankan” kepada sekolah dalam pembentukan disiplin dan karakter. Zaman telah berubah namun pola fikir bahwa sekolah satu-satunya tempat anak dididik masih belum berubah.
Mendidik dan mendisplinkan Gen Z tentunya berbeda dengan generasi sebelumnya. Lickona (2012) mengungkapkan bahwa ada sepuluh indikasi penurunan moral anak muda yang perlu mendapatkan perhatian agar bertransformasi ke arah yang lebih baik, salah satunya adalah “pengabaian terhadap aturan yang berlaku”. Inilah sebuah kondisi yang dihadapi oleh guru dan perlu suatu langkah dalam menyikapinya agar tidak berbenturan dengan aturan yang berlaku.
Di sinilah perlunya peran serta dari orang tua dan jangan menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah. Sekolah jangan diibaratkan seperti “mesin cuci” untuk membersihkan anak dari “kekotoran” yang dibentuk oleh lingkungan tempat tinggal.
Pemikiran usang bahwa pendidikan bagi putra putri mereka adalah tanggung jawab sekolah harus ditinggalkan. Mental laundry hendaknya ditinggalkan, anak dilihat sebagai baju kotor, sekolah dapat mencuci mereka sampai bersih dan orang tua tinggal mengambil jika sudah bersih, (Freire, 2002).
“Ketika ada permasalahan dengan anak di sekolah agar melakukan komunikasi dengan orang tua/wali,” demikian kata-kata yang sering terucap. Gampang dikatakan namun implementasinya memerlukan pemikiran lebih karena akan bertemu dengan berbagai karakter orang tua dan pola asuhnya terhadap anak.
Permisif salah satunya. Orang tua dengan pola asuh permisif cenderung memprioritaskan kenyamanan anak, sehingga mereka akan bersikap layaknya teman kepada anak. Anak yang menerima pola asuh ini juga jarang mendapatkan aturan yang ketat atau hukuman.
Namun di sisi lain, orang tua menjadi lemah terhadap setiap keinginan anak. Sehingga mereka tidak bisa mengatakan “tidak” dan cenderung memanjakan anaknya. Akibat yang muncul salah satunya adalah anak tidak dapat mengikuti aturan.
Sesuai tema HUT PGRI dan Hari Guru Nasional tahun ini, “Transformasi Guru, Wujudkan Indonesia Maju”, guru dituntut untuk bertransformasi meningkatkan kompetensi dirinya dengan salah satu caranya adalah membentuk disiplin dan karakter murid sesuai dengan kewajiban guru namun tidak berbenturan dengan aturan yang berlaku.
Guru masih “gamang” dengan implementasi hal tersebut sesuai amanat Permedikbud No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan—yang masih dalam fase sosialisasi dan memerlukan waktu menemukan bentuk dan formulasi yang tepat. Terus apa yang dapat dilakukan guru agar tidak berbenturan dengan “karang”?
Upaya awal yang sekiranya dapat dilakukan adalah, pertama, membuat kesepakatan kelas antara murid, guru mapel, dan wali kelas. Kesepakatan kelas adalah pernyataan tujuan bersama dan standar perilaku antara siswa dan guru dalam lingkungan kelas. Kesepakatan ini menetapkan harapan untuk semua orang di kelas dan mendorong rasa saling menghormati, kerja sama, dan keamanan. Dalam pembuatannya harus menyertakan daftar konsekuensi jika melanggar perjanjian, sehingga setiap orang yang terlibat tahu apa yang akan terjadi jika mereka menyimpang dari aturan.
Kedua, guru bersama-sama memperhatikan disiplin murid dan selalu mengingatkan disiplin sebelum memulai pembelajaran. Semakin banyak yang mengingatkan disiplin kepada murid, maka semakin banyak informasi yang terserap dalam pikiran dan alam bawah sadar murid. Dan efektivitasnya pasti akan meningkat. Ranah mengingatkan disiplin bukan hanya ranah BK atau Kesiswaan, namun menjadi tanggung jawab bersama semua guru.
Ketiga, membangun komunikasi yang lebih erat dengan orang tua murid, yang dimulai dari wali kelas dan BK, dan mengundang orang tua murid untuk membicarakan permasalahan disiplin anaknya di sekolah atau melakukan homevisit setiap permasalahan murid yang sulit ditangani. Langkah ini memang lebih menguras waktu, tenaga, dan pikiran guru namun langkah ini menjadi solusi yang lebih efektif agar konektivitas antara sekolah dan orang tua berada dalam satu jalur.
Keempat, satuan pendidikan lebih intens mengundang orang tua murid sebagai guru tamu atau sekadar berkunjung melihat proses pendidikan putra-putri dan mensosialisasikan program-program sekolah, terutama tata tertib sekolah sebagai langkah untuk penyamaan persepsi.
Komunikasi yang kurang bagus akan berimbas pada persepsi yang berbeda. Walapun dalam konteks ini, belum tentu semua orang tua/wali meluangkan waktunya untuk hadir, tapi dapat disikapi dengan mengirimkan notulen hasil keputusan agar diketahui oleh orang tua/wali.
Selamat HUT PGRI dan Hari Guru Nasional 2023.[T]