SAAT PERTAMA kali membaca naskah awal buku ini, saya langsung mengingat sebuah buku berjudul Menjadi Manusiawi, The Daily Wisdom of Mangunwijaya (2004). Buku tersebut bercerita tentang proses pemanusiawian dalam pergulatan hidup sehari-hari Romo Mangunwijaya.
Proses pemanusiawian tersebut bersinar terang melalui kisah inspiratif dan penuh humor, kata-kata bermakna, dan beberapa surat Romo Mangun. Saya mengingat buku tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, buku yang ditulis oleh dr. Arya ini sedikit banyak memang memiliki kemiripan dengan buku yang disusun oleh Y. Sari Jatmiko itu. Dan salah satu kemiripan tersebut terletak pada humor-humor sederhana yang terdapat dalam kedua buku ini.
Ya, oleh karena humor-humor itulah, sebagai editor, dari awal sampai akhir, saat mengedit buku ini saya tak bisa berhenti tertawa. Kelakar-kelakar dr. Arya─dokter yang memiliki nama lengkap Putu Arya Nugraha itu─selalu membuat perut saya terguncang. Benar, isi buku ini memang penuh dengan humor, meski tak sedikit juga yang mengharukan, kritis, dan memiliki makna (kebijaksanaan) yang dalam.
Harus saya akui, sebagai seorang dokter, dr. Arya memang berbeda dengan dokter-dokter pada umumnya. Selain sebagai seorang dokter yang santai─dan serius, katanya─kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, kepada sastra, dan tulisan pada umumnya, tentu tidak bisa disepelekan. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Bali Post, Denpost, dan Jawa Pos. Penulis yang dikaguminya juga bukan penulis sembarangan: Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, dan YB Mangunwijaya. Pantas saja, laku hidupnya, cara berpikirnya, menjadi sangat khas.
Buku ini adalah salah satu bukti kecerdasan─atau kebijaksanaan itu sendiri─dari dr. Arya, khususnya dalam hal menangani berbagai macam tingkah laku pasien yang berobat maupun berkonsultasi kepadanya. Dalam hal ini, saya kira, sebagai seorang dokter, ia paham betul bahwa bagi mereka yang memiliki keluhan atau divonis sakit, obat saja tak cukup. Mereka butuh sesuatu daripada sekadar obat nyeri, misalnya, lebih dari itu, mereka juga membutuhkan penawar kekhawatiran atau potensi-potensi buruk lainnya setelah mendapatkan vonis. Dan saya kira, penawar itu adalah humor.
Ya, dr. Arya, dalam setiap penanganannya terhadap pasien, alih-alih memberi vonis-vonis seram─seperti yang dilakukan dokter-dokter pada umumnya─justru selalu berusaha mengajak pasien bercanda atau menertawakan apa yang telah mereka derita. dr. Arya, secara tidak langsung, saya kira juga menganggap bahwa humor adalah obat itu sendiri. Ia seperti paham betul bagaimana cara membuat orang tertawa dan melupakan rasa sakitnya. Oleh karena itulah, sangat pas buku ini diberi judul Sehat Ketawa ala Dokter Arya.
***
Soal humor, selain KH. Abdurrahman Wahid─atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur─saya juga teringat seorang filsuf dan pejabat publik Romawi Kuno bernama Marcus Tullius Cicero. Cicero gemar melempar joke saat berbicara dan berargumen di depan orang banyak.
Dianggap terlalu humoris untuk seorang pejabat publik di zamannya, seperti kata Ulwan Fakhri, Cicero pun dipandang bak badut. Wajar, kala itu, pendapat Plato dan Aristoteles bahwa tertawa cenderung terasosiasi dengan aktivitas kaum tak terhormat masih sangat dominan. “Humor,” kata Cicero, “bisa meruntuhkan perbedaan antara seorang orator dan komedian.”
Cicero dan dr. Arya berhasil membuktikan, ketika humor digunakan dengan kadar yang pas dan bijak di muka umum, kuasa sosial hingga politik bisa dimenangkan. Tetapi saat humor digunakan dengan sembrono di hadapan orang-orang, kita bisa saja dicap sebagai badut seperti Cicero─tanpa prestasi yang selevel dengannya.
Humor pada dasarnya hanya sebuah alat, sama seperti pisau. Mau dipakai untuk memasak makanan kesukaan orang yang ingin Anda bahagiakan, bisa. Mau ditodong-todongkan ke orang lain sembari tertawa puas menari-nari bahagia melihat muka tak nyaman mereka, bisa pula. Yang penting, mari lebih melek dan sadar dalam berhumor. Minimal, tahu apa yang sedang ingin Anda sendiri capai, meraup simpati atau untuk mengekspresikan diri. Bukan begitu, Dok?
Selamat tertawa.[T]