RUMAH KEDIAMAN penyair dan pelukis Frans Nadjira di Jalan Tukad Badung Renon, Denpasar, Minggu, 3 September 2023, berbeda dari biasanya. Hari itu adalah hari istimewa bagi penyair yang sangat dihormati dan disegani oleh para penyair dan pelukis yang lebih muda di Bali.
Hari itu, Om Frans – begitu ia kerap disapa oleh penyair di Bali – genap berusia 81 tahun. Dan, pada hari ulang tahunnya yang ke-81 itu ia diajak senantiasa membicarakan puisi.
Perayaan hari istimewa itu dimeriahkan dengan pembahasan dan pembacaan puisi antologi “Mimpi Tak Usai” karya Dimas Hendratmo.
Dimas adalah penyair muda di Bali yang tak henti-henti belajar di dunia kesastraan. Ia bersama istrinya, Wini Arthini, aktif membina teater dan menjadi Lurah Jatijagat Kampung Puisi Bali di Renon Denpasar.
Hadir dalam acara itu antara lain penyair Wayan Jengki Sunarta, Landras, GM Sukawidana, Agung Bawantara, dan M. Satrio Welang sekaligus sebagai moderator.
Tampak juga sejumlah siswa yang bergabung dalam kelompok Teater Tahta.
Darma Putra (penulis), Frans Nadjira bersama istri tercintanya, Unda
Frans Nadjira bersama Unda, istri yang setia, menceritakan bagaimana dia menjadi penyair (dan pelukis) untuk memotivasi remaja rajin belajar, tekun bersekolah.
“Saya senang melihat kalau kalian bersekolah, jangan ikuti saya karena dulu tidak sempat sekolah,” kata Frans dengan dialek Bugis yang kental, kuat, dan memikat.
Diskusi dan baca puisi karya Dimas
Bersama Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira adalah mahaguru penyair Bali. Dimas pun dalam antologinya yang dibahas dan dibaca malam itu, seperti mewakili perasaan penyair Bali lainnya, menyampaikan secara jujur, tulus, dan dalam, bagaimana mereka merasa mendapat tempaan dalam pencapaian estetik dalam mencipta puisi yang berjiwa dengan metafora yang segar orisinal.
Dari mahaguru Frans, Dimas belajar bagaimana “meliukkan kata di bilah bahasa”.
Dimas menyebutkan Frans sebagai “pematang setia”, “pelaut bahasa”, “gembala bahasa”, yang dalam interaksinya Dimas merasa Frans memeluknya dengan “bahasa ayah”.
Dalam gemblengan simbolik dari mahaguru sekaligus “ayah” itu, Dimas merasa jadi ‘matang’ karena tuntunan Frans yang disebutkan sebagai ‘pematang setia’: “jadilah aku seperti maumu, menemu puisi milikku sendiri”, alias menjadi penyair yang mampu menggali orisinalitas diri.
.
Peserta diskusi puisi di rumah Frands Nadjira
Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan Dimas ini adalah representasi dari perasaan penyair Bali lainnya yang terus berjuang dan membuktikan orisinalitas diri.
Penerbitan buku puisinya itu, kata Dimas, selain untuk membalas utang budi bahasa pada ‘gembala bahasa’ Frans Nadjira dan Umbu, juga untuk menjaga kehangatan pijar api unggun sastra Indonesia di Bali.
Selamat ulang tahun Frans Nadjira, sehat selalu happy senangtiasa. Selamat berkarya Dimas, menyelesaikan mimpi-mimpi yang mungkin tak ‘kan pernah usai. [T]