SEJAK PUKUL 6 pagi, nyaris setiap hari, Bu Azkiya—sebagaimana ia akrab dipanggil—sudah menyiapkan dagangan di warung makan miliknya. Perempuan dengan nama lengkap Azkiyatun Nisa’ itu, mendirikan warung di Jalan Pulau Madura Denpasar sejak Januari 2018. Warung kecil, khas warung makan sekaligus kopi di pinggiran kota urban, berdiri tepat di depan markas Minikino, organisasi festival film pendek dengan jaringan kerja internasional.
Sebagaimana lazimnya sebuah warung, Warung Azkiya juga banyak menawarkan menu makanan dan minuman. Ada lalapan ayam, lele, soto, mie instan, kopi, teh, dan minuman rasa-rasa, seperti kantin zaman sekolah dulu. Tentu saja ada cemilan, kerupuk, rokok, air mineral, sebagai pelengkapnya. Ada juga meja dan kursi—meski tentu bukan arti yang sesungguhnya.
“Warung saya berdiri di sini setahun sebelum Minikino pindah ke MASH di depan itu,” ujar Bu Azkiya, sambil mencuci alat-alat dapurnya, kepada tatkala.co, Senin (18/9/2023) malam.
Reporter tatkala.co foto bersama Bu Azkiya / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
Bu Azkiya bercerita, sebelum merantau ke Bali, pada awal tahun 2000-an ia sempat bekerja di Arab Saudi selama delapan tahun. Itu bukan waktu yang sebentar bagi orang yang tidak bisa bahasa asing. “Bisa bahasa Arab, sedikit-sedikit,” katanya.
Dulu ia adalah seorang penjahit yang cukup ahli. Berbagai jenis sandang pernah ia bikin. Namun, menjahit ternyata membuatnya jenuh. Ia ingin, seperti katanya, “bekerja dengan rileks, tanpa tekanan dan tengat waktu”. Oleh sebab itulah, ia memutuskan untuk membuka warung makan dan kopi kecil-kecilan dengan pikiran waktu kerjanya lebih fleksibel. Padahal, dan ini yang menarik, awalnya ia tak banyak menguasai resep masakan Indonesia.
Sejak ada MASH Denpasar—tempat anak-anak Minikino bekerja—di Jalan Pulau Madura, Bu Azkiya mengaku, warungnya seperti ketiban berkah, semacam mendapatkan momentum kebangkitan. Sebab, sebelum berinteraksi, berkenalan, lalu akrab—bahkan akrab sekali—dengan anak-anak Minikino, Warung Azkiya tak ada bedanya dengan warung-warung “pinggiran” pada umumnya. Namun, saat ini, Warung Azkiya telah menjelma menjadi semacam tempat yang sama pentingnya dengan ruang kerja Minikino.
Beberapa undangan Minikino Film Week 2023 sedang ngobrol di Warung Azkiya / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
Lantas, apa yang menjadikannya istimewa? Apakah karena kopinya yang hitam, keras, kental, dan terkesan jalanan? Kelihatannya. Apakah karena mereka yang datang makan dan ngopi adalah anak-anak muda dengan semangat berkarya yang menggebu? Mungkin. Tapi hal pertama yang membuat Warung Azkiya menjadi istimewa adalah sikap pemiliknya—Bu Azkiya—yang ranah, suka bercanda, mudah akrab, dan sangat keibuan. Ah, bagi beberapa anak Minikino, itu bahkan bukan warung. Itu rumah!
“Anak-anak Minikino itu baik-baik sekali. Mereka sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Ibu dibantu banyak hal. Banner-banner itu mereka yang bikin. Terus itu… apa itu… pembayaran digital itu, mereka juga yang bikin. Ibu mana tahu yang begitu-begituan,” terangnya, dengan logat Madura yang khas.
Warung Azkiya semakin meriah saat Minikino Film Week Bali International Short Film Festival diselenggarakan. Festival film pendek yang diselenggarakan sekali dalam setahun itu menjadi berkah tersendiri bagi Bu Azkiya. Seperti tahun ini, misalnya, berkat adanya Minikino Film Week yang berlangsung dari tanggal 15-23 September 2023, Warung Azkiya harus siap sibuk melayani para tamu undangan yang menghadiri festival tersebut. Para tamu yang hadir, khsusnya di MASH Denpasar, nyaris semuanya pernah berbelanja di Warung Azkiya.
“Pas baru pertama ada festival itu, saya buka sampai jam 1 malam, Mas, saking ramenya orang belanja,” ujarnya.
Sekadar informasi, Minikino Film Week tak hanya dihadiri oleh pelaku film tanah air, tapi juga luar negeri—dan ini yang membedakan Warung Azkiya dengan warung-warung pada umumnya. Ya, jangan salah, meski bentuk fisiknya nyaris seperti tempat nongkrong para blandongan, pembeli yang makan dan minum di sana kebanyakan bukan orang sembarangan. Mereka adalah sutradara, produser, programer film, dari dalam dan luar negeri. Warung Azkiya telah naik kelas.
“Banyak orang luar negeri yang makan dan minum di sini. Kadang ibu dikasih uang tip,” ungkapnya, senang.
Warung Azkiya merupakan fenomena urban. Tampilan bangunannya yang sederhana dan segmen pasarnya yang membidik kelompok ekonomi bawah kerap mengaburkan status sosial pemiliknya.
Meski memulai bisnis dari bawah, banyak pemilik warung seperti Bu Azkiya yang kemudian berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya di kampung halaman. Kerja keras, keuletan, dan tahan banting adalah sebagian kuncinya.
Dan sejak awal mula kehadirannya, DNA warung seperti Azkiya adalah juru selamat bagi mereka yang ingin kenyang, makan dengan lauk layak, tapi tetap bisa hemat. Maka tak heran, kalau dari warung seperti ini ada banyak cerita kebaikan.
Tempat Diplomasi Informal
Seperti yang dikatakan oleh pihak penyelenggara, Minikino Film Week merupakan tempat bertemunya pelaku industri film dari dalam dan luar negeri. Banyak pelaku film yang datang ke festival tersebut dengan niat, selain belajar dan berburu film dan sosialisasi, juga berusaha mengakses jaringan yang lebih luas.
Maka jangan heran jika berkunjung ke MASH Denpasar, misalnya, Anda akan melihat orang-orang pada ngobrol di mana-mana. Ada yang di dalam ruangan dengan meja, kursi, laptop, dan kopi ala kafe; ada pula yang tak keberatan ngelesot di trotoar pinggir jalan yang ramai kendaraan.
Para pelaku industri film sedang bertemu dan ngobrol di depan MASH Denpasar / Foto: Dok. Jaswan, tatkala.co
Dan jangan lupakan satu tempat lagi: Warung Azkiya. Di meja dan bangku panjangnya, tak sedikit pemikiran lahir, masalah terpecahkan, dan diplomasi mencapai titik kesepakatan. Kalau sudah begitu, Warung Azkiya menjelma menjadi ruang rapat, diplomasi, diskusi, dan tempat selfi. Tak jarang pula kegiatan-kegiatan itu terjadi secara bersamaan. Uniknya, semua itu dilakukan dengan cara informal.
“Yang bergerombol dan saling ngobrol itu biasanya filmmaker. Dan tak jarang kesepakatan justru lahir dari situ, bukan di ruangan resmi,” terang I Made Suarbawa, Direktur Traveling Cinema Minikino Film Week.
Tampaknya orang-orang yang hadir di Minikino Film Week memang lebih suka sesuatu yang santai, fleksibel, informal. Pertemuan formal dan penuh protokoler kadang memang menjenuhkan dan terkesan kaku. Maka, tak jarang keputusan-keputusan penting justru lahir dari ruang-ruang informal seperti warung kopi, misalnya.
Sekadar contoh, sejak sebelum pendirian ASEAN lewat sebuah akta singkat pada 8 Agustus 1967, diplomasi di Asia Tenggara telah menunjukkan warna unik: penggunaan diplomasi informal. Pakar sejarah diplomasi dan sejarah regional Asia Tenggara dari Universitas Indonesia, Linda Sunarti, sempat mengungkapkan bahwa porsi penting negosiasi di Asia Tenggara sepanjang sejarahnya seringkali direbus di “kedai-kedai sambil duduk minum kopi”.
Pernyataan itu merujuk pada negosiasi-negosiasi informal—seringkali dilakukan secara rahasia—yang terjadi sebelum adanya sebuah perundingan formal. Dengan demikian, poin-poin perundingan telah disepakati sebelumnya sehingga pertemuan formal yang terjadi sesudahnya hanya merupakan pemukul gong dari butir-butir yang secara serius akan dikerjakan pihak-pihak dalam perundingan—mengingat kesepakatan pribadi yang sudah terbangun sebelumnya. Ini adalah kenyataan corak diplomasi yang terjadi di Asia Tenggara pada dekade 1960-an.
Sebagai ruang pertemuan bagi semua orang, disadari atau tidak, Warung Azkiya memiliki peran yang lumayan terhadap perhelatan ini. Dan terlepas dari itu semua, secara tidak langsung, barangkali Warung Azkiya memang bagian, sekali lagi, “penting”—dari sisi yang lain—Minikino Film Week Bali International Short Film Festival.
Akhirnya, tak hanya tentang makanan dan minuman apa yang ditawarkan, tapi tentang bagaimana sebuah tempat, dapat mempertemukan kita semua. Itu.[T]
Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana