DESA Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten pada Tilem Kapat, 14 Oktober 2023 yang lalu melaksanakan upacara danu kerthi di Gunung dan Danau Batur. Misi upacara tersebut adalah sebagai pemuliaan terhadap gunung, danau, dan mata air. Pada bahasa kultural sehari-hari, danu kerthi lebih dikenal sebagai bakti pakelem. Namun, di dalam teks Rajapurana Pura Ulun Danu Batur yang disucikan masyarakat Batur, ritual ini dituliskan sebagai abhiseka kr[ě]tti ring sagara alit.
Konsep bhakti pakelem, danu kerthi, atau abhiseka kr[ě]tti ring sagara alit pada prinsipnya bermuara pada makna yang sama: pemuliaan Danau Batur sebagai ibu yang telah memberi limpahan kasih. Pakelem merujuk pada pengertian “penenggelaman” berbagai kurban. “Penenggelaman” kurban tersebut tidak lain sebagai salah satu cara komunikasi leluhur Batur di masa silam untuk menghargai sumbangsih alam yang telah memberi manfaat bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup.
Ritual abhiseka kr[ě]tti secara leksikaldapat diartikan sebagai “penobatan kemuliaan”. Abhiseka artinya ‘penobatan’,sedangkan kr[ě]tti (selanjutnya dieja sebagai kreti) berarti ‘pemuliaan’. Kata kreti termasuk dalam khazanah kosakata bahasa Jawa Kuno, yang dalam kehadiran awalnya terlebih dahulu diserap dari bahasa Sanskerta. Sementara itu, sagara alit berarti ‘lautan kecil’ yang merujuk pada danau, khususnya Danau Batur.
Kata kreti ‘pemuliaan’ belakangan lebih akrab dijumpai dalam bentuk kata kerthi. Perubahan kata kreti menjadi kerthi menunjukkan gejala metatesis atau pertukaran letak bunyi pada bahasa Bali sehari-hari. Kasus seperti ini sama dengan pelafalan kata amreta menjadi amerta atau kata kreta menjadi kerta. Tampaknya, lidah orang Bali memang lebih mudah melafalkan amerta, kerta, atau kerti dibandingkan amreta, kreta, atau kreti.
Belakangan penulisan kreti memang seolah-olah “dibakukan” sebagai kerthi. Situasi ini tidak terlepas dari keberadaan program pemerintah daerah, khususnya melalui visi Pembangunan Pemerintah Provinsi Bali, “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”. Atas alasan itu pula, melalui saran sejumlah birokrat, judul upacara yang dilaksanakan Desa Adat Batur mengikuti ejaan yang disepakati pemerintah: danu kerthi.
Panitia upacara tahun ini memberi judul upacara tersebut sebagai “Karya Agung Danu Kerthi, Tawur Agung Labuh Gentuh, Meras Danu lan Gunung, Bakti Pakelem ring Segara lan Puncak Gunung Batur, Mapaselang lan Mapadanan”. Disebut “karya agung” karena lingkup upacaranya yang besar dan kompleks. Penyematan frasa “karya agung” juga diharapkan dapat memberi ciri khusus terhadap ritual tersebut jika dibandingan dengan ritual pemuliaan danau dan gunung yang tiap bulan telah dilakukan oleh masyarakat adat Batur. Ritual-ritual pemuliaan danau dan gunung bulanan yang dimaksud termanifestasi sebagai pujawali; ngusaba; maupun caru insidentil ketika terjadi hal yang dianggap mengotori danau atau gunung.
Penyematan “karya agung” pada ritual tahun ini juga didasarkan pada pengambilan tingkatan upacara berupa tawur agung labuh gentuh. Tawur labuh gentuh adalah ritual caru besar dengan sarana-sarana binatang kurban tertentu di seluruh penjuru mata angin. Kurban-kurban tersebut antara lain berupa kerbau, sapi, menjangan, kijang, petu, kucit butuan, luwak, asu bangbungkem, dan berbagai jenis ayam dengan warna bulu berbeda-beda.
Sementara itu, ditinjau dari penggunaan wewalungan (kurban binatang) yang khusus ditenggelamkan ke danau, pakelem tahun ini juga lebih kompleks dibandingkan pakelem yang dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Pakelem tahun ini menggunakan 3 ekor kerbau dan seekor babi hitam seharga 1.000 kepeng. Empat kurban pakelem tersebut di luar kurban pakelem di Pura (Puncak) Kanginan dan Pura (Puncak) Kawanan Gunung Batur, di mana masing-masing dipersembahkan seekor kerbau.
Pakelem di danau didasarkan pada wacana Rajapurana Pura Ulun Danu Batur, khususnya yang termuat dalam lontar Pratekaning Usana Siwa Sasana. Pada teks ini dijelaskan bahwa jika ingin melaksanakan upacara abhiseka kreti ring segara alit, pelaksanaanritualwajib dilaksanakan secara kolaboratif oleh pemimpin negara, para patih Bali, ksatria, arya, dan kalangan brahmana. Adapun sarananya adalah 3 ekor kerbau serta seekor babi seharga 1.000 yang ditenggelamkan di arah barat.
Ketika menemukan penjelasan upacara tersebut di dalam Rajapurana Pura Ulun Danu Batur, kami belum berani mengambil keputusan untuk menerapkannya. Kami menyadari bahwa pakelem di Danau Batur terkait dengan kemaslahatan seluruh Pulau Dewata, sehingga upacara yang digelar tidak boleh dilaksanakan sembarangan. Berlandaskan pemikiran itu, kami terus berupaya melakukan pendalaman terhadap wacana-wacana tentang pelaksanaan pakelem, hingga akhirnya bertemulah dengan sebuah catatan tertanggal 12 Desember 1919 atau dalam penanggalan Bali jatuh pada Sukra Umanis Ukir, Pananggal ke-4 Sasih Kanem, Isaka 1841.
Data yang memuat keterangan tersebut disimpan oleh salah seorang panglingsir Batur, Wayan Sukadia. Wayan Sukadia memang salah satu panglingsir yang perhatian dengan data-data, termasuk sering kali mengumpulkan dan mewacanakan kembali data-data yang dikumpulkan dalam tulisan-tulisan sederhana. Adapun data tersebut konon diterima olehnya dari salah seorang peneliti yang pernah melakukan penelitian subak dan jejaring air di Pura Ulun Danu Batur.
Catatan yang sesungguhnya hanya terdiri atas 2 halaman ini menjadi catatan berharga bagi panitia. Data ini memberikan informasi yang lengkap terkait tata cara pelaksanaan upacara pakelem, termasuk sarana-sarana yang digunakan. Meskipun berusia 104 tahun, catatan tersebut memuat dengan rinci sarana banten yang digunakan dalam ritual, baik yang dipersembahkan di sanggar tawang, di panggungan yadnya, maupun sarana upacara yang ditenggelamkan ke danau.
Secara khusus, pada bagian akhir catatan tersebut menjelaskan sarana wewalungan (binatang) yang akan ditenggelamkan ke danau. Kurban-kurban itu dibentuk dengan pola nyatur (mengambil posisi menurut arah mata angin) di danau. Di arah timur dipersembahkan seekor kebo yosbrana bertanduk emas yang hidungnya belum dicucuk diikuti masing-masing seekor babi, bebek, ayam, kambing, dan uang 10.100 kepeng. Di arah selatan dipersembahkan seekor kebo sabulu bertanduk emas yang hidungnya belum dicucuk diikuti masing-masing seekor babi, kambing, bebek, ayam, dan uang sebanyak 1.700 kepeng.
Kurban yang ditenggelamkan di arah barat adalah seekor babi seharga 1.000 kepeng. Kurban tersebut diikuti masing-masing seekor bebek, kambing, ayam dan uang kepeng sebanyak 1.100. Terakhir, di arah utara dipersembahkan seekor kebo cemeng (kerbau hitam yang beranak kerbau putih, kemudian kembali beranak hitam) dengan tanduk emas dan hidung belum dicucuk, diikuti masing-masing seekor babi, kambing, bebek, dan ayam, serta uang kepeng sebanyak 160.000 kepeng. Menurut catatan ini, uang kepeng di utara bisa dikurangi, tetapi diganti dengan besi yang dibentuk seperti peralatan manusia berupa sabit, badik, pahat, dsb.
Menanggapi catatan yang demikian detail tersebut, akhirnya Pangemong Pura Ulun Danu Batur memastikan langkah untuk melaksanakan upacara dengan mengikuti petunjuk yang ada. Hanya saja, realisasi kegiatan upacaranya tetap disesuaikan dengan kondisi, khususnya terkait wewalungan yang mengiringi kurban kerbau di tiap mata angin serta uang kepeng yang menyertainya. Setelah berkoordinasi dengan sulinggih Ida Pedanda Istri Karang dari Griya Sibetan, Karangasem disepakati wewalungan yang mengiringi empat kurban utamatersebutdiambil sekali ke tengah. Wewalungan pangiring tersebut berupa kambing hitam, bebek hitam, ayam hitam, dan angsa, serta uang kepeng sebanyak 10.000 kepeng yang ditenggelamkan di madya (tengah). [T][bersambung]