- Judul Buku : Aristotle and Dante: Discover the Secrets of the Universe
- Jenis : Novel
- Penulis : Benjamin Alire Saenz
- Penerjemah : Wawan Kurniawan
- Penerbit : Shira Media
- Cetakan : Pertama, 2022
- Tebal : xii + 384 halaman
- ISBN : 978-602-7760-67-7
- Peresensi : Stebby Julionatan
Mungkin aku masih gerimis yang kecil
Kan jelang kujadi petir petir yang hebat
Dan bila waktunya tiba mungkin aku lebih berani
Bukan dalam diam saja sepenuhnya aku
ITULAH LIRIK Dalam Diam, salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Sal Priadi saat menutup Pesta Literasi Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (3/9) malam lalu.
Sebelum menyanyikannya, Sal bercerita kepada parapengunjung yang memadati ruang Teater Wahyu Sihombing, jika lagu tersebut ia tulis untuk seseorang yang pernah seperti dirinya.
Dalam Diam ia tulis untuk seseorang yang sedang merasa jatuh cinta tapi tak sanggup—menyampaikan perasaan cintanya tersebut kepada orang yang ia sukai. Begitulah kira-kira katanya.
Saat lagu tersebut mengalun, apa yang disampaikan Sal melalui musiknya, bagi saya seolah adalah perasaan yang tengah dirasakan Ari (Aristotle Mendoza), seorang remaja Mexico-Amerika berusia 15 tahun, tokoh utama dalam novel karangan Benjamin Alire Saenz ini.
Di usianya yang masih remaja, Ari gamang akan perasaan kepada karib sebayanya, Dante Quintana. Ia mencintai Dante, namun karena ia adalah anak laki-laki keturunan Mexico dan tinggal di Austin, Texas pada 1987, maka ia merasa bahwa perasaan yang ia miliki kepada sahabatnya itu—yang kebetulan sama-sama lelaki, salah dan memalukan. Butuh 384 halaman, dua musim panas, dua kecelakaan yang parah agar Ari bisa berterus terang mengakui perasaannya kepada Dante.
Jika kita bercermin dalam konteks lokal, apa yang dirasakan Ari mungkin sama dengan apa yang dirasakan (katakanlah) Slamet, seorang kawan saya, remaja 15 tahun asal Probolinggo, Jawa Timur. Saat Slamet yang masih duduk di bangku SMA tersebut memiliki perasaan spesial kepada Agus, sahabat dan seniornya yang berprofesi sebagai polisi, ia merasa malu dan harus mati-matian mengubur perasaannya itu. Hal ini sungguh tidak patut, dalam bayangan Slamet.
Perasaan bersalah seperti itu adalah perasaan yang tidak bisa dihindari ketika Slamet hidup dalam masyarakat yang heteronormatif, yang terbiasa menormalisasi doktrin-doktrin agama, dan begitu jauh dari keterpaparan ilmu-ilmu gender. Lebih lanjut, Slamet sangat mungkin membenci dirinya sendiri dan orang lain yang seperti dirinya, serta mengalami depresi sebagaimana yang dialami Ari.
Di sisi lain, bagi saya novel ini menjadi semacam jawaban, ketika dalam suatu perbincangan, kawan saya—kebetulan memang laki-laki cis yang merasa heteroseksual, bertanya: “Mengapa cowok “normal”, dia menikah, tiba-tiba bisa menjadi gay?” Sebenarnya saya dapat saja dengan mudah menjawabnya kembali dengan sebuah pertanyaan: “Apakah cowok yang menikah bisa selalu dipastikan “normal”?”
Tetapi, dengan memintanya membaca karya Saenz ini, Aristotle dan Dante seolah bisa menjadi sepasang mata kunci yang dapat membuka pemahaman kawan saya tersebut untuk bersikap hati-hati dengan pertanyaan dan pernyataannya. Apalagi pernyataan mengenai normalitas manusia.
Ya, sebelum kita mengalami ragam pengalaman seksualitas, sebaiknya kita sedikit menunda pembenaran bahwa kita benar-benar cis-heteroseksual. Sebab bisa jadi, jangan-jangan karena performatifitas, hanya sekadar kesepakatan komunal mengenai hal-hal wajar dan tidak wajar untuk dilakukan sebagaimana yang saya sebut di atas. Atau, karena kosarasa tersebut jauh dari lingkup semesta yang biasa kita hidupi, kita jadi meniadakan dan mematikan perasaan tersebut.
Bagi saya, sungguh sangat disayangkan jika novel pertama Aristotle and Dante Dive into the Waters of the World (2021) yang meraih banyak penghargaan ini, di antaranya: Stonewall Book Award, Printz Honor Book dan finalis Amelia Elizabeth Walden Award, baru bisa dibaca pembaca Indonesia setelah 10 tahun berselang. Penyesalan tersebut saya rasakan karena dua hal. Pertama, karena isunya sebagaimana yang telah saya bahas di atas. Dan kedua, karena teknik penulisannya yang juga nyeleneh (baca: queer).
Mengapa? Sebab dalam banyak kursus penulisan prosa yang ada di Indonesia, saya merasa seperti ada larangan jamak memulai prosa dengan dialog atau banyak-banyak menggunakan dialog pada karya yang tengah kita tulis. Apalagi, jika dialog tersebut berpotensi membingungkan pembaca.
Nyatanya, hal tersebut bagi saya justru bisa menjadi kekuatan novel ini meski (tak menutup kemungkinan) saya juga lihat banyak pembaca Indonesia yang menilainya sebagai kekurangan novel ini. Bahkan, dalam platform komunitas pembaca ada yang terang-terangan mengatakan bahwa novel ini tidak memiliki plot cerita yang jelas karena kebingungannya membaca atau menentukan suara siapa yang saat itu tengah dibaca dialognya.
Aristotle and Dante adalah novel yang penuh percakapan spontan di tengah-tengah liburan musim panas. Ari dan Dante membahas berbagai topik secara unik dan acak. Begitu cair. Hal inilah yang saya rasa membuat pembaca yang tidak terbiasa membaca prosa yang memuat percakapan-percakapan acak merasa kebingungan mengenai plot.
Ari dan Dante berbicara ngalor-ngidul mengenai hobi, kebiasaan yang mereka lakukan dan yang tidak boleh mereka lakukan di rumah. Tentang ayah mereka dan tentang seberapa penting makna kejantanan bagi masyarakat keturunan Mexico-Amerika seperti mereka. Juga tentang minat Dante pada puisi dan melukis, serta betapa emosionalnya Dante pada isu-isu terkait lingkungan.
Percakapan acak semacam di atas, bagi saya adalah hal lumrah dan umum. Menyajikan realitas obrolan keseharian. Malah, lebih istimewanya lagi, dalam obrolan tersebut, Saenz sepertinya memang secara sengaja menempatkan pembaca ke dalam perspektif Ari, remaja yang tengah dilanda krisis identitas, yang ngeselin.
Ya, meskipun tidak semua remaja mengalami stres akibat tumbukan isu identitas sebagaimana yang dialami Ari, POV yang dipilih Saenz tersebut adalah hal yang terbaik. Sebab, sebagai “aku”, Ari selalu menjelaskan segala hal yang baik tentang Dante, namun tidak tentang dirinya sendiri. Ia mengubur dirinya (baca: hasratnya) rapat-rapat ke dalam peti. Betapa relate dan khasnya hal tersebut dengan kenyataan.
Tahun ini, novel yang edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Wawan Kurniawan tersebut, telah dialihwahanakan oleh sutradara kelahiran Florida Aitch Alberto, menjadi film. Film berjudul sama dengan novel tersebut mendapatkan apresiasi yang baik di Toronto Film Festival dan rilis bagi publik pada 9 September 2023 lalu. Ya, semoga saja kita tak perlu menunggu 10 tahun lagi untuk melihat visualisasi Ari dan Dante dalam film![T]
Jakarta, 8 September 2023