SORE ITU, Rabu, 9 Agustus 2023, seperti biasa, saya sedang bersantai di selasar studio sekaligus tempat nongkrong favourit saya di desa Sembiran, Pagi Motley Studio. Seperti biasa, obrolan yang ditemani secangkir kopi itu membahas banyak hal—tentang apa saja—meski tak jauh-jauh dari warna, umkm dan komunitas kreatif.
Obrolan mengalir begitu saja, sebelum Andika (tuan rumah Pagi Motley) sore itu mendapat kabar harus mengikuti kurasi Produk Wastra di Labuan Bajo. Spontan dia menanyakan ke saya, dan ini yang membuat kaget, “Nyoman bisa ke Bajo?”
Saya sempat berpikir beberapa saat—sat set sat set—sebelum akhirnya menjawab: “Ya, boleh.” Apa boleh buat, keputusan sudah saya ambil. Toh, di sana, selain bisa berdiskusi dan bertemu dengan pengrajin wastra di kawasan Indonesia Timur, saya juga bisa melihat dan merasakan bagaimana Labuan Bajo yang memang sangat di gadang-gadang dalam obrolan wisata di Indonesia sebagai destinasi top—meminjam bahasa tongktongan di tatkala.co.
***
Pada Kamis, 10 Agustus 2023, saya berangkat bersama lima UMKM dari Bali di bawah Binaan Bank Indonesia Bali. Meski sudah puluhan kali saya bepergian naik pesawat, tapi baru kali ini saya agak berpikir lumayan ruwet tentang rute penerbangan.
Tiket Denpasar-Labuan Bajo sold out alias Habis. Sontak saya berpikir, pasti Labuan Bajo padat merayap sampai tiket habis semua. Untuk itu kami berangkat menuju Bajo dengan random flight. Dari Denpasar-Jakarta via Halim Perdana Kusuma. Layover ke Bandara Soetta baru ke LBJ ( Labuan Bajo). Mau ke timur tapi harus ke barat dulu.
Gara-gara rute yang membingungkan itu membuat perjalanan terasa lama. Bagimana tidak, saya berangkat pukul 7.30 Wita dan sampai Labuan Bajo Pukul 16.30 Wita—tidak ada perbedaan waktu antara Bali dan Labuan Bajo. Padahal, jika flight normal, langsung dari Dps-LBJ, cuma 1 jam 10 menit. Tapi tak apalah, itung-itung sebagai pengalaman.
Sesampainya di Labuan Bajo kami sudah dijemput pihak hotel tempat kami menginap. Hanya dua kilometer jarak dari Bandara Komodo menuju La Prima Hotel Labuan Bajo. Pada saat perjalanan menuju tempat penginapan, insting pariwisata saya bergerak cepat untuk menemukan tempat sekadar melihat bagaimana Labuan Bajo di sore hari. Konon, semua sunset di sini adalah representasi “surga”.
Sunset di Bukit Syilvia, Labuan Bajo / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Akhirnya, dari staf hotel saya mendapat informasi ada salah satu puncak bukit yang menjadi primadona pengunjung untuk menikmati sunset di Kota Labuan Bajo. “Namanya Bukit Sylvia,” kata staf tersebut. Sylvia? Mungkin itu perumpamaan dari perempuan cantik tiada tara, pikir saya.
Tapi belakangan saya tahu, nama Sylvia diambil dari nama Sylvia Resort yang berada di dekat bukit tersebut. Bukit ini awalnya hanya dikunjungi wisatawan yang menginap di resort tersebut. Tetapi seiring berjlannya waktu, tempat itu menjadi terkenal dan menjadi spot wisata yang dikunjungi wisatawan maupun warga Labuan Bajo.
Kami menuju bukit sylvia dengan menyewa mobil. Nah, sekadar informasi, sewa mobil di sini per 1 jam Rp150.000. Lumayan juga.
Bukit Sylvia berada di Labuan Bajo, Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Jika Anda berada di Pelabuhan Bajo, untuk menuju bukit ini membutuhkan waktu 30 menit berjalan kaki atau sekitar 5 menit menggunakan angkot atau ojek.
Kondisi jalanan sudah beraspal sehingga ramah untuk diakses baik menggunakan kendaraan maupun tidak. Biasanya sebagian wisatawan memang menikmati perjalanan menuju bukit dengan berjalan kaki karena keberadaan bukit ini yang dekat dengan Pantai Waecicu.
***
Sesampainya di Bukit Sylvia saya mendaki hanya 200 meter dan pemandanganya memang sangat indah. Bukit Sylvia dikelilingi oleh pulau-pulau kecil khas wilayah timur. Pengunjung dan para penjaja souvenir seperti kain khas Manggarai semua berkumpul di sini.
Konon katanya, Bukit Sylvia juga disebut Bukit Cinta karena bukit ini menawarkan nuansa romantis. Dari bukit Sylvia, wisatawan akan dibuat takjub dengan pemandangan indah gugusan pulau kecil di tengah laut. Wisatawan juga bakal disuguhi deretan kapal wisata yang berlabuh dari kejauhan. Dan ini yang banyak dicari: sunset-nya.
Dan benar, sunset itu memang indah. Saat saya sedang menikmati matahari terbenam di puncak bukit sambil merekam lewat handphone, tiba-tiba ingatan saya tentang apa saja hadir seolah memenuhi kepala.
Foto bersama di Bukit Sylvia, Labuan Bajo / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Di bawah bukit ini telah berdiri hotel sekelas Ayana Komodo, Katamaram, dan Plataran Komodo. Saya pikir kantong saya tidak akan cukup untuk menginap di sana. Ah, bagaimanapun saya tetap bersykur bisa menikmati matahari terbenam yang paling mewah—untuk urusan ini peran Bukit Sylvia tak bisa diabaikan begitu saja. Tapi terlepas dari semua keindahan itu, satu hal yang terpenting: tak ada tiket masuk alias gratis.
Petang menjelang, kami bergegas menemukan tempat untuk mengisi perut setelah sebelumnya hanya diisi air mineral dan roti saja.
Kami menuju ke pusat kuliner seafood di Kota Bajo. Suasana malam yang syahdu, khas daerah pantai. Warna jingga merah temaram matahari terbenam itu masih menghiasi langit petang Labuan Bajo. Mondar-mandir perahu besar dan kecil, mewah dan merakyat keluar masuk water front (penyebrangan).
Suasana menjelang malam di Labuan Bajo / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Semua orang tertawa sebelum akhirnya makanan khas pesisir itu diantarkan. Ada ikan bakar, plecing kangkung, slice mentimun, terong goreng, dan nasi putih.
Pengunjung dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia memang membaur di sini. Para pedagang sangat sibuk menyiapkan pesanan para tamu. Kami pun dengan sangat lahap menghabiskan satu persatu menu di temani cahaya lampu perahu yang menuju ke gugusan pulau-pulau kecil di Labuan Bajo.
Karena esok hari adalah tugas saya mempresentasikan produk unggulan Pagi Motley, saya bergegas ke hotel untuk beristirahat. Dalam perjalanan pulang, Kaka Andi, pengemudi yang mengantar kami berkata, “Puji Tuhan, rame Kaka. Terus ada acara e.” Dan saya berjanji, besok saya akan mengulik Bajo lagi.
Foto bersama Andi, driver di Labuan Bajo / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
***
Kata Labuan Bajo sudah sangat familiar di telinga orang-orang. Hari ini, nama itu paling banyak dibicarakan atau di posting di media sosial, khususnya oleh para penikmat dan pelaku wisata.
Sebagai orang Bali yang sangat familiar dengan kehidupan pariwisata, ke manapun dan di manapun saya berusaha merekam hal-hal yang terkait dengan tempat yang saya kunjungi dan selalu diawali dengan pertanyaan: “Bagaimana tempat ini sebelum dan sesudah ada geliat pariwisata?”
Malam hari, 11 Agustus 2023, saya mengaktifkan aplikasi ojek online di gawai saya. Tak berselang lama Bapak Ojol (ojek online) itu pun datang dan menyambut saya dengan SOP ojol pada umumnya.
“Bapak Nyoman?” tanyanya kepada saya, meski sebenarnya juga untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Ya, Pak. Saya Nyoman,” jawab saya.
Bapak Ojol ini bernama Stanislaus Gonsales. Laki-laki 43 tahun yang biasa dipanggil dengan sebutan Pak Edo. Dia berasal dari Desa Nampar Macing, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat.
“Pak Nyoman Bali ija?” Pertanyaan itu membuat saya kaget. Bukan karena sulit untuk dijawab, tapi dia bertanya dalam bahasa Bali. Ija atau dija itu artinya dari mana?
Karena saya merasa Pak Edo bisa bahasa Bali, saya menjawab: “Icang uli Buleleng, Pak.”—Saya dari Buleleng, Pak. Nah, sejak saat itulah, dalam perjalanan ke pusat Kota Labuan Bajo, akhirnya saya bertanya banyak hal kepada Pak Edo.
Stanislaus Gonsales / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Merasa tak cukup mendapat informasi, saya memutuskan untuk mengajak Pak Edo ngopi di kedai pinggir jalan sekadar menemani saya melihat bagaimana suasana malam dan syukur-syukur bisa mendapat informasi dan belajar lewat cerita tentang Labuan Bajo dan Manggarai darinya.
Di temani kopi robusta khas Manggarai, cerita mengalir di tengah hiruk-pikuk masyarakat dan wisatawan yang berlalu-lalang. Kebetulan saat itu sedang berlangsung Festival Golo Koe 2023. Semua etnis dan komunitas diberikan ruang temu untuk berunjuk kreatifitas—dan saya sangat tertarik saat melihat semua stand dipenuhi dengan produk UMKM bukan yang lain.
Dari Pak Gonsales yang sekarang tinggal di Labuan Bajo—ia baru kembali satu setengah tahun lalu dari tanah rantau—saya belajar bagaimana menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik. Pak edo pernah merantau ke Bali selama 20 tahun dari 2002 sampai 2022. Istrinya dari Tabanan, Bali. Pantas saja dia bisa bahasa Bali.
Festival Golo Koe di Labuan Bajo dan salah satu produk UMKM yang dipamerkan / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Bapak tiga anak ini banyak bercerita tentang masa kecil dan remajanya di kota ini. Dulu, katanya, di sini tidak ada apa-apa. “Makanya kita semua merantau, toh. Tidak ada yang garap potensi [wisata] seperti sekarang,” tambahnya.
Pak Gonsales mengaku banyak belajar dari Bali. Dia belajar bagaimana agar pariwisata dan orang-orang di sini bisa menjadi tuan rumah di tanah sendiri. “Bagimana caranya? Harus kreatif dan Inovatif,” jelasnya.
Seperti yang sempat disinggung di atas—dan itu yang membuat saya terkejut—Pak Gonsales memang menikahi perempuan Tabanan, Bali, Yohana Made Juniawati, namanya, asal Banjar Wani, Desa Serampingan Bajra, Kecamatan Selemadeg Barat.
Selain keindahan pantai dan bukit yang sudah biasa kita dengar, hal menarik dari Labuan Bajo adalah tentang kehidupan dan kebiasaan sosial masyarakatnya. Tak hanya itu, bagi para pencinta olahan enau/lontar/siwalan seperti arak (sopi dalam bahasa lokal) dan gula semut, atau pecinta kopi akan sangat dimanjakan di tempat ini. Dan sekadar informasi, di sini, dari shorgum sampai kelor semua gemah ripah loh jinawi. Belum lagi berbicara tenun dan wastranya.
Akhirnya saya belajar, bahwa wilayah yang dulunya identikan dengan kata tandus, tidak ada apa-apa, ternyata sejatinya adalah kaya raya. Dulu saat mendengar kata Flores, saya akan langsung teringat kata “jauh” dan “kering”. Tetapi hari ini, di mana ikan laut dan ikan hias berlimpah, produk lokal, dan masyarakatnya yang ramah, membuat Flores menjadi istimewa.
Semoga keindahan senantiasa dibarengi dengan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan dalam tindakan nyata.
Tidak ada yang abadi selain perubahan, kata orang-orang. Perubahan itu pasti. “Tidak apa-apa, yang penting berubah menjadi lebih baik lagi,” kata Pak Gonsales. Terima kasih, Pak. Semoga bisa berjumpa kembali, suatu hari nanti. Semoga Bajo tetap menjadi Bajo, bukan Bali.
***
Tepat di Hari Raya Kuningan, Sabtu, 12 Agustus 2023, saya masih berada di Labuan Bajo. Sebagai orang Bali yang memeluk agama Hindu, saya penasaran, apakah di sini ada pura? Jika ada saya akan menyempatkan sembahyang ke sana.
Saya bertanya kepada Pak Gonsales ada pura di Labuan Bajo apa tidak. Dia menjawab: “Ada, luas, dekat Bandara.”
Tepat siang hari saya dan rombongan menuju ke pura yang belakangan saya tahu namanya Pura Segara Giri, Labuan Bajo. Lokasi pura tersebut hanya berjarak 900 meter dari Bandara Internasional Komodo.
Seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya saat sembahyang di pura di luar Bali, tanpa mengurangi rasa hormat, dengan keterbatasan pakaian adat saya masuk Pura Segara Giri dengan niat tulus. Saya memakai pakaian yang penting sopan.
Foto selfi seusai sembahyang di Pura Segara Giri / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Dupa sudah disediakan dan tinggal mencari bunga—yang kebetulan ditanam di halaman pura—untuk sembahyang. Kami sembahyang dengan sangat khusuk.
Hal menarik yang saya temui di pura ini, selain kebersihannya, juga adanya barcode Qris untuk dana punia (sumbangan seikhlasnya—semacam kotak amal). Sontak saja kami mengeluarkan gawai dan menyumbang sesuai kemampuan.
Tidak ada umat yang saya temui saat itu, karena memang sudah siang. Tetapi tampak sarana upacara yang sudah dirapikan dan beberapa umat sedang berkumpul di rumah makan sekitar pura dengan menu andalan: sei babi.
Selepas sembahyang saya melihat sekeliling pura. Hamparan laut luas khas Labuan Bajo, berpadu dengan bukit tinggi menjadikan pura yang terletak di Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, ini, tampak eksotis dan magis.
Pemandangan dari Pura Segara Giri / Foto: Dok. Nyoman Nadiana
Ah, sampai di sini, ternyata, Labuan Bajo tak hanya tentang pulau-pulau yang indah di foto atau video saja. Lebih dari itu, Bajo juga tentang banyak hal indah lainnya, seperti keragaman agama dan budayanya. Sekian.[T]