JELANG perebutan kekuasaan, para calon kepala daerah atau kota biasanya lebih anteng turun menyapa masyarakat. Apabila ketika menjabat para penguasa itu begitu banyak dipenuhi jadwal ke luar kota sehingga jarang bisa ditemui rakyatnya, prapemilihan mereka tak segan meminta sendiri ke desa-desa untuk blusukan. Jika sebelumnya masyarakat begitu rikuh menembus berbagai syarat administratif untuk meminta bantuan, saat momentum pemilihan sudah dekat, berbagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan datang sendiri tanpa diundang!
Fenomena politik transaksional ini biasa terjadi saban hajatan pemilihan kepala daerah digelar. Hanya pada saat-saat seperti inilah rakyat mendapatkan tempat. Suara mereka dihargai, pendapatnya didengar. Sementara bagi para calo penjual suara rakyat, momen-momen seperti ini adalah peluang untuk menambah penghasilan. Mereka yang jeli berdiri di “banyak pijakan” akan meraup aneka keuntungan. Semua seperti sah-sah saja untuk memanfaatkan berbagai kemungkinan.
Kita tidak tahu pasti apa dampak di balik politik transaksional ini. Akan tetapi, benih kolusi yang ditabur saat ajang pemilihan akan tumbuh menjadi pohon korupsi di kemudian hari. Jika pada bidak perebutan kekuasaan, seseorang lebih banyak membeli suara rakyat dengan uang maka pada saat menjabatlah ganti ruginya akan diusahakan. Dengan pola seperti ini, mustahil kemajuan suatu wilayah bisa dicapai. Meski, para penguasa itu telah belasan tahun berada di altar kekuasaan. Ia akan terus memperkaya diri, walaupun kesengsaraan menggerogoti anak negeri.
Lantas, bagaimanakah cara memutus mata rantai politik transaksional ini? Tak mudah memang. Akan tetapi, khazanah literasi politik Bali seperti Niti Raja Sasana memberikan tawaran untuk melihat kualitas pemimpin dengan mendalami perilakunya yang disebut dengan Ulah Telu. Jika ada seseorang yang terbukti menjalankan Ulah Telu dalam rekam jejak kepemimpinannya maka ia layak dijadikan tedung jagat “payung dunia dari sengatan derita dan badai kehidupan”.
Ulah Telu sesuai dengan istilahnya dapat dibagi menjadi tiga yaitu wijayastra, sepadina, dan negarajnyana. Pertama, wijayastraadalah karakter seorang pemimpin yang teguh mengusahakan kebaikan dengan adil memberikan berbagai bantuan material. Karena disegani, Ia berusaha untuk selalu mengendalikan kemarahan. Tutur katanya manis, lembut, dan menenangkan. Figur pemimpin ini juga mudah memberikan maaf, asih kepada para pendeta, dan orang yang sengsara. Kedua, sopadina yaitu karakter pemimpin yang memiliki kemantapan dan kesucian budi. Ia tidak terpesona oleh emas dan harta karena tahu bahwa kekayaan itu tidak bisa dibawa mati. Figur pemimpin yang menjalankan ajaran ini biasanya memberi tanpa diminta karena ia telah tahu keadaan masyarakatnya di seluruh negeri. Ketiga, nagarajnyanayaitu karakter pemimpin yang memperhatikan infrastruktur seperti memperbaiki balai-balai rusak, pura, jembatan, memberi pakaian, dan makanan kepada seseorang yang tengah kelaparan.
Itulah tiga ajaran yang bisa dijadikan parameter untuk melihat jejak kepemimpinan seseorang.Pada intinya, karakter tersebut mengakar dalam salampah lakunya memutar roda pemerintahan. Dari wijayastra kita dapat memetik hal penting bahwa seorang pemimpin memang mesti terpanggil dari dalam hatinya untuk selalu mengasihi orang sengsara (asih ring wong kalaran). Dari sopadina kita tahu seorang pemimpin ideal mesti memiliki kesadaran antikorupsi, bahwa emas, harta, dan kekayaan tidak bisa dibawa ke alam baka (tan agawok ing mas arta, weruh yan tan binakta mati). Dengan dua landasan itulah infrastruktur dibangun untuk membantu membebaskan masyarakat dari kesengsaraan hidup seperti yang diamanatkan dalam nagarajnyana (manggawe ayuning bumi, mamahayu bale rusak, miwah pura marga titi, mandodoti wong kawudan, wong luwe sinungan nasi).
Itulah tawaran Niti Raja Sasana yang digubah oleh I Gusti Ngurah Made Agung dalam menentukan kualitas seorang pemimpin, tiga tahun sebelum meletusnya perang Puputan Badung. Dari apa yang ditulis oleh Raja Denpasar tersebut, kita merasakan adanya titipan formulasi ajaran kepemimpinan untuk kita yang hidup saat ini. Mencermati karya sastra itu, pada saat yang bersamaan kita juga melihat jurang yang membentang antara ajaran dengan kenyataan. Alih-alih teguh dalam mengusahakan kebahagiaan dunia sesuai sastra, sejumlah pemimpin malah membangun infrastruktur untuk mendapatkan kesempatan meraup kekayaan sebanyak-banyaknya, meski rakyatnya sendiri masih melarat.
Pada pemimpin yang seperti ini, suara-suara rakyat tidak boleh dialirkan. Kecuali jika Ia betah dalam ketertinggalan! [T]
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA