HAMPIR seluruh kabupaten di Bali sedang berlomba membangun pasar tradisional bergayakan gedung bertingkat. Mengawali mulai dari kota Denpasar dengan pasar Badung-nya. Kemudian Buleleng dengan Pasar Banyuasri.
Disusul Kabupaten Gianyar dengan pasar Gianyar dan Pasar Seni Sukawati blok A,B,C kemudian Pasar Seni Ubud. Kabupaten Klungkung juga segara menyusul sedang tahap pembangunan, begitu juga Bangli dan Jembrana.
Hal ini merupakan program nasional semesta berencana, yang tujuannya untuk menjadi simpul ekonomi meningkatkan perputaran ekonomi masyarakat. Harapannya kesejahteraan masyarakat meningkat. Untuk itu pasar pun dibuat “megah dan mewah” dengan berbagai fasilitas.
Bahkan dalam catatan penulis, Pasar Badung dan Pasar Seni Sukawati diresmikan langsung oleh presiden RI Joko Widodo.
Namun pembangunan pasar dengan gaya mewah ini seperti kajian masa lalu yang dipaksakan untuk digunakan dizaman ini. Zaman dimana degital sebagai panglima ekonomi. Tak hanya dua atau tiga lantai dari atas sepi. Tak diminati pembeli dan ditinggalkan penjual. Yang hidup hanya dua lantai dari bawah.
Para pengkaji kebijakan kepala daerah tidak memberikan ruang terhadap perubahan sosial masyarakat. Dimana digital telah menjadi konsumi harian. Dan pasar dalam masyarakat modern ini bukan menjadi tempat rekreasi yang diimpikan seperti layaknya masyarakat zaman dulu. Tapi sebatas tempat transaksi lalu pulang tak lebih dari itu.
Dalam hal ini, Pasar Seni Sukawati cukup beruntung, mereka masih menjadi tempat transaksi sekaligus rekreasi. Sehingga pengunjung masih cukup ramai. Yang banyak berkunjung pun para wisatawan, hanya sebagian kecil masyarakat umum.
Sementara pedagang di pasar lainnya terseok bengong menunggu pembeli ditempat yang mewah. Begitu juga pasar sengol, yang tak punya tempat permanen, tapi rame. Karena mereka menjadi tempat rekreasi.
Pengkaji dan pengambil kebijakan harus segara menyenyuaikan diri dengan situasi saat ini. Sebab perubahan sosial ini jelas terlihat, bagaimana jasa ekspedisi belakangan ini makin menggeliat dan maju dengan berbagai sistemnya.
Bahkan beberapa minggu lalu kabarnya kurir ekspedisi kewalahan untuk mengirimkan barang yang dibeli masyarakat melalui sistem online dari berbagai platform media sosial dan e-commerce
Apakah pasar tradisional sudah ditinggalkan? Tidak.
Pasar tradisioanal yang berada di tempat sederhana tidak ditinggalkan. Merekalah yang justru memberikan ruang pada masyarakat degital. Hal ini terekam dari gaya masyarakat berbelanja di pasar dadakan pada sejumlah wilayah di Sukawati.
Dari atas motor mereka melihat-melihat, ketika ada barang yang diinginkan mereka langsung memarkir motor tak jauh dari itu, kemudian beli barang itu, langsung pulang. Sebab pasar-pasar tradisional tersebut menyediakan ruang efesien dan relevan.
Hal itu membuktikan pasar tradisioanal dengan bangunan megah tak relevan lagi dalam perkembangan masyarakat era ini. Perumus kebijakan perlu kembali memperhatikan perkembangan masyarakat dan perubahan sosial.
Mungkin jika kita berada pada situasi zaman dulu itu bisa jadi relevan namun untuk zaman sekarang harus dikaji ulang agar uang rakyat bisa dirasakan rakyat sepenuhnya.[T]