BERITA KISAH atau yang juga dikenal dengan feature, merupakan gabungan antara berita dan hiburan. Feature sebagai berita tentu menyajikan informasi yang berdasar atas fakta dan kaidah-kaidah jurnalisme. Sedangkan sebagai hiburan, feature merupakan artikel kreatif yang memiliki daya pikat tentang manusia atau gaya hidup atau apapun—walau kadang subjektif.
Feature berbeda dengan berita langsung (straight news). Berita langsung memiliki pakem penulisan—dan itu membuatnya kaku, lempeng, dan kurang asyik untuk dibaca. Sebaliknya, feature tak memiliki pakem penulisan, sehingga wartawan boleh saja menuliskannya dengan gayanya sendiri—sekreatif mungkin—dan boleh memasukkan opini jurnalis ke dalamnya.
Straight news juga identik dengan kecepatan, makin cepat makin up to date, makin lama maka berita semakin basi. Sedangkan untuk menulis feature, si penulis harus memiliki kepekaan untuk memilih objek dan membawakannya secara memikat. Penulis harus memilih bagian yang paling kuat untuk tulisannya. Kalaupun beropini, maka tulisan itu tidak kentara mengemukakan opininya.
Namun, kenyataannya hari ini, khususnya di Bali, berita kisah tak banyak ditulis oleh wartawan. Kebanyakan wartawan—dan media tempatnya bekerja tentu saja—lebih senang menulis berita langsung dengan memburu kecepatan dan tak jarang sensasional, persis seperti logika media sosial. Karena tak banyak wartawan yang bisa menulis feature, perlahan berita kisah mulai ditinggalkan.
Oleh sebab itu, berawal dari keprihatinan akan kondisi media massa dan jurnalistik di Bali hari ini, Kelompok Wartawan Budaya Bali menggelar diskusi tentang berita kisah (feature) dengan topik “Reportase Jurnalisme Kultural, Berita Kisah: Antara Ada dan Tiada” yang selenggarakan di Beranda Pustaka Gedung Perpustakaan Widya Kusuma, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat (28/7/2023) lalu.
Rofiqi Hasan saat menjadi narasumber dalam diskusi “Reportase Jurnalisme Kultural, Berita Kisah: Antara Ada dan Tiada” / Foto: Ist
Diskusi yang merupakan salah satu mata acara Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2023 itu, menghadirkan narasumber wartawan senior sekaligus sastrawan Gde Aryantha Soethama dan Rofiqi Hasan. Sedangkan jurnalis perempuan Luh De Suriyani didapuk sebagai moderator.
Made Sujaya, selaku panitian, mengatakan bahwa diskusi ini bukan satu-satunya mata acara Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali. “Selain diskusi ini, kami juga akan menggelar diskusi tentang fotografi jurnalistik vs foto medsos dan pementasan drama teater ‘Nguber Berita ka Nusa’ di Kalangan Ayodya,” ujarnya.
Berita Kisah, Penting atau Tidak?
Dalam diskusi tersebut, Rofiqi Hasan, yang diminta untuk menyampaikan materi terlebih daluhu, bertanya penting atau tidaknya berita kisah? Sebelum ada yang menjawabnya, dia telah menjawab sendiri dan mengatakan bahwa hari ini posisi berita kisah “seolah tidak penting”.
“Hari ini, media mengejar kecepatan dan sensasional. Wartawan dalam posisi tertekan karena target menulis berita. Oleh karena itu berita kisah perlahan ditinggalkan,” kata Rofiqi, bersemangat.
Apa yang dikatakan Rofiqi benar adanya. Banyak media massa sekarang justru mengekor logika media sosial. Media massa ikut-ikutan “genit” dengan memuat berita-berita yang memiliki muatan viral, sensasional, dengan judul-judul bombastis untuk menarik pembaca. “Ada degradasi nilai di sini,” uajarnya.
Menurut Rofiqi, berita kisah sudah kehilangan fungsinya. Dulu berita kisah bisa menjadi ukuran kredibelitas media. Sekarang justru banyak media yang meninggalkan berita kisah, tak memberi ruang feature sehalaman pun. Akibatnya, wartawan-wartawan hari ini kehilangan sentuhan dalam menulis berita kisah.
Hari ini, kecepatan selalu menjadi komponen jurnalisme yang tak terpisahkan. Orang ingin diberi tahu tentang perubahan yang relevan di dunia sesegera mungkin—dan jurnalisme dapat memenuhi tuntutan ini sebagai “sistem peringatan dini” sosial. Oleh karena itu, kecepatan telah menjadi elemen budaya jurnalistik yang tidak dapat dicabut (Drok dan Hermans, 2015).
Sebuah studi dari Asosiasi Surat Kabar Dunia menunjukkan bahwa di bidang berita cepat (siapa, apa, di mana, kapan), telah muncul kelebihan muatan, “dengan nilai mendekati nol” (Erbsen et al., 2012). Dengan begitu, menurut Drok dan Hermans (2015) kelangkaan akan semakin meningkat di bidang keandalan, kebenaran, pelaporan dan analisis mendalam.
Jurnalisme hari ini tampaknya terjebak dalam logika pasar yang paradoks, di mana penceritaan mendalam yang berkualitas tinggi bisa menjadi proposisi penjualan yang unik, tetapi pada saat yang sama, penghematan biaya dan kecepatan digunakan sebagai senjata utama untuk meningkatkan daya saing.
Menurut Cooper (2009), ini mengarah pada semacam skizofrenia di kalangan jurnalis: “Di satu sisi wartawan dikirim ke konferensi jurnalistik untuk belajar bagaimana melakukan investigasi atau menulis cerita naratif. Di sisi lain, manajer bisnis—dan beberapa editor—mencari cerita yang lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat—yang cakupannya semakin sempit.”
Sementara itu, Gde Aryantha Soethama mengungkapkan bahwa pada awalnya berita hanya menulis orang-orang besar. Orang-orang kecil tidak pernah menjadi bahan pemberitaan. Padahal, masyarakat perlu mengetahui kehidupan orang-orang kecil.
“Karena itulah muncul istilah berita kisah dengan mengambil sisi kemanusiaan orang-orang kecil. Tapi, apakah orang-orang besar tidak bisa ditulis menjadi berita kisah? Ya tentu sangat bisa,” ujar Aryantha Soethama.
Gde Aryantha Soethama saat menjadi narasumber dalam diskusi “Reportase Jurnalisme Kultural, Berita Kisah: Antara Ada dan Tiada” / Foto: Ist
Sama seperti Rofiqi Hasan, Soethama juga mempertanyakan apakah masuarakat masih perlu berita kisah atau tidak. Dan dia menjawab perlu. “Berita kisah harus tetap ada,” katanya.
Menurut Soethama, ketika media-media di daerah seolah berbondong-bondong meninggalkan berita kisah, media besar macam Kompas dan Tempo justru sedang gencar-gencarnya menulis berita dengan gaya feature. Soethama juga mengatakan, bahwa wartawan hari ini harus kebih cerdas, jeli, dan peka dalam menangkap berita viral lalu mengolahnya dengan gaya berita kisah.
“Wartawan hari ini harus cerdas dalam mengawinkan berita viral dengan berita kisah,” imbuhnya.
Dan terkait dengan menulis berita kisah, Aryantha Soethama mengatakan bahwa ada dua aspek penting dalam berita kisah, yaitu sisi kemanusiaan (human intrest) dan teknik berkisah. Dual hal itulah, menurut Soethama, yang dapat menjadikan berita kisah itu menarik untuk dibaca. “Berita kisah itu seperti cerpen, tapi fakta. Teknik menulis sastra sangat penting sebagai modal menulis berita kisah,” imbuhnya.
Sebelum mengakhiri diskusi, Aryantha Soethama menegaskan, bahwa feature itu fakta, karya jurnalistik, berbeda dengan tulisan storytalling. Dan dalam berita kisah, menurutnya, terdapat bandul yang bergerak ke kanan dan ke kiri tapi tidak melebihi batas. “Menulis berita kisah itu harus fokus, tidak boleh ngalor-ngidul,” tandasnya.[T][Jas/*]