INDONESIA sudah mulai melaksanakan tahapan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Salah satu kunci sukses penyelenggaraan ajang demokrasi tersebut adalah terciptanya ruang publik yang kondusif, sehat, dan bersih dari berita palsu (fake news) serta hoaks.
Saat ini, iklan dan pemberitaan tentang partai politik, calon legislatif dan kandidat Presiden/Wakil Presiden sudah bermunculan, bukan hanya di media, tapi juga banyak di ruang publik. Dan, penetrasi pemberitaan terkait pemilu melalui media, baik media cetak, media elektronik, serta media siber, lebih terasa di masyarakat karena menghadirkan kemasan yang beragam.
Dan sebagai pilar demokrasi, pers harus menjalankan peran edukasi melalui informasi yang proporsional tentang pemilu, sehingga masyarakat dapat diajak untuk berperan serta mengawasi tahapan persiapan pelaksanaan pemilu, penyelenggaran pemilu, termasuk peserta pemilu nantinya. Interaksi masyarakat dalam pemberitaan pemilu oleh pers juga akan sangat membantu untuk melihat parameter tingkat kesuksesan persiapan jelang Pemilu 2024.
Lalu, pertanyaannya apakah media mampu dan mau meliput Pemilu 2024 secara proporsional?
Dalam “Workshop Peliputan Pemilu Tahun 2024” yang diselenggarakan Dewan Pers—untuk meningkatkan kualitas peliputan media cetak dan media elektronik terhadap pemilu/pilkada 2024—di hotel Swiss-Belresort Watu Jimbar, Sanur, Denpasar, Bali, Senin (31/7/2023), Paulus Tri Agung Kristanto, Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, mengatakan bahwa menjalankan peran edukasi melalui informasi tentang Pemilu yang proporsional memiliki tantangan yang berat.
Pasalnya, menurut Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, hari ini tak banyak insan pers yang memiliki kemampuan mengolah dan menyampaikan informasi secara mendalam, proporsional, seimbang. Akibatnya, banyak pemberitaan yang berat sebelah—dan tak jarang mis-komunikasi. “Jika Anda tidak membaca koran, Anda tidak mendapat informasi. Jika Anda membaca koran, Anda salah informasi,” ujarnya, mengutip Mark Twain, novelis Amerika Serikat.
Tak hanya soal kompetensi jurnalis, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas itu juga menggarisbawahi persoalan media sekarang yang hanya mementingkan kecepatan dan sensasional semata. Menurutnya, berburu kecepatan membuat produk media “kurang benar”.
Jurnalisme Cepat dan Permasalahannya
Ya, jurnalisme profesional sedang menemukan dirinya dalam fase transisi fundamental. Perlu dipikirkan kembali (Peters dan Broersma, 2013 ) atau bahkan mungkin diciptakan kembali (Waisbord, 2013 ). Salah satu dari sekian banyak isu yang dihadapi jurnalisme adalah kekhawatiran fungsi sosial di era digital.
Dalam artikelnya Apakah Ada Masa Depan untuk Jurnalisme Lambat? (2015), Nico Drok dan Liesbet Hermans, menyatakan beberapa orang melihat proses digitalisasi sebagai alasan untuk menekankan penyebaran informasi yang cepat sebagai fungsi sentral, misalnya melalui strategi digital-first. Yang lain, sebaliknya, melihatnya sebagai insentif untuk memberi perhatian lebih pada fungsi penyediaan konteks. Kedua visi ini tidak serta merta mengecualikan satu sama lain, tetapi keduanya mewakili kerangka acuan yang berbeda untuk merefleksikan masa depan jurnalisme.
Kecepatan selalu menjadi komponen jurnalisme yang tak terpisahkan. Orang ingin diberi tahu tentang perubahan yang relevan di dunia sesegera mungkin—dan jurnalisme dapat memenuhi tuntutan ini sebagai “sistem peringatan dini” sosial. Oleh karena itu, kecepatan telah menjadi elemen budaya jurnalistik yang tidak dapat dicabut (Drok dan Hermans, 2015).
Deuze (2005) menganggap “kesegeraan” sebagai salah satu dari lima nilai sentral dalam jurnalisme, di samping objektivitas, otonomi, pelayanan publik, dan etika. Nilai yang ditempatkan pada kesegeraan tercermin dalam persepsi peran wartawan. Di seluruh dunia, jurnalis masih melihat penyebaran berita yang cepat sebagai tugas terpenting mereka: “melaporkan berita dengan cepat memiliki skor rata-rata tertinggi” (Weaver dan Willna, 2012).
Padahal, dalam konteks peliputan Pemilu, menurut Agung Kristanto, wartawan tak bisa terburu-buru. Dalam meliput pemilu, imbuhnya, seorang wartawan harus memiliki kemampuan untuk memahami aturan-aturan legal (regulatif), analisis, dan pengetahuan teknis—tiga kemampuan yang nyaris lenyap dalam diri jurnalis. “Ketiga hal ini sangat penting. Jadi, peliputan Pemilu itu susah-susah gampang,” katanya.
Peliputan Pemilu yang cepat dan terburu-buru berisiko penyederhanaan dan stereotip yang berlebihan. Selanjutnya, penekanan pada fastness Pemilu dapat memperkuat fiksasi pada benturan, kecelakaan atau sensasionalisme. Dan, menurut Laufer (2011), tampak jelas bahwa terlalu banyak penekanan pada fastness dapat merusak stok terpenting yang dimiliki seorang jurnalis dalam perdagangan: kredibilitas.
Sebuah studi dari Asosiasi Surat Kabar Dunia menunjukkan bahwa di bidang berita cepat (siapa, apa, di mana, kapan), telah muncul kelebihan muatan, “dengan nilai mendekati nol” (Erbsen et al., 2012). Menurut Drok dan Hermans (2015) kelangkaan akan semakin meningkat di bidang keandalan, kebenaran, pelaporan dan analisis mendalam.
Jurnalisme hari ini tampaknya terjebak dalam logika pasar yang paradoks, di mana penceritaan mendalam yang berkualitas tinggi bisa menjadi proposisi penjualan yang unik, tetapi pada saat yang sama, penghematan biaya dan kecepatan digunakan sebagai senjata utama untuk meningkatkan daya saing.
Menurut Cooper (2009), ini mengarah pada semacam skizofrenia di kalangan jurnalis: “Di satu sisi wartawan dikirim ke konferensi jurnalistik untuk belajar bagaimana melakukan investigasi atau menulis cerita naratif. Di sisi lain, manajer bisnis—dan beberapa editor—mencari cerita yang lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat—yang cakupannya semakin sempit.”
Loyalitas Jurnalis Kepada Warga
Setiap kali menjelang Pemilu, media massa, dari raksasa sampai yang ketengan, berlomba-lomba menulis dan menyiarkan berita perhelatan politik lima tahunan itu. Pemberitaan biasanya seputar sosok politikus yang menginspirasi atau kontroversi; seputar kampanye (pencitraan) calon, koalisi, analisa-analisa politik, dan survei elektabilitas.
Namun, meski banyak media massa yang memberitakan tentang serba-serbi Pemilu, nyatanya tak banyak media yang menjadikan rakyat sebagai subjek politik. Nyaris semua media sama-sama menempatkan Pemilu dalam koridor elitis dan formalis—dan tak sedikit berita yang seolah hanya notulensi agenda politik elit.
Berkaca pada Pemilu 2019, menurut laporan Remotivi, dalam headline di lima surat kabar—Republika, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos—pada 26 Februari 2019 hingga 26 Maret 2019, terdapat total 222 buah berita dan 22 buah foto tentang Pemilu. Detailnya, Pemilu (20,5%) dan Lingkungan (17,6%) adalah dua topik yang paling banyak menjadi headline kelima koran dalam periode penelitian tersebut.
Di dalam topik Pemilu, tiga besar sub-topiknya adalah Debat Capres-Cawapres (24%), Kampanye (22%), dan Survei (14%). Sementara dua besar sub-topik Lingkungan adalah Bencana (86,05%) dan Sampah (11,63%).
Apa yang bisa kita pahami dari data-data tersebut? Seperti yang sudah disampaikan, bahwa corak pemberitaan mayoritas berorientasi ke politik elit.
Dalam esainya Peran Media dalam Politik Omong Kosong: Studi Atas Headline Lima Surat Kabar (2019), Roy Thaniago, Direktur Remotivi, menjelaskan bahwa pemberitaan yang berorientasi ke politik elit adalah pemberitaan yang berfokus merekam aspirasi, memfasilitasi komunikasi, dan memproduksi pengetahuan yang melayani kebutuhan para aktor yang berada dalam lingkup politik formal.
Corak pemberitaan semacam itu mereduksi politik dalam wilayah yang sempit. Media gagal mengenali politik warga, yakni bentuk politik yang menempatkan warga sebagai subjek sekaligus tujuan utama dalam proses demokrasi. Pada peliputan Pemilu 2019, tak ada media yang menunjukkan loyalitas jurnalisme kepada warga. Hal ini tentu bertentangan dengan sepuluh elemen jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2003).
Pentingnya Peliputan Pemilu
Paulus Tri Agung Kristanto dalam Workshop Peliputan Pemilu Tahun 2024 Dewan Pers menyampaikan bahwa setidaknya ada tujuh hal yang membuat peliputan Pemilu begitu penting. Pertama, Pemilu merupakan sarana pergantian kekuasaan secara damai dan beradab. Kedua, sarana kompetisi yang legal bagi warga negara untuk menjadi pelaksana kekuasaan negara.
Ketiga, ruang pendidikan politik rakyat secara langsung, terbuka, bebas, dan masal. Keempat, mekanisme bagi rakyat untuk memilih kepala negara dan anggota legislatif dengan bertanggungjawab. Kelima, media adalah pilar keempat demokrasi, four estate—sebagaimana dikemukakan Edmund Burke 230 tahun lalu—yang berkewajiban mengawal proses demokrasi yang beradab.
Keenam, media mainstream perlu banyak menyampaikan berita yang mencerahkan untuk menjaga agar ruang publik tetap sehat. Dan ketujuh, media mainstream adalah sarana untuk membangun wacana dan dialektika demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Sebagaimana disampaikan pada poin kelima, keenam, dan ketujuh, melihat kondisi jurnalisme hari ini—seperti yang sudah diuraikan di atas—apakah media sanggup menyajikan laporan mendalam dan proporsional mengenai proses politik (Pemilu) 2024 mendatang? Semoga.[T]