GERAKAN SEKOLAH MENYENANGKAN (GSM) adalah salah satu strategi untuk meminimalisasi tiga dosa pendidikan sebagaimana dikhawatirkan Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim. Pada suatu kesempatan, Mas Menteri mengingatkan tiga dosa Pendidikan Indonesia: perundungan (bullying), radikalisme (kekerasan), dan intoleransi. Ketiga dosa ini perlu dicarikan solusinya melalui jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara bersama.
Menurut UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, jenis pendidikan mengacu pada pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Jenjang pendidikan mengacu pada pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan Tinggi. Jalur pendidikan meliputi jalur informal, formal, dan nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
GSM sebagai salah satu antisipasi meluasnya tiga dosa pendidikan tidak bisa dibebankan secara sektoral melalui jalur pendidikan formal, khususnya sekolah. Makna sekolah pun diperluas sesuai kebutuhan dan senantiasa kontekstual dengan teks regulasi yang memayungi.
Tempat penyelenggaraan jenis, jalur, dan jenjang pendidikan itulah sesungguhnya sekolah dan tanggungjawabnya pun pada ketiga tempat itu. Membebani GSM semata-mata pada jalur pendidikan formal dengan guru sebagai penanggung jawab, selain kurang elok, juga mengabaikan partisipasi dan kontrol di lingkungan jenis, jalur, dan jenjang pendidikan itu.
Sebagai sebuah gerakan, GSM digagas sejak 2016 oleh pasangan suami istri dosen UGM, Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra, sepulang mereka dari Australia selesai menempuh doktoral.
Di Australia, kedua pasangan ini terinspirasi oleh ketiga buah hatinya yang sangat mencintai sekolahnya karena tiga hal: Kurikulum yang lebih bagus, lebih menyenangkan, disesuaikan dengan kelebihan setiap anak.
Pengalaman demikian juga dituturkan oleh Ratih D. Adiputri (2019) ketika menyekolahkan anaknya, Nadia (5 tahun), di sebuah TK di Finlandia. Di sana, anak TK diperlakukan bak raja oleh guru yang menyenangkan dan menyemangati.
Mereka mendambakan Pendidikan Indonesia dengan GSM yang berfokus pada pembelajaran berbasis aktivitas, berdiferensiasi, bermakna, dan edukatif fungsional selaras dengan semangat merdeka belajar. Sekolah menjadi taman hati yang membahagiakan bagi anak dengan senantiasa mengembangkan pikiran-pikiran positif sehingga tidak ada anak yang fobia sekolah.
Oleh karena itu, GSM dimulai dari perubahan pola pikir kepala sekolah, guru, orangtua, dan para pemangku kebijakan untuk membangun ekosistem pendidikan yang kondusif dan positif berfokus pada pengembangan karakter siswa.
Sebagai negara yang menganut budaya paternalistik, merekalah yang seharusnya menjadi teladan bagi peserta didik untuk membudayakan nilai karakter bangsa sebagaimana dirumuskan Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan.
Nilai-nilai karakter itu adalah religius, jujur, toleransi,disiplin, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan,peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai itu belakangan lebih dikenal dengan Profil Pelajar Pancasila.
Dengan mengimani nilai-nila tersebut, GSM dapat memperkuat program sekolah ramah anak yang sudah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 dengan mengedepankan harkat dan martabat anak untuk tumbuh dan berkembang secara positif menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, GSM juga jawaban atas Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang penanggulangan kekerasan di sekolah, dan penguat Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang penguatan karakter. Secara eksplisit Kurikulum 2013 juga memuat Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.
Namun, sejauh ini tiga dosa pendidikan masih mengintai bahkan tindak kekerasan dilakukan oleh orang-orang dekat yang seharusnya mengayomi. Tragedi pendidikan terjadi dari masa ke masa. Walaupun persentasenya kecil, beritanya viral menggemparkan.
Berbagai strategi diupayakan dengan regulasi yang menghabiskan biaya besar, termasuk pelatihan bagi guru-guru. Namun, sesaat setelah kembali ke sekolah, guru tetap biasa-biasa saja, seperti lagu Dian Piesesha: Aku Masih Seperti yang Dulu.
Apa yang keliru?
Pertama, kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia yang dikelola oleh berbagai Departemen (Depdikbud Ristek, Depag, Depdagri, Deparekraf) dengan aturan yang berbeda. Belum lagi, kompleksitas dengan keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan geografi selaras dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Perbedaan itu seperti pisau bermata dua, bisa menjadi berkah inspirasi bagi kemajuan, tetapi juga dapat menjadi musibah bila salah kelola.
Kedua, sekolah sudah lama menjadi pusat aneka aktivitas bagi kementerian di luar Kemendikbud Ristek, sehingga beban pendidik makin berat. Belum lagi adanya regulasi yang kurang sinkron antardepartemen, misalnya aturan BOS dibuat oleh Kemendikbud Ristek, tetapi aturan penggunaannya berdasarkan aturan Kemendagri.
Ketiga, krisis keteladanan di segala bidang dibebankan pada dunia Pendidikan sebagai dampak budaya paternalistik. Pemimpin di berbagai level acapkali menggunakan skala ganda dalam kepemimpinannya. Ujungnya, membingungkan peserta didik yang bermula dari tidak satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan yang memicu disharmoni.
Mencermati hal itu, GSM perlu menjadi gerakan bersama di sekolah dengan landasan cinta. Cinta tulus seorang guru dalam mendidik dan mengajar akan melahirkan kreativitas tanpa batas (creativity), berdasarkan kesungguhan dan keikhlasan (integrity), dengan selalu berpegang teguh pada aturan (norm), dilandasi pikiran positif (think), untuk mengapresiasi (appreciation) setiap langkah pencapaian.
Guru yang bekerja dengan CINTA dapat menjadi pelita dalam kegelapan mengisi lorong-lorong gelap jiwa muda di tengah benturan peradaban global.
Dengan landasan CINTA, level GSM dapat ditingkatkan menjadi Gerakan Sekolah Membahagiakan (GSM). Secara semantik, tentu saja menyenangkan dan membahagiakan berkonotasi positif.
Akan tetapi, kualitas makna kedua kata itu jelas berbeda. Kata menyenangkan itu lebih menampakkan suasana di permukaan sedangkan membahagiakan di aras kedalaman tervibrasi keluar.
Dalam teori linguistiknya, Chomsky menyenangkan itu mencerminkan surface structure “struktur permukaan” atau arti, sedangkan membahagiakan merepresentasikan deef structure “struktur batin” atau makna. Orang yang membahagiakan itu pasti menyenangkan, tetapi yang menyenangkan itu belum tentu membahagiakan.
Begitulah GSM mestinya dimaknai. Siswa tak ubahnya itik yang berlumpur tetapi tetap bisa menggunakan daya wiweka (memilah dan memilih) makanan yang menyehatkan di antara lumpur. Seperti juga halnya teratai yang akar dan batangnya di lumpur, tetapi bunganya mekar tanpa ternoda.
Makna itu seiring dengan tradisi Hindu Bali menggunakan itik panggang (guling bebek) sebagai sesajen persembahan kepada Para Dewata dilengkapi canang dengan bunga teratai yang terkenal sebagai bunga berkelas dan sering ditembangkan dalam kidung-kidung suci untuk mengantarkan roh ke alam nirwana.
Begitulah GSM seyogyanya meningkatkan kualitas siswa menjadi guna satwam (cerdas dan bijaksana) yang disimbolkan dengan itik mengalahkan guna rajas (agresif) yang disimbolkan dengan ayam dan guna tamas (kemalasan) yang disimbolikkan dengan babi.
Satwam, rajas, tamas itu dalam tradisi Hindu disebut triguna yang memengaruhi watak manusia. Pendidikan sebagai usaha sadar seharusnya terus-menerus mengusahakan terwujudnya guna satwam bagi peserta didik dengan membumikan GSM sehingga kasmaran belajar hingga kasmaran berbangsa (meminjam istilah Pranoto) dengan semangat belajar sepanjang hayat.[T]