“Keberhasilan sebuah gerakan konservasi adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat, bukan hanya keberhasilan sebuah pelestarian lingkungan itu sendiri.”— I Putu Mangku Mariase.
SELAIN mempunyai wisata alam perbukitan dengan pemandangan yang indah, Buleleng juga mempunyai wisata bawah laut yang tak kalah indah—jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Bali—yang membentang dari ujung timur sampai ujung barat wilayahnya.
Bila berbicara tentang wisata bawah laut yang ada di Buleleng, sangat tepat rasanya kita ngobrol bersama dengan empunya, yakni I Putu Mangku Mariase, laki-laki kelahiran 1978 yang berprofesi sebagai scuba instructor itu. (Scuba instructor adalah orang yang bertanggung jawab untuk memberikan rekomendasi kelayakan kepada seseorang berhak atau tidak untuk mendapat sertifikasi sebagai penyelam di jenjangnya.)
Berbekal kemampuanya dalam berbahasa Inggris—yang sudah ia pelajari sejak SMP—Mangku lebih mudah berinteraksi dengan para bule. Tak hanya pandai berbahasa asing, pada saat di STM ia termasuk siswa berperestasi. Ia mengatakan, pada saat itu sering mendapat peringkat satu di jurusanya—bahkan sempat mendapatkan beasiswa kuliah gratis ke salah satu politeknik negeri di Jawa, namun ia tidak mengambilnya.
Mangku mengawali kariernya sebagai penyelam bermula setelah lulus dari STM, setelah sekian lama luntang-lantung seperti para remaja umumnya. Saat itu ia mengikuti kakak perempuanya bekerja di salah satu perusahaan penyedia jasa penyelaman rekreasi terbesar di Buleleng, tepatnya di daerah Lovina, Desa Kaliasem. Nama tempatnya adalah Spice Dive: Pusat Jasa Penyelaman Berbintang Lima Satu-satunya di Bali Utara.
“Kalau saja saya ambil, mungkin sekarang saya sudah menjadi guru di STM. Sebab memang begitulah programnya pada saat itu. Tapi sekarang toh pada akhirnya saya tetap menjadi guru—menjadi dive instructor,” ujarnya, tersenyum.
Tapi untuk menjadi penyelam, perjuangannya juga tidak mudah. Bukan ujug-ujug bisa langsung menjadi dive instructor, katanya. Ia meniti karier dari bawah. Mengikuti dan menikmati tahapan-tahapanya.
Sebelum menjadi seperti sekarang, awalnya ia mengaku hanya menjadi tukang refil tabung selam, perbaiki alat selam, tukang cuci alat selam, tukang fitting alat selam tamu yang akan menyelam, juga guide snorkeling. “Full meng-hendle tamu ke lapangan. Tetapi cuman berenang lihat-lihat pemandangan bawah laut dari permukaan air saja,” terangnya. Nah, dari sini ia sudah mulai berinteraksi langsung dengan bule-bule.
Mangku mengatakan bahwa awal mula ia menyelam itu pada usia 18 tahun, karena saat itu perusahaan memang ingin merekrut penyelam dengan dasar yang kuat. Artinya para penyelam yang memang tahu instrumen dari alat yang dipakai itu layak atau tidak, atau udara dalam tabung itu layak atau tidak, agar nanti tidak berisiko fatal pada saat penyelaman.
“Tak semua orang bisa menjadi penyelam, sebab mereka harus mengikuti beberpa tes fisik, psikologi, bahasa, juga harus menyertakan hasil rogten paru-paru. Tes kekuatan fisik itu di antaranya tes kekuatan berenang tanpa alat bantu sepanjang hampir satu kilo meter,” terangnya.
Kurang lebih begitulah proses untuk menjadi seorang penyelam profesional. Jadi, kesimpulannya seorang penyelam tidak sekadar hanya mengandalkan modal bisa berenang saja. Apalagi hanya bermodal bisa bahasa asing lalu plang-plung lansung nyilem. Bukan seperti itu!
Menjadi penyelam profesional juga ada jenjangnya, di antaranya, open water diver (hanya boleh ke kedalaman 18 meter); advanced (bisa sampai ke kedalaman 40 meter tetapi dalam batas rekreasi saja—no decompression dive); emergency first response “P3K” (penyelam pro yang sudah tahu cara membalut luka, memberikan pernapasan buatan, dll).
Selanjutnya, ada resciue diver (tim penyelamat, membantu orang-orang tenggelam atau juga mencari mayat, seperti tim SAR); dive master (meng-hendle tamu di dalam diving rekreasi); assistant instructor; dan scuba instructor—posisi Mangku saat ini. Dan dari sekian jenjang itu, yang paling tinggi posisinya adalah course director, para pencetak instructor.
Kesadaran Menjaga Alam
Kesadaran, apa pun itu, kadang muncul secara tak terduga. Bisa saja terpantik oleh lingkungan, pengalaman, pencerahan, dan ilmu pengetahuan. Dan ia—kesadaran itu—tak pandang bulu. Ia bisa menghampiri siapa pun yang dihendakinya.
Seperti Mangku Mariase, misalnya. Saat ini, seiring waktu berjalan, alih-alih fokus di dunia penyelaman, perlahan mindset-nya sedikit demi sedikit berubah lebih fokus untuk memperbaiki alam bawah laut, sekecil apa pun yang ia bisa.
Dulu, tujuanya memang hanya menyelam; mengajak tamu lalu dapat uang. Tapi sekarang ia mulai merawat trumbu karang bersama masyarakat pesisir—masyarakat yang perduli pada masa depan kehidupan bawah laut.
Tak main-main, saat ini ia dipercaya sebagai pembina konservasi alam keluarga nelayan di Kalimantan Timur dalam program tahunan TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) yang dananya dikeluarkan oleh Pupuk Kaltim sebagai perusahaan BUMN.
Pabrik pupuk terbesar di Asia Tenggara itu, untuk TJSL, menggelontorkan dana sebesar 70 milyar per tahun. Dana itu disalurkan ke tracking mangrove (wisata mangrove), beasiswa sekolah, pelatihan konservasi alam, pelatihan kerajinan rumah, pendampingan sampai permodalan ekonomi kreatif. Atas usaha tersebut, saat ini nelayan-nelayan di Kaltim tak lagi melakukan pengeboman ikan. Mereka justru ikut terlibat dalam konservasi laut.
Saat bercerita mengenai TJSL di Kalimantan Timur, Mangku diam-diam membayangkan—atau lebih tepatnya berharap—seandainya perusahaan BUMN yang ada di Buleleng mampu mengeluarkan dana TJSL bukan sekadar hanya untuk pendidikan dan perbaikan tempat ibadah. Tapi juga untuk perbaikan lingkungan.
“Misalnya melibatkan Subak untuk perawatan sungai. Supaya mereka bisa membersihkannya dari sampah plastik. Atau memberikan dana penghijauan. Ini bukan hanya berlaku untuk perusahaan BUMN saja, tapi juga BUMD. Ini demi masa depan lingkungan kita di Buleleng!” ujarnya, tegas.
Tanya Jawab
Bagaimana ceritanya Bli Mangku bisa dilirik atau direkrut oleh perusahaan Pupuk Kaltim?
Sebenarnya berawal dari satu tahun lalu. Saya sempat ke sana, mengajar divisi TJSL. Dan dari sana mereka tahu bahawa saya juga bergerak di bidang konservasi. Jadi, pada saat berangkat kedua kalinya, saya diminta untuk menjadi delegasi konservasi, yaitu untuk memberikan metode-metode dan kiat-kiat konservasi. Sambil juga mengajar menyelam nelayan di daerah Bontang. Ya itung-itung menyebarkan virus-virus konservasi dari Bali Utara. Hehehe.
Terus, menurut Bli Mangku, di mana tempat trumbu karang paling bagus di Buleleng?
Mungkin di Penuktukan. Di sana trumbu karangnya sangat bagus, bahkan mungkin lebih bagus dari yang ada di Pemutera. Meskipun di Penuktukan sangat minim income, minim dukungan dari pemerintah dan cuma bermodal Pemdes juga kesadaran masyarakat, tapi terumbu karang di sana tetap top.
Saya dengar kabar-kabar dari media sosial, bukanya terumbu karang di Pemuteran itu lebih bagus?
Bukan Pemuteran saja. Jangan tanya Pemuteran, sebab mereka dapat sokongan dana besar dari pemerintah lokal maupun dana dari luar negeri. Dan itu terus mengalir. Dan terumbu karang mereka adalah terumbu buatan yang sangat susah diaplikasikan—karena metode biorock yang perlu pelajaran khusus dan juga biaya banyak.
Apa itu metode biorock?
Itu adalah proses elektrolisis air laut, yaitu dengan meletakkan dua elektroda di dasar laut dan dialiri dengan listrik tegangan rendah yang aman, sehingga memungkinkan mineral pada air laut mengkristal di atas elektroda.
Atau sederhananya, arus listrik itu akan lebih cepat merangsang tumbuhnya fospor, di mana bibit karang sangat suka menempel di sana. Dengan begitu, sangat masuk akal bila mereka memiliki terumbu karang yang bagus. Selain itu, mereka juga menikmati hasil dari itu, kan? Artinya, bila mereka merusak karang biorock itu, sama saja dengan bunuh diri—karena itu merupakan icon mereka.
Kalau Penuktukan bagaimana, Bli?
Penuktukan itu alami—meskipun ada beberapa terumbu karang buatan. Itu pun dengan metode simpel, tak ribet. Jadi masyarakat awam pun akan mudah mengerti dan berpartisipasi. Sementara kalau dilihat dari perbandingan karangnya, di Pemuteran itu sebagian besar rahabilitasi, sedangkan yang di Penuktukan sebagian besar karang alami.
Perlu diingat, bahwa goal, keberhasilan dari konservasi terumbu karang adalah bukan hanya tentang pertumbuhan karang yang bagus, akan tetapi yang terpenting di setiap gerakan konservasi adalah juga tumbuhnya kesadaran masyarakat yang baik.
Lalu kenapa yang di Penuktukan tak begitu di lirik oleh pemerintah? Ya kita semua tahu bahwa pemerintah itu sangat jarang mau merintis. Istilah Balinya “ngalih tis dogen, nyan men be jadi mare masuk ngalih kontribusi” biasanya begitu.
Menurut Bli Mangku, bagaiman keadaan terumbu karang di Buleleng pada umumnya?
Keadaan terumbu karang di Buleleng dalam kondisi sakit, dan akan bisa disembuhkan dengan gerakan kesadaran kolektif, dari hulu sampai hilir. Mustahil terumbu karang akan sehat jika pihak dari hulu tidak dilibatkan!
Maksudnya, sungai-sungai harus seminim mungkin menyumbang pencemaran limbah padat maupun cair. Mayarakat pesisir juga harus mulai sadar bahwa laut itu adalah sumber kehidupanya. Mereka harus mulai menangkap ikan secara bijak, mulai ikut berpartisipasi dalam konservasi laut dan pesisir. Jadi, kalau terumbu karang sehat, ikan sehat, nelayan pun sehat.
Untuk di Buleleng, di daerah mana saja kegiatan konservasi saat ini? Dan bagaimana harapan Bli Mangku atas konservasi tersebut?
Untuk konservasinya masih di seputaran Tembok, Tejakula, Pacung, Kerobokan, Penimbangan, Lovina, Umanyar, dan Sumberkima.
Perkembangan industri scuba diving di Bali Utara sangat pesat, namun terlalu sedikit destinasi tempat penyelaman yang memenuhi kriteria sebagai spot rekreasi. Sehingga, aktivitas penyelaman hanya bisa terlaksana di beberapa tempat saja—dan itu berakibat dapat menyebabkan stresnya habitat peraiaran hingga kehancuran secara singkat.
Harapan ke depanya, pemandu wisata selam hendaknya memiliki kompetensi yang mumpuni sehingga mengetahui apa yang sebenarnya dimintai oleh para wisata selam wisman (bule). Sebab di daerah asal mereka hanya mengandalkan danau laut yang keruh juga dingin, minim ikan, dan itu bisa kita jadikan kesempatan untuk memperkenalkan bentang laut utara kita yang lebih dari 120 km.
Juga minimnya dedikasi—profesionalisme pemandu wisata selam bagaikan tombak yang tumpul. Mereka seperti kurang mengerti apa itu pariwisata. Kiranya pemerintah harus kembali menerapkan Sapta Pesona, yang menurut saya itulah sebenarnya sendi-sendi sebuah pariwisata yang tak akan terkalahkan oleh zaman di era sekarang.
Apa itu Sapta Pesona?
Aman, bersih, sejuk, indah, tertib, ramah, kenangan. Ini adalah konsep pariwisata di zaman Pak Harto—visit Indonesian year.
Memang ada efeknnya?
Sangat ada manfaatnya, sebab itu semua adalah dasar, sendi tubuh, atau tulangnya pariwisata, yang bisa membuat kokoh dan berdiri tegak. Jangan ngomong pariwisata kalau tidak bisa merintis dan berkomitmen untuk mewujudkan Sapta Pesona.
Coba bayangkan, bagaimana kalau situasinya tidak aman, tidak bersih, megaburan, semrawut, termasuk lalu lintas dan lingkunganya, apakah kita mau berwisata ke tempat seperti itu? Tentu tidak, kan.
Contoh di daerah Lovina itu, Candi Paduraksa ke arah pantai yang sempit. Bus nggak bisa masuk. Padahal ada parkir besar di area patung dolpin. Juga trotoar yang tingginya hampir 50 cm itu sangat tidak ramah untuk para pejalan kaki. Apalagi para penyandang disabilitas.
Sanitary juga minim, pelit toilet. Di daerah luar negeri toilet itu gratis. Kalau pun nantinya toilet perlu perawatan, hendaknya uangnya dijadikan satu di tiket masuk, bukanya justru orang kebelet distop, disuruh bayar dulu baru bisa masuk.
Desa adat juga harus aktif berpartisipasi lewat para Pecalangnya. Bila perlu, bentuk Pecalang Segara untuk mengawasi segala aktivitas di pesisir. Berikan mereka pelatihan agar mampu dan kompeten layaknya baywacth, lifeguard. Dengan begitu, wisatawan akan merasa nyaman, aman, dan suasana akan tertib.
Terkadang orang menertawakan proses karena mereka hanya mau menunggu hasil—dan itu adalah sifat buruk yang harus dirubah. Kita minim jiwa perintis. Walaupun pewaris, kita harus tetap merintis (berinovasi). Kalau tidak, berarti kita kan sakit batis (tidak bisa bergerak ke depan).[T]
Reporter: Gede Dedy Arya Sandy
Penulis: Gede Dedy Arya Sandy
Editor: Jaswanto
Baca juga artikel atau tulisan menarik lainnyaGEDE DEDY ARYA SANDY