THEATRE GAMES, begitu instruktur di Balai Besar Pengembangan Penjamin Mutu Pendidikan Vokasi Seni dan Budaya (BBPPMVP Seni dan Budaya) di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta menyebutnya. Ini adalah metode yang baru saya dengar.
Ceritanya begini. Pada awal September 2023, saya tiba-tiba dihubungi Made Adnyana Ole, pendiri Komunitas Mahima. Saya diminta mengikuti diklat teater di Yogyakarta. Berangkat 2 Oktober. Saya langsung mengiyakan walaupun diklat itu dilaksanakan selama 16 hari.
Setelah mengiyakan itu, saya baru berpikir bahwa saya harus izin dari tempat bekerja selama 16 hari. Tetapi segala cara saya usahakan untuk dapat berangkat ke Yogyakarta, tempat impian saya sebelum menjadi mahasiswa dulu.
Waktu semakin dekat, hati semakin berkecamuk karena saya harus berangkat sendiri. Beberapa teman mungkin kesal saya tanyai bagaimana cara cek in saat di bandara nanti, kemana saya harus melaporkan tiket yang sudah saya pesan online itu saat berada di bandara nanti.
Untung saja, beberapa teman mau memberitahu saya kemana saya harus melaporkan tiket sampai ke detail harus berangkat jam berapa dan harus menunggu di mana nanti. Perasaan saya sedikit lega kala itu.
Barang-barang sudah saya kumpulkan sedemikian rapi di dalam koper. Pikir saya itu cukup untuk 2 minggu di Yogyakarta. Dilema semakin menyelimuti saat saya akan berangkat. Mungkin ini terlalu lebay tapi saya harus meninggalkan kekasih tercinta saya selama 2 minggu. Sedih memang, tapi untuk mencapai impian, memang harus memendam kerinduan.
Saya berangkat ke Yogyakarta, dengan rasa senang dan juga syukur saya akhirnya bisa berangkat ke Yogyakarta. Sampai di bandara Kulonprogo, ya Kulonprogo, membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk dapat sampai di Balai Diklat di Sleman. Sayangnya, saya sampai di Yogyakarta saat malam hari.
Agak sedih karena tidak bisa menikmati suasana dari Kulonprogo ke Sleman saat hari sedang terang. Karena beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Yogyakarta, saya membaca Twitter dan secara kebetulan saya membaca cerita mistis di Ringroad Jogja. Begitu sampai di Ringroad Jogja, pikiran-pikiran ngeri terbesit. Takutnya, sopir saya berubah menjadi sosok yang mengerikan atau di sebelah saya ada sosok yang mengerikan juga.
Singkat waktu, saya sampai di Balai Diklat yang sangat luas malam itu. Untuk menuju asrama yang akan saya tinggali dari gedung utama di depan membutuhkan waktu kurang lebih 7 menit jika berjalan. Untung satpam di Balai Diklat itu sigap membantu mengantar saya menuju gedung asrama. Pikir saya sebelumnya, saya tak akan nyaman dengan teman sekamar, takut tak ada obrolan yang seru dari saya.
Tetapi semua itu berubah semenjak saya masuk kamar. 2 orang teman sudah menunggu di dalam kamar, baru menghela nafas, kita langsung membicarakan kerja-kerja teater dan komunitas di daerah kita sendiri. Sedikit untuk untuk kawan pembaca, saya sekamar dengan orang Jakarta dan Indramayu. Beberapa praktek kerja teater dari daerah mereka masing-masing tergolong sama dengan apa yang ada di Bali.
Theatre Games
Saya adalah orang yang takut akan sesuatu yang baru pernah saya dengar. Misalkan kegiatan di Diklat Teater, saya takut bahwa kegiatan akan membosankan dan sangat membuat saya jenuh.
Tetapi semua itu berjalan tidak sesuai dengan pikiran saya. Setelah pengenalan teater secara teoritis, keesokan harinya kami, Bidang Seni Teater dengan 12 orang peserta berkumpul di gedung Seni Teater. Di dalam Balai Diklat, ada beberapa gedung yang dikhususkan untuk bidang-bidang tertentu. Misalkan, gedung Karawitan, Pedalangan, Musik dan gedung yang lain yang mencangkup seni dan budaya.
Kami sudah ditunggu oleh Mas Eko dan Mas Haris kala itu. Dengan secangkir kopi dan rokok yang sudah habis setengah, kami lantas ikut berbincang mengenai teater dan sedikit bercanda mengenai daerah kami sendiri-sendiri. Dari obrolan itu, kami menjadi saling berkenalan satu sama lain. Ada teman dari Lampung, Surabaya, Jogja, Kudus, Jepara, Tuban dan Banten.
Theatre Games sungguh sangat awam bagi saya. Karena selama ini, pola latihan hanya pada olah vokal A,I,U,E dan O, begitu pula olah tubuh dan olah rasa. Tetapi, ketika mempelajari Theatre Games pola pikir saya kepada teater berubah. Ternyata, teater bisa mengasyikkan jika pola latihan dibuat pula menarik. Pola latihan Theatre Games sangat cocok digunakan bagi saya, seorang pengajar yang juga mengajar extra teater di luar sekolah karena extra teater di sekolah sendiri dibubarkan.
Saya memutar otak sebelum adanya undangan untuk mengikuti diklat. Karena pola latihan yang itu-itu saja dan membuat anak-anak sekolah jenuh. Ditambah lagi, sampai hari ini, anak-anak sekolah di Denpasar tak tahu banyak teater, mereka lebih tahu operet yang memang mempunyai pasar besar di Denpasar. Tapi saya tidak menyalahkan itu, hanya saja, kerja saya menjadi bertambah untuk menjelaskan teater, tokoh yang terlibat dan teater “bagus” di Bali.
Pola-pola latihan Theatre Games seperti bermain anak-anak. Membuat lingkaran sembari menunjuk teman, begitu pula yang ditunjuk menunjuk teman lain dan seterusnya. Sampai akhirnya, kita berjalan ke arah teman yang ditunjuk, begitu pula seterusnya.
Posisi menjadi acak, kita menjadi bingung dari posisi teman sebelumnya dan bisa berubah seketika, apalagi ketika kita dituntut untuk menaikkan ritme gerak dan suara. Ternyata, pola latihan itu secara tidak sadar, kita dapat mengolah tubuh kita dengan bergerak, mengolah vokal ketika ketika menyebut nama teman dan dapat lebih peka terhadap lawan main nantinya di atas panggung.
Pola latihan ini yang sangat dibutuhkan untuk mengajar anak-anak sampai anak SMA. Karena, beberapa kali saya menemukan kejenuhan dalam latihan teater yang polanya begitu saja. Pemanasan, latihan vokal, olah tubuh lalu dilanjutkan ke latihan teks.
Tetapi berbeda dengan Theatre Games, pola latihan ini bisa saja digunakan sebelum latihan, di tengah-tengah latihan dan di akhir latihan. Sangat fleksibel tergantung kebutuhan dan metode sendiri-sendiri nantinya. Metode Theatre Games memang tidak langsung mengajarkan kita olah vokal, olah tubuh dan olah rasa secara sadar, namun ketika kita berada di atas panggung, vokal, tubuh dan rasa kita telah terbentuk seiring berjalannya proses.
Selama 9 hari, kami menerapkan metode itu sebelum Latihan untuk dipresentasikan pada magang industry nanti di Solo. Ya, Solo, tempat yang tidak pernah saya bayangkan. Dan pada akhirnya, 5 hari kami di Solo. Oemah Arturah menyambut kami di Taman Budaya Solo. Banyak pula yang kami dapat di sana.
Yang menarik adalah, ketika ada kunjungan ke sebuah tempat penyewaan busana, di sana saya sempat berpikir bahwa ini bukan bidang saya untuk merias, tetapi ternyata saat saya berada di Bali, saya tahu riasan apa yang harus diaplikasikan kepada pemain dan hanya memberitahu perias saat itu. Semua sangat berguna bagi saya yang masih banyak harus berproses ini. Begitu pula kami diajak untuk membuat sebuah property. Saya untuk pertama kalinya membuat wayang jawa. Unik, menarik dan pengalaman yang berkesan.
Pada akhirnya perpisahan adalah hal yang paling saya benci. Ya, saya harus segera kembali ke Bali karena jadwal pesawat yang mepet. Bandara terlampau jauh dari Balai Diklat. Saya hanya sempat mengucapkan salam perpisahan kepada beberapa teman di asrama sebelum penutupan berlangsung.
Mungkin saya tidak akan menjelaskan secara rinci, metode-metode yang digunakan saat Theatre Games, karena memang susah dijelaskan jika tidak praktek langsung. Tetapi, hal lain yang saya rasakan adalah saya bisa terus tumbuh melalui teater, mendapatkan teman baru, metode baru dan pencarian baru. Begitu pula mendapatkan oleh-oleh sebuah cerita yang dapat saya bagikan kepada mereka yang ingin belajar dan tumbuh bersama.
Sekali lagi, Yogyakarta adalah tempat paling indah yang selalu ingin saya kunjungi. Tak hanya sekali dua kali saja, tetapi saya ingin mengunjunginya berkali-kali. [T]