PINTU KEDAI kopi di Jl. Nyai Ageng Arem Arem, Gresik, itu tutup ketika saya sampai. Setelah membayar ongkos ojek online saya duduk di potongan batang pohon yang dijadikan semacam kursi.
Sore ini saya janjian dengan Chairil untuk ngopi di kedai kopi tersebut. Saya segera mengirim pesan WA ke arkeolog alumnus Unud itu. Sesaat kemudian saya menerima jawaban. Chairil tidak bisa datang karena ada kerabatnya meninggal dunia.
Saya kemudian mengirim pesan WA ke Guslan Gumilang, pemilik kedai kopi yang terletak persis di seberang Batik Gajah Mungkur. Saya diminta untuk menunggu beberapa menit, karena jurnalis foto Jawa Pos itu sedang belanja bahan kebutuhan kedai.
Lima menit kemudian Guslan datang. Kami pun masuk ke kedai berkonsep kolonial tersebut. Interiornya benar-benar eksotis. Luasnya sekira 6 x 5 meter.
Pelapis dinding bangunan bagian dalam yang mengelupas hanya dibersihkan, sehingga pada beberapa bagian bata merahnya terlihat. Berbagai piranti kuno, seperti teko kuningan, anak kunci, lampu gantung, piring dan lemari ditata dengan apik.
Di tengah ada meja untuk meracik kopi dengan berbagai perangkat yang biasa digunakan para barista. Beberapa kursi dengan kaki tinggi langsung berhadapan dengan baristanya.
Guslan menyampaikan, memang tata letak tersebut disengaja agar antara barista dengan pengunjung bisa saling berinteraksi dan ngobrol apa saja, utamanya terkait perkopian.
Tidak lama kemudian Choiri, pemilik Batik Gajah Mungkur dan kolega Guslan dalam mengelola kedai kopi itu datang. Dia menyapa saya dengan ramah.
“Tadinya saya menginginkan agar semua dinding diplester. Tapi Guslan tidak sepakat. Dia minta hanya dibersihkan saja bagian-bagian yang rapuh. Tapi ternyata dia benar, justru jadinya lebih menarik,” ujarnya.
Saya segera dibuatkan kopi oleh Guslan. Selain piawai dalam fotografi jurnalistik, lelaki bertubuh tinggi besar itu pandai meracik kopi. Sebelumnya saya pernah mencicipi kopi buatannya. Memang benar-benar enak.
“Saya pernah ikut kursus barista dengan intens,” jelasnya suatu ketika.
Untuk sementara, sebelum mendapatkan barista, Guslan sendiri yang meracik kopi.
Sesaat kemudian dua orang tua masuk dan langsung memesan kopi hitam. Saya taksir umurnya lebih dari 75 tahun.
“Saya 83 tahun. Nama saya Wachid,” katanya memperkenalkan diri. “Kawan saya umurnya 6 tahun di bawah saya. Kami baru saja turun dari musala untuk salat Isya.”
Wachid lantas bercerita tentang kegemarannya ngopi sejak muda. Kegemaran masyarakat Gresik untuk ngopi, lanjutnya, sudah sejak lama.
“Tapi warung kopinya tidak sebanyak saat ini,” papar Wachid.
Guslan menyampaikan, kedai kopi yang dikelolanya bernama “Peti Kopi”. Papan nama lengkap dengan logo sudah ada, itu akan dipasang saat grand launching pada akhir tahun ini, atau awal tahun depan.
“Kami namakan “Peti Kopi” karena dulu, katanya, nama jalan ini dikenal dengan “Gang Peti”. Konon, karena banyak aktivitas bongkar peti di daerah sini,” kata Guslan.
“Memang dulu merupakan daerah perdagangan, di mana banyak aktivitas bongkar peti yang berisi berbagai komoditas,” kata Wachid sambil menyeruput kopinya.
Dia meminum kopi dengan cara yang banyak dilakukan penikmat kopi Gresik masa lalu. Kopi dituangkan ke pisin terlebih dahulu sebelum diminum.
Wachid dan temannya kemudian bernostalgia ketika mereka sama-sama muda. Sebagai penikmat kopi, mereka pernah mencoba beberapa warung kopi yang ada di Gresik. Ada yang hingga kini masih bertahan, tapi sebagian besar sudah tutup.
Tidak lama kemudian datang dua anak muda yang usianya tidak lebih dari 25 tahun. Mereka memesan espresso.
Semakin malam, pengunjung terus bertambah. Mereka, kebanyakan anak muda, sebagian besar menikmati kopi di beranda.
“Kami memang tidak menyediakan Wi-Fi, seperti kebanyakan kedai kopi di Gresik. Karena pasar yang kami bidik adalah penikmat kopi,” jelas Guslan.
Guslan juga menyampaikan, selama soft launching, semua harga berbagai varian kopi hanya dibandrol Rp5 ribu saja. Harga yang murah untuk ukuran kopi standar barista. Bahkan saat grand launching pun, harganya antara Rp5 ribu hingga Rp8 ribu.
“Konsumennya dari beragam umur dan profesi. Minggu pagi, seperti pagi tadi, banyak pesepeda yang ngopi di sini,” katanya.
Karena malam sudah mulai larut, saya pulang. Kelak, ketika saya pulang ke Gresik, saya akan ngopi di Peti Kopi lagi. Sebab, di Gresik, jarang ada kedai kopi dengan penyajian ala barista profesional yang harganya murah.[T]