— Catatan Harian, Sugi Lanus, 8 September 2023.
Ada sahabat yang sedang belajar Hindu bertanya dua pertanyaan mendasar yang mungkin juga menjadi pertanyaan di benak masyarakat awam lainnya:
1). Apakah Hindu mengenal sedekah?
2). Apakah Hindu hanya menyumbang untuk ritual-upakara saja?
Dalam ajaran Hindu disebutkan bahwa bersedekah sersepuluhan atau sama dengan 10% dari penghasilan adalah rahasia agar rejeki yang kita dapatkan menjadi berkah dan membawa kita menuju kehidupan yang sejahtera.
Kitab Skandha Purāṇa menjelaskan 10% persen penghasilan umat Hindu dianjurkan untuk disedekahkan:
“nyāyopārjita vittasya daśhamānśhena dhīmataḥ, kartavyo viniyogaśhcha īśhvaraprityarthameva cha” [V.7]
“Dari harta yang kamu peroleh dengan cara yang halal, ambil sepersepuluhnya [10%], dan sebagai kewajiban, sedekahkan. Persembahkan amalmu dengan ikhlas pada-Nya.”
Dalam ajaran Hindu sebutkan bahwa sedekah atau berdana akan melapangkan jalan hidup kita, menghilangkan hambatan karma yang menghadang. Berdana adalah jalan untuk membuka pintu bagi datangnya kebajikan dan melindungi kita dari mara-bahaya.
Sama dengan keyakinan agama lain, dalam Hindu pun dipercaya dan dinyatakan bahwa sedekah yang kita berikan membuka jalan untuk rejeki yang lebih banyak datang di kemudian hari. Berdana tidak akan membuat seseorang jatuh miskin tapi sebaliknya akan membuat seseorang lebih hoki.
Yang dilarang dan bertentangan dengan ajaran berdana adalah prilaku berfoya-fota dan bermabuk-mabukan (mada). Foya-foya dan mabuk-mabukan adalah kebalikan dari kebajikan bersedekah/berdana. Jika orang yang tidak bersedekah dan bermabuk-mabukan, maka disebutkan prilaku ini akan melipatgandakan SAD RIPU dalam diri yang bersangkutan. Prilaku mabuk dan berfoya-foya, terlebih tanpa peduli lingkungan, apatis dan tidak bersedekah pada masyarakat miskin sekitar, akan melipatgandakan enam musuh yang ada dalam diri manusia (SAD RIPU), yaitu:
1). Kama, artinya keinginan, nafsu, hasrat, kepuasan dan kesenangan sendiri tanpa peduli sekitar,
2). Lobha, artinya tamak memperkaya dan semata-mata demi keuntungan sendiri tanpa peduli nasib orang lain,
3). Krodha, artinya kemarahan yang tidak terkendali dan mementingkan diri sendiri,
4). Moha; artinya bingung, kusut, tak ingat, menyasar, ngawur, membabi buta, tolol, kebodohan, kesesatan, dan kegilaan, akibat tidak ada lagi kejernihan,
5). Mada, artinya mabuk, gila, congkak, dan sombong, baik karena pikiran kalut dan juga karena minuman yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran diri,
6). Matsarya, artinya suka membenci dan irihati, yang muncul akibat berbagai tabiat tersebut di atas, dan kegelapan berpikir.
Bersedekah tidak hanya untuk upakara atau persembahyangan
Dalam Bab 17, Shloka 20, Bhagavad Gita disebutkan:
“dātavyam iti yad dānaṁ dīyate ‘nupakāriṇedeśhe kāle cha pātre cha tad dānaṁ sāttvikaṁ smṛitam”
“Sedekah (dāna) yang diberikan kepada orang yang layak dan dengan cara memberi yang tepat, tanpa mempertimbangkan imbalan apa pun, pada waktu dan tempat yang tepat, dinyatakan sebagai kebajikan (yang memberikan berlipat kebahagiaan bagi yang melakukannya)”.
Orang yang layak diberikan sedekah adalah target atau sasaran dari sedekah. Tujuan dari sedekah atau ‘dānaṁ’ adalah membantu orang lain untuk diringankan beban hidupnya. Meringankan beban orang atau membebaskan seseorang dari derita adalah tindakan mulia yang memberikan kebahagiaan pada sang pelaku.
Sedekah menurut kitab Hindu-Buddha Nusantara
Kitab lontar Sarasamuścaya yang ditulis di atas daun lontar dan sudah dikenal di era Majapahit, dalam sloka 261, 262, 263, disebutkan bagaimana sebaiknya rejeki atau penghasilan seorang penganut dharma dikelola. Sloka dari Kitab Sarasamuścaya isinya sejalan dengan isi lontar Kakawin Ramayana, sargah II bait 53, 34, yang mana disebutkan bahwa rejeki atau kekayaan kita hendaknya dibagi menjadi tiga porsi atau tiga bagian, sesuai kepentingan kita menegakkan dharma:
— 30% kekayaan atau rejeki kita untuk mendukung usaha kita menjalankan dharma atau kebajikan,
— 30 % rejeki kita untuk menjadi biaya kebutuhan harian keluarga dan rekreasi atau hobby lainnya,
— 40% untuk ditabung atau diputar sebagai modal dalam usaha yang sesuai dharma.
Kitab Sarasamuścaya lebih lanjut menjelaskan bagaimana secara tepat mengatur sedekah atau donasi kita ke masyarakat. Jika Anda cukup berada dianjurkan berdana pada desa, berupa pemberian lahan atau tanah untuk kepentingan desa, termasuk bisa menjadi pelaba atau aset desa. Jika Anda memiliki pengetahuan agama atau shastra suci, dianjurkan untuk berdana dalam bentuk “dana punia agama”, yaitu secara sukarela mengabdi kepada masyarakat untuk berbagi pengetahuan suci dan ilmu pengetahuan terapan lainnya yang membantu orang lain lebih berdaya dan mandiri. Pengetahuan shastra suci dibagi dan disebarkan dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budhi pekerti yang luhur. Sarasamuścaya menyebutkan jenis dāna lainnya adalah “dana punia drewya” yaitu dana bantuan untuk membantu masyarakat yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya.
Kitab lontar Wrhaspati Tattwa [26], menyebutkan seorang penganut ajaran Dharma wajib bersedekah. Ini akan membuat jalan Dharmanya menjadi terlengkapi. Syarat untuk menjalankan ajaran Dharma disebutkan: Sila (tingkah laku yang baik), Yadnya (pengorbanan suci), Tapa (pengendalian diri), Dāna (pemberian sedekah), Prawjya (menekuni ilmu pengetahuan suci), Diksa (penyucian diri secara spiritual), dan Yoga (melakukan disiplin untuk tetap terhubung dengan Hyang Widhi).
Sedekah menjamin kebahagiaan masa tua
Kitab suci Rigveda yang 1500 Sebelum Masehi sudah menjadi pedoman pemeluk Hindu Dharma menjelaskan bahwa orang yang tidak punya rasa belas kasih, yang tidak mau berbagi di masa mudanya, tidak berdana atau sedekah, hatinya akan mengeras di masa tua, dan tidak akan ada orang yang mampu menghiburnya di masa tuanya.
Di bawah ini adalah kutipan kitab suci RIGVEDA, X.117.
Para Dewa tidak menetapkan kelaparan sebagai kematian kita: bahkan bagi orang yang berkecukupan, kematiannya akan datang dalam berbagai bentuk,Kekayaan orang yang bermurah hati tidak akan pernah habis, sedangkan sebaliknya orang yang tidak bersedekah tidak akan mendapat kebahagiaan,
Orang yang mempunyai simpanan makanan, ketika melihat orang miskin datang dalam keadaan yang menyedihkan meminta makan untuk dimakan, mengeraskan hatinya (tidak peduli) terhadap orang yang mengemis tersebut, maka orang yang tidak peduli dan tidak memiliki belas kasih itu ketika di masa tuanya hatinya akan mengeras tidak ada seorang pun yang dapat menghiburnya.
Orang yang pemurah adalah orang yang memberi kepada pengemis yang datang kepadanya karena kekurangan makanan, dan orang yang lemah, Kemenangan akan menyertainya dalam sorak-sorai peperangan. Pahala sedekahnya akan menjadi temannya yang akan melindunginya dalam kesulitan-kesulitan yang akan datang,
Orang yang tidak bersedekah makanan kepada pengemis tidak akan memilliki seorang teman yang datang membantu ketika ia kesusahan.
Adalah sudah sepantasnya orang kaya bersedekah kepada pengemis yang miskin, dan mengarahkan pandangannya ke jalan yang lebih jauh,Kekayaan datang kepada seseorang, terkadang kepada orang lain, dan seperti roda kendaraan yang terus berputar,Orang bodoh mendapatkan makanan dengan kerja yang tidak berkah: makanan itu – sejujurnya – akan menjadi kehancurannya, Dia yang tidak berbagi rejeki kepada sahabat kepercayaannya, tidak akan dicintai oleh siapa pun. Pendosa adalah dia yang makan tanpa berbagi.
Jika kita garis bawahi wahyu dalam Rig Weda di atas, jelas disebutkan: Kebiasaan berdana atau bersedekah di masa muda akan melembutkan hati Anda. Hati yang lembut di masa muda akan membuat hati Anda lapang dan gembira di kemudian hari. Ketika Anda menolak bersedekah, Anda sedang membekukan hati Anda. Hati yang telah mengeras di masa muda sulit melunak di masa tua. Hati yang terus mengeras dan beku membuat masa tua Anda bermurung durjana.
Penelitian hubungan kebahagiaan dan sedekah (dāna)
Dalam sebuah penelitian tahun 2006, Jorge Moll dan rekannya di National Institutes of Health menemukan bahwa ketika seseorang menyumbang untuk amal, kedermawanannya ini mengaktifkan bagian otak yang terkait dengan kesenangan, hubungan sosial, dan juga kepercayaan.
Penelitian lain pada tahun 2008 yang dilakukan oleh profesor Harvard Business School Michael Norton dan rekannya menemukan bahwa bersedekah kepada orang lain lebih meningkatkan kebahagiaan orang yang bersedekah daripada membelanjakannya untuk diri mereka sendiri.
Kedua penelitian tersebut punya kesimpulan senada — terlepas Anda ateis atau menganut agama apapun — bahwa bersedekah meningkatkan kapasitas batin Anda untuk berbahagia. [T]
- BACA artikel dan esai lain dari penulis SUGI LANUS