DARI BANYUNING sampai Air Sanih itu tidak dekat, sekitar 15 kilometer. Kira-kira butuh waktu sekitar 28 menit menggunakan sepeda motor dan 3 jam lebih jika ditempuh jalan kaki atau lari-lari kecil. Namun, jika orang pada umumnya pasti lebih memilih menggunakan motor, lain dengan Agus, ia memilih lari. Sebab, lari memang bagus untuk pernapasan seorang atlet tinju.
“Itu latihan yang diberikan bapak kepada saya. Bahkan kadang dari Banyuning sampai Penimbangan,” kata Agus.
Agus merupakan seorang atlet tinju yang lahir dari keluarga atlet. Kakek dan bapaknya sama-sama petinju—bapaknya bahkan pernah beberapa kali bertanding di luar negeri. Sedangkanya ibunya merupakan seorang atlet renang.
Tetapi, ini bukan tentang Agus atau yang lain, ini tentang bapaknya yang bernama Gede Rimbawa, seorang atlet tinju legendaris dari Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.
Pak Bawa, sebagaimana ia akrab dipanggil, lahir di Banyuning, 21 Juni 1966. Lelaki paruh baya yang kini tinggal di Jl. Pulau Menjangan samping lampu merah Banyuning itu, dulu adalah seorang atlet tinju pilih tanding—meski jika dilihat dari fisiknya, ia lebih cocok sebagai atlet lari. Benar. Tubuhnya tinggi dan berat badannya tak sampai 60 kg. Namun, untuk menjadi atlet tinju, fisik bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi, tapi juga skill dan mental, tentu saja.
Jauh sebelum menjadi atlet, Pak Bawa mulai tertarik berlatih tinju sejak ia dirundung di sekolahnya di SDN 1 Banyuning (waktu itu ia masih kelas 3). Ia mengaku pernah dikeroyok enam orang. Wajar, katanya, ia murid pindahan dari Lombok. “Mungkin karena saya murid baru,” jelasnya kepada tatkala.co saat dikunjungi di kediamannya, Senin (11/9/2023) sore.
Gede Rimbawa berpose dengan sarung tinju dan beberapa medali yang diraihnya / Foto: Dok. Jas
Atlet yang sudah berkepala dua itu, sebelum belajar tinju, ia pernah belajar silat dengan pamannya di Lombok. “Tapi bapak yang mengajarkan tinju kepada saya,” ujarnya, tegas. Ya, bapaknya juga seorang atlet tinju tahun 60an.
Seperti dalam film Dangal (2016)—film India yang mengisahkan perjuangan seorang ayah bernama Mahavir Singh Phogat (Aamir Khan), pegulat senior India, dalam melatih anak perempuannya Geeta Phogat (Fatima Sana Shaikh) menjadi atlet gulat dan memenangkan medali pertama India di Commonwealth Games 2010—Pak Bawa juga mendapatkan latihan yang serius dari bapaknya. Sepulang sekolah, ia harus lari keliling Banyuning, setiap hari.
“Latihan tinju itu berat, sakit. Tapi menyenangkan,” katanya.
Pak Bawa memulai kariernya sebagai petinju amatir junior pada tahun 70an. Di bawah bimbingan bapaknya, beberapa kali ia memenangkan pertandingan.
“Bapak saya memiliki motivasi yang sangat tinggi. Ketika saya kalah bertanding, ia akan lebih giat melatih saya. Bahkan, bapak selalu mencernati calon lawan-lawan saya. Itu dilakukannya untuk mengetahui kelemahan lawan,” terangnya menggebu-gebu.
Bapaknya tidak main-main. Ia mau anak laki-lakinya menjadi atlet tinju yang hebat. Maka dari itu, selain latihan fisik, mental, dan teknik, ia juga memberi Pak Bawa vitamin seperti susu, telur, dan suplemen lainnya. Perlakuan tersebut membuat Pak Bawa semakin termotivasi untuk terus latihan.
Tak hanya bertanding di Buleleng, Pak Bawa juga diajak bapaknya untuk bertanding di daerah lain seperti Denpasar dan Jembrana. Bersama bapaknya ia kerab menempuh perjalanan jauh dan melelahkan.
“Dulu bapak punya sepeda motor. Itu yang kami pakai ke mana-mana, termasuk seleksi PON XI di Denpasar,” ujarnya.
Pada tahun 1982, Pak Bawa meraih juara 1 Tinju Kelas Terbang Madia se-Bali di Negara. Dan tiga tahun kemudian, ia meraih juara 2 dalam Kejuaraan Tinju Amatir Sarung Tinju Emas Nasional (STEN) X 1985 di Manado, Sulawesi Utara. Di tahun yang sama, ia meraih medali emas dalam Kejurnas Junior V di Jakarta untuk kelas 54 KG setelah menumbangkan 27 peserta, termasuk atlet dari Sumatera Utara dalam babak final. Ia menang angka.
Piagam penghargaan Gede Rimbawa saat mendapat juara 1 dalam Kejuaraan Antar Sasana se-Bali tahun 1982 / Foto: Dok. Jas
Saat bertanding di Probolinggo, Jawa Timur, sekitar tahun 80an, Pak Bawa pernah diteriaki dengan sebutan “Leak Bali. Leak Bali. Leak Bali” karena berhasil menumbangkan atlet tuan rumah kurang dari satu menit. “Dia KO. Sampai tak sadarkan diri. Dan kabarnya dilarikan ke rumah sakit,” jelas Pak Bawa sesaat setelah meneguk minuman isotoniknya.
Tak hanya bertanding di tingkat nasional, Pak Bawa juga pernah merasakan atmosfir ring internasional. Ia pernah bertanding di Thailand dan Rumania. “Pertandingan di luar negeri itu sangat keras. Kami harus benar-benar siap. Apalagi kalau bertemu sama orang Rusia,” ungkapnya.
Menurut Pak Bawa, atlet yang bertanding di internasional tentu bukan atlet sembarangan. Mereka adalah atlet yang sudah lolos seleksi dari sekian banyak atlet di negera masing-masing. Jadi, porsi latihannya pun berbeda dengan latihan saat menghadapi kejuaraan di daerah maupun nasional.
“Pertandingan yang paling berkesan bagi saya adalah saat di Thailand, Piala Raja, sekitar tahun 90an.”
Saat bertanding di Thailand, lawan terberat bagi Pak Bawa adalah atlet dari Uganda dan Kenya. Menurutnya, kualitas pukulan mereka sangat keras, lain dengan rata-rata atlet dari Indonesia. Padahal, dari ketahanan napas dan fisik, Indonesia tak kalah dari negara asal Robert Wangila—petinju dari Kenya yang membuat sejarah dengan menjadi orang Afrika pertama yang memenangkan medali emas Olimpiade ketika mengalahkan Laurent Bouduani dari Prancis di final—itu.
Selain pernah bertanding di Thailand, seperti yang sudah sempat disinggung di atas, Pak Bawa juga pernah bertanding, bahkan berlatih, di Rumania. Ia mengaku pernah berlatih selama lima bulan di sana. Dan berkat pengalaman berlatih selama di negara yang terletak di bagian utara Semenanjung Balkan itulah, Pak Bawa merasa percaya diri untuk melatih tinju di Buleleng.
Selama menjadi atlet, cedera terparah yang pernah didapatkan Pak Bawa hanya saat mengikuti kejuaraan di Denpasar. Waktu ia kepalanya sampai bocor, berdarah, terkena gigi lawan. “Pelindung giginya dia terlepas. Ini bekas jahitannya masih ada,” katanya sambil meraba kepalanya, mencoba meyakinkan.
Gede Rimbawa saat menerima penghargaan dari KONI Buleleng / Foto: Dok. Rimbawa
Saat ini, Pak Bawa masih aktif melatih tinju di sasana miliknya, Sasana Panca Satria Boxing Camp, namanya. Sasana yang terletak di Desa Banyuning, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, itu, sudah mencetak beberapa atlet tinju, termasuk anaknya sendiri.
Dan pada momen peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2023, KONI Buleleng memberikan penghargaan kepada Pak Bawa, Jumat (8/9/2023). Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi dan pengabdiannya di dunia tinju selama ini. “Saya sangat senang, karena pemerintah masih mengingat kami. Saya memberi dua jempol,” ucapnya, penuh haru.
Pak Bawa, selain sebagai seorang petinju dan pelatih, ia juga orang tua. Sebagai orang tua, ia berharap bakatnya, dunianya, bisa diteruskan oleh anaknya—atau setidaknya anak-anak yang berlatih tinju di sasana miliknya.
Masa Depan Tinju
Mengobrol tentang keadaan tinju di Indonesia saat ini. Menurut Pak Bawa, dibandingkan dengan periode 1970-1980an, popularitas tinju kini telah jauh menurun. Pada masa itu kompetisi tingkat nasional bisa diadakan hingga belasan kali per tahun, dengan penyelenggara bermacam-macam, mulai dari pemerintah hingga Komando Daerah Militer atau Kodam.
Sekarang, petinju Indonesia banyak yang bergantung pada undangan bertanding dari luar negeri. Promotor juga tinggal sedikit. Dari 78 promotor Indonesia yang tercatat dalam database situs Boxrec.com, saat ini hanya 17 yang aktif.
Benar, 80an seperti tahun emas olahraga tinju. Nama bintang seperti Mike Tyson bisa lebih terkenal daripada presiden suatu negara. Apalagi setelah hook kiri Mike tepat menghantam rahang Trevor Berbick dalam laga perebutan gelar juara tinju kelas berat WBC yang berlangsung di Las Vegas. Hook kiri itu amat bertenaga dan membuat Berbick ambruk tiga kali dalam waktu berdekatan.
Di Indonesia, saat ini tinju tak sepopuler bulu tangkis, voli, atau sepak bola. Berbeda dengan era petinju legendaris Ellyas Pical tahun 1980an. Dilansir dari Harian Kompas, pada saat Ellyas meraih sabuk juara dunia IBF Super Flyweight, yel-yel “Hidup Ely, Viva Ely, Ely manise!” bergemuruh di lokasi pertarungan yang dihadiri sekitar 12.000 penonton. Sekarang, cabang olahraga tinju di Indonesia bisa dibilang meredup.
Persatuan Tinju Seluruh Indonesia (Pertina) pada 2018 mengaku tak ada lagi petinju-petinju yang menjadi ikon yang mampu mempertahankan prestasinya seperti Syamsul Anwar atau Cris John.
Menurut pengamat tinju Hengky Sitalang, saat ini karena kurangnya pembinaan membuat cabor tinju seolah turun pamor. Program pembinaan yang digalakkan oleh Pertina juga diakuinya membutuhkan waktu.
Sedangkan menurut Pak Bawa, jika kondisi ini tidak segera ditangani, maka kita tidak akan memiliki atlet yang bagus. Ia menambahkan, tak hanya pembinaan, kemajuan olahraga tinju juga memerlukan perhatian khusus dari pemerintah melalui dana. Sebab menurutnya, sejauh ini pemerintah tak sepenuhnya serius memberikan perhatiannya.
Dan Martines dos Santos, pengamat tinju Indonesia dan mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina), dilansir dari Tirto.id, menyatakan bahwa dana, sarana, dan prasarana adalah faktor terpenting untuk menciptakan para petinju hebat. Menurut dia, sekalipun melibatkan pelatih-pelatih yang mumpuni, tanpa ketiga hal itu pembinaan akan sukar sekali.
Di tengah meredupnya tinju, cabang olahraga lain yang sama-sama bertanding di atas ring, tarung bebas atau MMA, justru seolah sedang menemukan momentumnya. Acara MMA di televisi memang cukup digemari. Pada 2017, One Pride—kompetisi MMA yang ditayangkan tvOne—mendapat penghargaan Panasonic Gobel sebagai program pertandingan olahraga terfavorit. Ia mengalahkan acara olahraga yang sudah terlebih dulu mapan, semisal GoJek Traveloka dan Piala Presiden (sepakbola), dan BCA Indonesia Open dari bulu tangkis.
“Rating One Pride cukup tinggi untuk acara olahraga,” kata Ardi Bakrie, Presiden Komisaris PT. VIVA Media Baru dan pendiri Komite Olahraga Beladiri Indonesia.
Maka, sampai di sini, apa yang ditulis oleh Nuran Wibisono bisa jadi benar, bahwa “Tinju adalah masa lalu, tarung bebas adalah masa depan.”[T]
Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana