BANYAK yang beranggapan barangkali “diskusi” memang bukan menjadi nama tengah Singaraja. Di kota yang terletak di Bali bagian utara ini, meski terdapat beberapa perguruan tinggi, nyatanya ruang diskusi jumlahnya tak lebih banyak dari jari tangan manusia.
Dari sedikitnya ruang diskusi serius, selain di Rumah Belajar Komunitas Mahima tentu saja, Kedai Kopi DeKakiang bisa jadi salah satu ruang penawar dahaga orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Kedai kopi yang terletak di Jl. Sedap Malam, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, itu memang tercatat beberapa kali menjadi ruang diskusi serius—tapi asyik—tentang banyak hal.
Selain tempatnya yang representatif: luas, sederhana, dengan menu yang tak sampai menguras gaji bulanan, pemiliknya juga pintar membangun dan memelihara relasi.
Barangkali itulah asalan kenapa kolaborator penyelenggara Minikino Film Week memilih kedai kopi tersebut menjadi salah satu venue untuk memutar beberapa film pendek yang terpilih.
Minikino Film Week 9 diselenggarakan dari tanggal 15 sampai 23 September 2023 di 14 tempat di Bali, termasuk Kedai Kopi DeKakiang di Singaraja. Maka tak heran, jauh sebelum hari pemutaran film dilaksanakan, di beberapa sudut kedai kopi tersebut, terdapat beberapa poster dan banner panjang yang dipasang sebagai bahan penunjang informasi.
Bekerja sama dengan Singaraja Menonton, sebuah platform yang menyediakan informasi seputar screening, workshop, dan festival film, Minikino Film Week di Singaraja diselenggarakan pada 16-17 September kemarin dari pukul 18.30 sampai 22.00 Wita.
Suasana Kedai Kopi DeKakiang saat Minikino Film Week berlangsung / Foto: Dok. Bayu
“Ada empat program yang diputar di Singaraja. Program Jolly, Surprise!, Toronto Reel Asian, dan Mother! Dari keempat program tersebut, terdapat 24 film pendek dari berbagai negara,” jelas Kardian Narayana, Founder Singaraja Menonton.
Dalam Program Jolly terdapat tujuh film pendek: 11 (2022) karya Vuk Jevremovic dari Jerman; Spirit of the Fores (2022) karya Nandini Rao dari India; On the Other Side of the Mountain (2022) karya Yosman Serrano Lindarte dari Kolombia; Letters from the Edge of the Forest (2022) karya Jelena Oroz dari Kroasia; Luce and the Rock (2022) karya Britt Raes dari Belgia; Svetla (Lights) (2023) karya Jitka Nemikinsova dari Czech Republic; dan I’m not Afraid! (2022) dari Marita Mayer dari Jerman.
Semua film dalam program tersebut mengangkat tema tentang pengalaman filosofis dan petualangan yang berkaitan dengan alam: hutan, gunung, dan laut. Film Spirit of the Fores, misalnya, bercerita tentang pengalaman dan kesadaran seorang anak dalam memahami bagaimana pentingnya sebutir biji pohon terhadap berlangsungnya kehidupan mahluk di bumi. Film pendek ini mengingatkan kita pada film animasi—sebagaimana genre Spirit of the Fores—The Lorax (2012) karya Chirs Renaud.
Atau film On the Other Side of the Mountain, yang bercerita tentang kekonyolan dua orang anak kecil yang melakukan perjalanan jauh hanya untuk melihat laut secara nyata. Diceritakan, selama hidup, mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman empiris tentang laut. Bahkan mereka tidak tahu, apakah warna laut sama birunya dengan warna langit? Premis utama dalam film ini, meski dibalut dengan humor, sebenarnya memiliki muatan yang serius, yaitu masalah ekologi.
“Ada tiga tema yang saya tangkap dalam ketujuh film tersebut: soal ekologis, gotong royong (kolaborasi), dan filsafat—mempertannyakan eksistensi sebagai manusia,” ujar Altha Rivan, salah satu penonton yang hadir.
Sementara itu, dalam Program Surprise! terdapat enam film yang diputar: Ma Gueule (Facking Head) (2022) karya Gregory Carnoli dan Thibaut Wohifahrt dari Belgia; Kakak Jenggot (2022) karya Nur Falah Muzakkir dari Indonesia; Garek (2022) karya Cech Adrea dari Malaysia; At Little Wheelie Three Days Ago (2022) karya Andrew Stephen Lee dari United States; Safe as Houses (2022) karya Mia Mullarkey dari Irlandia; dan It’s You (2021) karya Yu WON dari Korea Selatan.
Sebagaimana nama programnya, keenam film pendek di atas memang menghadirkan kejutan-kejutan kepada penonton. Seperti Ma Gueule yang pemeran utamanya dituduh dan dicurigai sebagai seorang teroris, atau Kakak Jenggot yang bercerita tentang anak kecil dengan pikiran bahwa jenggot adalah penyebab seseorang menjadi teroris, atau It’s You yang memberi kejutan melalui absurditas dan membuat penonton mengutuk diri sendiri sebab tak paham apa yang sedang diperdebatkan oleh para pemerannya.
Kardian Narayana saat sedang memantik diskusi / Foto: Dok. Bayu
“Saya melihat, dalam film Ma Gueule, terdapat semacam Arabphobia dan trauma kolektif jangka panjang terhadap aksi terorisme di Eropa. Sebagai sebuah premis, tema ini sebenarnya sudah usang. Tapi, secara realitas, beberapa orang Eropa barangkali masih memiliki trauma itu,” terang Azman H. Bahbereh, kritikus film muda yang turut hadir dalam screening.
Dan seperti program sebelumnya, dalam Program Toronto Reel Asian juga terdapat enam film pendek yang semuanya dari Kanada: Dutar (2022) karya Roda Medhat; Perennials (2022) karya Hannah Polinski; In Silence, We Sing (2022) karya Vivian Li; Maya (2022) karya Samyukth Movva; Papaya (2022) karya Dede Chen; dan Once in a Reed Moon (2022) karya Yi Shi.
Keenam film tersebut mencoba menyampaikan cerita tentang diaspora orang-orang imigran di Kanada yang gelisah akan indentitas, kesepian, kesendirian, dan bagaimana menjadi seorang minoritas. Dari semua film tersebut, terdapat dua film experimental, yaitu Dutar dan Papaya. Sisanya bergenre fiksi. Dan yang menarik adalah, beberapa sutradara dari enam film tersebut, turut hadir meramaikan acara screening. Mereka datang langsung dari Kanada.
“Ini kunjungan kami yang pertama di Indonesia dan di Bali. Kami sangat berterima kasih kepada semuanya atas apresiasi film karya kami,” kata Dede Chen, sutradara film Papaya, sesaat setelah menjawab beberapa pertanyaan dari penonton.
Terakhir, dalam Program Mother! terdapat lima film pendek yang diputar: Sweet Summer (2021) karya Sabrina Mertens dari Jerman; File (2022) karya Sonia K. Hadad dari Iran; A Day That Year (2022) karya Stanley Xu dari Singapura; Aime (2022) karya Gillie Cinneri dan Anouk Ferreira da Silva dari Belgia; dan Your Way My Way (2022) karya Sharon Kleinberg dari Mexico.
Film-film dalam Program Mother! bercerita tentang hubungan kompleks antara ibu dan anak. File (2022) karya Sonia K. Hadad terpilih sebagai nominasi film terbaik dalam Festival Minikino Film Week 2023 kategori fiksi. Meski bercerita tentang hubungan antara ibu dan anak, menurut Azman, jika ditelisik lebih dalam, kita akan menemukan sesuatu yang lebih daripada itu.
“Saya melihat film File justru bukan hanya sekadar hubungan antara ibu dan anak, lebih dari itu, sutradara mengajak kita untuk melihat dan mempertanyakan kebenaran dari berbagai sudut pandang—dan itu memang ciri khas sineas-sineas dari Iran,” terangnya.
Sedangkan, film Aime (2022) karya Gillie Cinneri dan Anouk Ferreira da Silva memiliki gaya bercerita, khususnya di ending, seperti dalam cerpen-cerpen Anton Chekhov—selain meng-“KO”-kan, ia juga bisa membuat kita tersenyum simpul dan senang. Lega. Tanpa beban, tapi membuat penasaran, juga mengejutkan, lalu berkata, “Oh, sialan. Ternyata begitu ceritanya.”
Sementara itu, tanggapan juga datang dari seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja, Rusdi Ulumudin. Menurutnya, film-film dalam Program Mother! merupakan kritik kepada orang tua yang melakukan atau memperlihatkan perbuatan negatif di depan anak-anak mereka. “Dan itulah yang menyebabkan anak-anak di beberapa film melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan dan diajarkan oleh ibu mereka,” jelasnya.
Keempat program tersebut diputar dalam dua malam secara kontinu. Artinya, satu malam diputar dua program. Malam pertama film-film dari Program Jolly dan Surprise yang diputar lebih dulu, Sabtu (16/9/2023). Sedangkan film dalam Program Toronto dan Mother diputar di malam berikutnya, Minggu (17/9/2033).
Hidupnya Ruang Kolaboratif
Pada malam itu, Kedai Kopi DeKakiang menjadi pusat perhatian. Orang-orang ke sana tak lagi hanya sekadar ingin nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul, tapi juga menikmati film-film pendek yang diputar dan didiskusikan. Selama dua malam, DeKakiang seolah menjelma menjadi Le Procope di Paris pada abad ke-18.
Layaknya Le Procope—kedai kopi milik orang Italia bernama Francesco Procopio Dei Coltelli yang menjadi tempat berbagi informasi pencerahan kalangan intelektual dan seniman Paris seperti JJ Rousseau, Diderot, Voltaire, dan Pirot, sampai menghasilkan Revolusi Prancis—DeKakiang juga menjadi ruang tukar informasi dan pemikiran, meski dengan bobot yang berbeda tentu saja, tentang tafsir, kritik, hingga ekosistem film di Bali.
Diskusi yang dipantik oleh Kardian Narayana, wartawan sekaligus programer film Indonesia Raja; Dian Suryantini, wartawan cum sutradara film; dan Azman H. Bahbereh, selaku kritikus film muda dari Singaraja itu, membuat Minikino Film Week 9 semakin hidup dan meriah: luber akan tafsir dan argumen mengenai film yang diputar.
Dian Suryantini, selaku sutradara yang memulai debutnya dengan dua film pendek: Renjana dan AIR, mengaku senang dengan kegiatan tersebut. “Kegiatan ini merupakan tempat belajar bagi saya. Dari film-film yang diputar, sebagai sutradara yang masih baru, saya banyak mendapatkan inspirasi dan pelajaran yang sangat berharga,” ujarnya.
Azman H. Bahbereh dan Dian Suryantini sedang memantik diskusi / Foto: Dok. Bayu
Hadirnya Minikino Film Week 9 di Singaraja, disadari atau tidak, telah menghidupkan ruang-ruang kolaborasi antarkomunitas. Hal ini dibuktikan dengan terlibatnya komunitas seperti Singaraja Menonton (sebagai pihak kolaborator Minikino) dan Komunitas Omah Laras Singaraja—yang mengadakan workshop sablon cukil terlebih dahulu sebelum acara screening film dimulai.
Menurut Kardian Narayana, kolaborasi tersebut sebagai bentuk solidaritas antarkomunitas yang ada di Singaraja. Ia ingin bergerak bersama-sama dan membuktikan kepada siapa pun bahwa film bisa terhubung dengan banyak hal; dengan kopi, tongkrongan, bahkan fashion: sablon. Melalui screening film, banyak orang dari latar belakang yang berbeda juga dapat duduk bersama. Jadi, selain menghubungkan, juga menyatukan.
“Saya ingin mendekatkan film pendek kepada teman-teman yang mungkin masih awam soal itu. Okelah semua orang tahu soal film panjang di banyak platform, tapi kalau film pendek kan kebanyakan hanya bisa ditonton melalui festival. Meski di YouTube ada sebenarnya, tapi lebih seru kalau nonton bareng-barenglah,” imbuhnya.
Selain itu, wartawan Kompas TV itu mengaku bahwa dirinya ingin orang-orang datang ke Buleleng. Menurutnya, ini kesempatan bagus untuk menumbuhkan ekonomi kreatif, jika saja pemerintah peka akan hal tersebut. Selama ini, ketika berbicara ekonomi kreatif, pemerintah belum menyentuh ruang-ruang kolaboratif semacam ini.
“Ruang kolaboratif itu saling menghidupkan,” ujar Kardian.
Sebagai kota yang pernah menjadi pusat segala hal di Bali dan NTB, Singaraja memang memerlukan lebih banyak ruang-ruang kolaborasi. Bukan saja soal film, tapi juga ekonomi, sastra, politik, filsafat, sejarah, agama, sains, dan ilmu pengetahuan secara umum. Memperbanyak pusat perbelanjaan dan hiburan profan tanpa diimbangi dengan usaha untuk menumbuhkan ruang-ruang diskusi atau wacana, ide, gagasan yang serius—tapi asyik—hanya akan menjadikan Singaraja sebagai kota yang “membosankan”.
Semoga, dengan adanya Minikino Film Week selama dua malam kemarin, menjadi pemantik kesadaran bersama akan pentingnya ruang-ruang kolaborasi antarkomunitas di Singaraja.[T]
Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana