KALI ini, mari kita ceritakan tentang salah satu tokoh dari Desa Padang Bulia, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Tokoh ini sangat berperan dalam berkembangnya berbagai bentuk kesenian yang di Desa Padang Bulia, mulai dari tari-tarian, gamelan hingga pewayangan.
Dia adalah Jero Mangku Gede Dalang Made Wijana. Selain sebagai dalang, dia juga aktif mengajar tari bersama Kadek Eviliani di sanggarnya, yakni Sanggar Seni Wijaya Kusuma yang ia dirikan pada sekitar tahun 2002.
Selain mengajarkan tari di sanggar itu ia juga sangat aktif dalam mengajarkan tabuh-tabuhan khususnya gambang, tabuh tua, gong gede, tabuh igel-igelan dan mengajarkan tari rejang dewa, yang mana semua tetabuhan itu adalah tabuh khas dari Desa Padang Bulia.
“Berkembangnya Sanggar Seni Wijaya Kusuma tak lepas dari peran serta pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng yang telah banyak membantu hingga sanggar ini bisa terus berjalan sampai saat ini,” kata Jero Dalang Wijana memulai percakapan tentang sanggar yang dikelolanya.
Jero Dalang Wijana adalah seorang seniman yang multi talenta yang mulai mengasah bakat seninya sejak kelas 3 SD. Awalnya ia ikut tergabung dalam sekeha angklung di Dusun Taman Sari di Desa Padang Bulia. Seiring waktu ia juga mulai tertarik untuk belajar tari bali. Dan, ia menguasai banyak jenis tarian, seperti topeng tua, topeng sida karya, tari oleg tamulilingan, kebyar duduk dan truna jaya.
Jero Dalang Wijana mengajari bule main gamelan joged bumbung | Foto: Dok pribadi
Kadang-kadang dalam pementasan tari, khusunya tari topeng, ia juga sering mengajak anaknya Gede Edi Putrawan yang juga seorang penari topeng. Selain itu ia biasa dibantu oleh beberapa temannya sesama penari, yaitu Wayan Sukawa dari Krobokan Badung, Ibu Mega dari Tabanan, Putu Raksa dari Desa Sari Mekar Runuh, dan Ketut Suarsana atau Ketut Loleng dari Desa Sambangan.
Dalam dunia tari Jero Dalang sudah melanglang bhuana melakukan pementasan atau ngayah, mulai dari Singaraja sampai Karangasem dan Denpasar. Dalam dunia seni tabuh atau gamelan, Jero Dalang Wijana juga sudah beberapa pentas di Art Center atas permintaan dari Dinas Kebudayaan Buleleng. Biasanya yang paling dimainkan adalah tabuh gambang kolaborasi dengan oncangan atau pukulan ketungan, suling, kempur dan juga kendang. Seperti pada tahun 2008 dan di tahun 2009 ia bersama penabuh lain diminta untuk mewakili Buleleng untuk mementaskan hal yang sama, dan saat itu permainan gamelan itu ditambah dengan tari baris bengkol dan juga tari atma ngulayang.
Ada yang menarik di dalam pementasan itu. Menurut Jero Dalang Wijana, pada saat itu mahasiwa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar begitu kagum dengan penampilan dari sekaa asuha Jero Dalang. Ini karena pementasan tabuh gambang itu dipadukan dengan alat-alat gamelan lain dan juga diiringi dengan tari-tarian.
“Itu dianggap sesuatu yang unik dan juga baru pertama kali mereka saksikan hingga beberapa mahasiwa ISI tersebut beramai-ramai minta penjelasan, bagaimana itu bisa dilakukan,” kata Jero Dalang Wijana.
Apalagi, mahasiswa itu tak menyangka bahwa Jero Dalang Wijana hanya lulusan sekolah dasar, bukan lulusan dari ISI.
“Saya dikira seorang composer lulusan ISI,” katanya.
Sejak saat itu, sampai sekarang, Jero Dalang sering menerima mahasiswa untuk belajar memainkan gambang atau sekedar melakukan penelitian tentang tabuh gambang guna keprluan penyusunan skripsi. Mahasiswa-mahasiswa itu bukan hanya dari Bali, bahkan ada yang datang dari Jawa dan luar negeri.
“Bahkan mahasiswa itu ada yang sampai menginap di rumah untuk beberapa hari,” ujarnya.
***
Kini, dari sekian seni yang ia geluti, ia justru lebih dikenal sebagai dalang. Bagaimana ia bisa terjun dengan lebih mendalam ke dunia pedalangan?
Jero Dalang Wijana serius menjadi seorang dalang sejak tahun 2005. “Menjadi seorang dalang memang bukan cita-cita saya, tetapi lebih kepada panggilan kewajiban sebab penglingsir-penglingsir saya di zaman dulu adalah seorang dalang,” kata Jero Dalang.
Ia kemudian menyebut sejumlah nama dalang leluhurnya, masing masing adalah Kak Dalang Mandi dan Kak Dalang Wenda. Mereka adalah dalang yang sangat tersohor di zamannya, bahkan dikenal sampai keluar desa.
Piagam penghargaan untuk Jero Dalang Wijana
Selain itu, di merajan keluarga besar Jero Dalang Wijana juga terdapat sungsungan pelinggih Ida Bhatara Siwa Manik Dalang. Hal lain, tentu juga karena ada dorongan yang kuat dari berbagai pihak, di antaranya dari Jero Dalang Wikan (alm), agar ia meneruskan kesenimanan leluhurnya untuk menjadi dalang. Dalang Wikan sering menyarankan agar ia segera belajar mendalang, apalagi ia sudah begitu banyak menguasai jenis kesenian sehingga akan menjadi lebih mudah untuk belajar.
Selanjutnya mari kita simak percakapan tentang seluk-beluk pedalangan dengan Jero Dalam Wijana.
Apa saja yang perlu dikuasai oleh seorang dalang?
Yang perlu dan harus dikuasai adalah, pertama, bahasa sansekerta atau kawi dan juga mampu menterjemahkanya. Itu sangat penting sebab dalam melakukan pementasan wayang kita harus memakai bahasa kawi.
Selain itu, kata Jero Dalang, kita harus mampu menguasai wirama atau kekawin, juga harus hapal setiap lakon atau lelampahan. Selain itu, kita juga harus mampu menjiwai setiap karakter wayang.
Adakah ritual ritual khusus untuk bisa menjadi seorang dalang?
Ya, kita juga harus mengikuti beberapa ritual sebelum menjadi dalang, di antaranya melakukan pewintenan saraswati juga pawintenan eka jati atau pawintenan pedalangan yang sangat sacral, lalu diikuti dengan proses pemasupatian peralatan yang nantinya akan dipakai untuk pementasan seperti gender, kelir, pedamaran atau lampu, gedog dan juga kelir, dan alat-alat lain. Tujuannya agar alat-alat itu menjadi bertuah dan metaksu.
Adakah pantangan-pantangan seorang dalang di dalam melakukan pementasan?
Di dalam dharma pewayangan, seorang dalang sangat tidak dianjurkan untuk menarget atau menentukan berapa upah yang harus didapatkan dari si yang punya yadnya, karena itu bisa menyebabkan kutukan untuk si dalang dan juga keturunanya kelak.
Apalagi dalam lakon-lakon tertentu yang sangat sacral, seperti lakon Sudamala dan Sapuh Leger seorang dalang sangat tidak dianjurkan untuk menerima langsung upah yang diberikan kepadanya. Untuk itu, biasanya dalang menyuruh salah satu anggota sekaa untuk menerima upahnya.
Apa itu dharma pedalangan?
Dharma pedalangan adalah sangsi-sangsi dan disiplin dari seorang dalang.
Lalu dari mana lelampahan atau lakon-lakon yang pak jero ambil dalam pementasan wayang?
Biasanya dari kisah Ramayana, Mahabarata dan juga Bharatayudha itu, seputaran itu saja.
Lalu bagaimana proses jika seseorang meminta Jero Dalang untuk melakukan pertunjukan wayang di dalam upacara atau yadnya?
Biasanya diawali dengan membawa bakaran ke rumah Jero Dalang. Bakaran itu terdiri dari beras, minyak, kelapa, gula, dan juga ayam, tujuannya adalah sebagai pelaba atau upeti kepada seorang dalang, juga sebagai penyempurna ikatan seorang dalang dengan pemilik yadnya.
Piagam penghargaan untuk Jero Dalang Wijana
Namun saat ini seiring dengan berkembangnya zaman juga keterbatasan waktu, misalnya tempat atau asal orang yang ngupah wayang itu dari jauh, maka memberikan bakaran juga bisa dilakukan di tempat yadnya. Artinya si pemilik yadnya tidak diharuskan untuk datang ke rumah Jero Dalang terlebih dahulu untuk membawa bakaran.
Juga saat ini pemesanan sering dilakukan hanya melalu via telpon saja, itu tidak jadi masalah.
Jero Dalang dapat wayang dari mana?
Untuk wayang, Jero Dalang bikin sendiri. Kebetulan Jero Dalang dulu pernah belajar bikin wayang di Desa Nagasepaha. Jadi, masalah wayang, Jero Dalang membuatnya sendiri. Tinggal membeli kulit sapi di tempat pemotongan sapi, nah, untuk membuat wayang biasanya dilakukan pada saat tak ada pementasan wayang ataupun tari.
Wayang-wayang yang belum jadi itu dibikin sendiri. (Jero Dalang menunjukkan beberapa wayang yang belum jadi, belum dicat yang banyak digantung di dinding).
***
Jika tahu pementasan wayangnya Jero Dalang Wijana, akan diketahui bedanya dengan pementasan wayang dari dalang-dalang lain.
Untuk pementasan wayang, Jero Dalang Wijana selalu memadukan alat alat musik lain seperti ketipung dan cengceng. Gunanya untuk memberikan instrument dangdut pada waktu megenjekan.
Adegan magenjekan pada wayang Jero Dalang Wijana selalu dilakukan oleh punakawan-punakawan atau karakter-karakter pendukung di luar karakter penting.
Jero Dalang Wijana saat mendalang
Di setiap pertunjukan wayang, Jero Dalang Wijana memang selalu lebih banyak menampilkan kesenian genjek, bahkan di awal pementasan Jero Dalang pasti megenjekan.
Hal itulah yang sangat mencolok membedakan pewayangan Jero Dalang Wijana dengan pewayangan dalang-dalang lain. Bahkan tak jarang pewayangan Jero Dalang Wijana berkolaborasi dengan penari joged asli yang memang sengaja diajak ikut serta dalam pementasan.
Penari joged itu biasanya khusus didatangkan dari Desa Sinabun, Alasasangker dan Sambangan. Biasanya kolaborasi dengan joged itu diminta oleh si medue karya yang mengupahnya.
Terus terang di zaman modern seperti sekarang pementasan wayang yang tak dibarengi dengan lebih banyak guyon atau candaan-candaan seperti megenjekan, maka orang-orang akan jenuh bahkan sudah pasti sedikit yang nonton. Kalau pun ada yang nonton mereka biasanya sambil bermain handphone atau sibuk ngobrol di depan kelir tak perduli dengan ocehan dalang.
Maka dari itu, Jero Dalang Wijana punya inisiatif untuk mensiasatinya dengan lebih banyak megenjekan dan ternyata itu terbukti berhasil.
Jero Dalang bercerita, pada saat pementasan di salah satu desa, di dari awal pertunjukan penonton seperti tak perduli, apalagi anak-anak kecil sibuk bercanda di samping gedog (tempat wayang). Melihat situasi itu, Jero Dalang Wijana memberi isyarat kepada sekaa untuk menampilkan genjek dengan lagu anak-anak, seperti lagu Balonku Ada Lima dan lagu Pelangi, dengan irama kendang kempul.
Barulah setelah itu sejumlah anak itu spontan ikut bernyanyi dan megenjekan. Begitu juga dengan para remaja yang sedari tadi asik dengan urusan mereka sendiri, juga ikut membaur megenjekan bersama.
Kadang-kadang masyarakat tidak begitu peduli dengan lakon-lakon yang dipentaskan. Banyak yang berpikir ngupah wayang itu, yang penting untuk mendapatkan penataban/tirta dari Jero Dalang. Padahal tujuan pementasan wayang bukan semata-mata hanya untuk itu.
“Ada hal lain yang juga penting, yaitu bagaimana kita bisa merasa senang dalam artian menikamati keakraban bersama keluarga pakedek pakenyung bercanda di dalam yadnya itu sendiri melalui pertunjukan wayang,” kata Jero Dalang.
Jero Dalang Wijana mengajar mahasiswa megambel joged bumbung
Ini cerita lain lagi. Suatu hari Jero Dalang melakukan pementasan di salah satu desa di Buleleng. Di tengah-tengah kemeriahan pertujukan wayang, ketika adegan megenjekan, tiba-tiba dua orang anggota keluarga yang memang penari secara spontan mengambil kepet atau kipas, dan langsung ikut menari di depan kelir menjadi joged.
Tak lupa ia juga penari dadakan itu mengajak penonton lain satu persatu untuk ngibing. Mereka larut dalam euforia dan juga atmosfer kegembiraan. Di banyak tempat bahkan Jero Dalang sering menerima pesanan dari salah satu penonton atau yang punya yadnya untuk lebih banyak lagi menampilkan genjek atau lagu-lagu dangdut agar diiringi genjek, ketimbang lelampahan yang serius. Jero Dalang Wijana merasa beruntung memiliki sekaa yang professional dalam hal genjek. Jadi mereka selalu bisa menuruti permintaan penonton.
“Tetapi kita harus lebih mementingkan kesakralan dari pementasan wayang itu sendiri agar nanti inti dari pementasan wayang itu sendiri tidak hilang, yaitu untuk memberikan tataban atau tirta dalang dan juga untuk memberikan sesuluh agar menjadi pedoman hidup yang lebih baik,” ujarnya.
Saat ini Jero Dalang Wijana tak jarang dipanggil atau mendapat julukan sebagai dalang genjek, atau dalang koplo. Jero Dalang terima saja julukan itu dengan rasa senang dan bangga. Itu artinya Jero Dalang Wijana sudah mendalang dengan karakter yang ia ciptakan. Apalagi hal itu bisa menjadikan pertunjukan wayang itu tidak selalu formal dan baku.
Siapa saja sekaa yang mendapingi Jero Dalang dalam setiap pementasan wayang?
Sekaa itu terdiri dari Wayan Sedah dan Made Guna di posisi gender dan genjek. Ada Kadek Yudi Arika sebagai pengayah dan ketipung, juga ikut memainkan genjek. Ada juga Nyoman Baret sebagai tukang sulingnya dan juga ikut genjek. Lalu ada Gede Tumbuh si tukang kenuk, juga ikut main genjek.
Jero Dalang Wijana menari topeng
Harapan ke depan untuk di Sanggar Seni Wijaya Kususma, khususnya dan di Desa Padang Bulia, Jero Mangku mengatakan agar terus melakukan aktifitas berkesenian, terutama seni tari dan tabuh, khususnya tabuh-tabuh yang khas dari Desa Padang Bulia. Caranya adalah dengan menggerakkan generasi muda untuk mempelajari tabuh-tabuh itu.
“Pemerintah desa juga harus punya peran dalam melestarikan asset-aset milik desa yang sangat begitu penting itu yang tak dimiliki oleh desa lain,” kata Jero Dalang Wijana. [T]
Baca juga artikel atau tulisan menarik lainnya GEDE DEDY ARYA SANDY
Reporter: Gede Dedy Arya Sandy
Penulis: Gede Dedy Arya Sandy
Editor: Made Adnyana