I KETUT RINA mulai belajar seni tari tahun 1970. Ketertarikan I Ketut Rina untuk belajar tari, berawal dari menonton Sardono W. Kusumo melakukan proses berkarya di jaba (sisi luar) Pura Desa Teges Kanginan, Ubud, Gianyar.
Sardono, dalam berkarya, dilihatnya seperti halnya “orang kesurupan”, loncat ke sana ke sini, berteriak-teriak, sesekali dia melukis dan menari tarian tradisional Indonesia lainnya, seperti tarian asmat, dan tari jawa.
Setiap Sardono berproses, I Ketut Rina selalu hadir menyaksikannya, baik siang ataupun malam. Melihat Rina selalu hadir dalam proses berkaryanya, Sardono menyuruh Rina kecil untuk ikut menirukan gerak yang diberikannya, seperti gerak air, angin, suara alam dan binatang, burung, kodok, sapi, dan lainnya.
Proses tersebut tidak terfokus pada satu tempat saja. Prosesnya juga dilakukan di laut, di ladang, dan di sawah.
I Ketut Rina | Foto FB Cak Rina
Proses berkarya langsung diajarkan oleh Sardono kepada Rina melalui pengamatan dan peniruan gerak sehari-hari yang dilakukan dari kehidupan nyata. Proses eksplorasi ini dilakukan melalui peniruan gerak yang dilakukannya sehari-hari yakni; menangkap ikan, mencari belut dengan tangan, mandi ke sungai, memasang bubu ikan di sungai, dan kegiatan yang dilakukannya di laut seperti; mandi di laut, bersuara dengan keras dan lantang melawan suara laut, hingga terombang-ambing oleh ombak.
Semua hal itu memberikan gerak intuisinya dalam berkarya yang diasah oleh Sardono.
Kecak di Banjar Teges Kanginan, Ubud, diciptakan oleh Sardono pada tahun 1970 yang melibatkan semua anggota Banjar Teges Kanginan dan juga anak-anak yang berjumlah 25 orang termasuk di dalamnya Rina kecil.
Proses Latihan kecak ini dilakukan di pelataran Pura Desa mulai dari halaman jaba tengah hingga jaba sisi (halaman luar). Sistem kehidupan masyarakat dalam sistem gotong royong membuat kebersatuan rasa dalam karya kecak Sardono.
Sardono membuat komposisi sajian kecak dengan format baru dari kecak yang sudah ada sebelumnya. Bila halnya kecak Bona, kecak Bedulu, yang lebih fokus pada sajian cerita (Ramayana/Mahabarata) dengan disain koreografi hanya terfokus pada satu pola lantai melingkar dari awal hingga akhir, Sardono memiliki gagasan baru dalam karya kecaknya.
I Ketut Rina bersama Bapak Sardono W. Kusumo | Foto Dokumentasi, I Ketut Rina, Tahun 1974
Kehidupan sehari-hari masyarakat Teges, mencoba ditransformasikan dalam karya kecaknya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat seperti mencakul, nandur, gotong royong membuat rumah, orang membawa itik di jalan, orang menyapu di depan rumah, orang membawa sapi di jalan menuju ke sawah, peristiwa membajak sawah (ngelampit) semua itu menjadi inspirasi dalam karyanya.
Rina pada tahun 1970 menari, memerankan anak kecil dalam karya kecak Sardono. hingga tahun 1971 karya komposisi kecak barunya terbentuk dan mendapat undangan untuk tampil di Jakarta.
Kecak karya Sardono ini diberi nama “Cak Tarian Rina”, yang diambil dari nama Rina kecil karena karya ini banyak terlahir juga dari keseharian tingkah laku I Ketut Rina yang memberikannya banyak inspirasi dalam berkarya.
Sebelum kecak ini melakukan pelawatan ke Jakarta kala itu, tim dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melakukan pengecekan ke lokasi guna menyaksikan langsung bagaimana penyajian karya baru yang akan ditampilkan di Jakarta. Dari hasil pengamatan tim tersebut, tampaknya terjadi pro dan kontra di antara anggota tim. Ada pandangan negatif dari penampilan “Cak Tarian Rina”.
Hal tersebut dikarenakan, ada sesuatu dirasa menyimpang dari pakem-pakem yang ada sebelumnya, tidak sesuai dengan tradisi, tabu, dilihat dari format koreografi pola lantai yang menyimpang (tidak hanya melingkar), dan para penarinya naik di atas pundak dan meloncati kepala penari lainnya. Hal itulah yang kurang diterima oleh tim kala itu.
Pertunjukan kecaknya dirasakan melanggar etika yang berlaku. Oleh karena itu, “Cak Tarian Rina” dipertimbangkan dalam keberangkatannya ke Jakarta. Namun tim Cak Tarian Rina ini tidak mendapatkan informasi tentang pembatalan keberangkatan sebelumnya. Masyarakat telah bersiap untuk berangkat ke Jakarta untuk melakukan pertunjukan kecak di sana.
Antusias masyarakat sangat tinggi untuk pergi ke Jakarta. Bus sudah menunggu di depan untuk segera berangkat dengan segala perbekalan yang sudah disiapkan pula. Ini akan menjadi pengalaman baru bagi masyarakat Teges Kanginan.
Dalam tour mereka nanti sudah diprogramkan mereka akan pergi ke kebun binatang untuk melihat hewan-hewan yang mereka jadikan objek patung sebelumnya. Para pemain “Cak Tarian Rina” ini, 95 % kesehariannya adalah pekerja pembuat patung dan petani. Mereka membuat patung hewan seperti kuda, gajah, macan, harimau, rusa, dan lainnya tanpa pernah melihat objek aslinya. Hanya pada gambar yang mereka lihat.
Mereka sangat berkeinginan untuk melihat hewan-hewan tersebut secara nyata. Namun, nasib berkata lain. Beberapa menit sebelum keberangkatan mereka, datang Sardono membawa sepucuk surat yang isinya pembatalan keberangkatan seluruh tim ke Jakarta.
“Cak Rina dilarang pentas di Jakarta”, ujar Sardono saat itu.
Dikumpulkanlah pemuka adat untuk berdiskusi tentang cara menyampaikan pembatalan ini kepada masyarakat. Dengan tabah, Sardono bersama kepala dusun menyampaikan isi surat tesebut langsung di hadapan masyarakat.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan masyarakat di sana khususnya para pemain cak ini. Semua hanya mampu duduk terdiam, beberapa juga menangis mendengar berita sedih ini. Semua yang dibayangkan tentang Jakarta sirna dalam sekejap. Suasana berubah seketika.
Biasanya lingkungan Banjar Teges Kanginan ini selalu ramai, terlihat aktivitas berkesenian, setelah pembatalan itu menjadi sepi. Rina pun menangis mendengar berita ini.
Dari kejadian ini, pemuka adat melakukan prosesi upacara “Guru Piduka” di Pura Desa untuk memohon maaf secara “niskala” atas kekeliruan yang diperbuat atau hal-hal lain yang tidak disengaja dibuat selama proses yang dilakukan di areal itu.
Pengalaman ini tak membendung semangat berkarya dari Sardono. Dia pun kembali berkarya dengan menggandeng seniman-seniman lainnya seperti; Pak Pugra, Ida Bagus Geria, Pak Sujena, Pak Made Sukrata, Pak Pasek Made Tempo dengan berbagai latar belakang seni yang dimiliki.
Rina pun masuk tergabung dalam karya Sardono yang berjudul “Dongeng Dari Dirah”. Hingga tahun 1974, karya ini tour keliling Eropa selama 6 bulan. Pulang dari pelawatan itu, Rina bersama Sardono Kembali membangkitkan semangat masyarakat atau pemain “Cak Tarian Rina” untuk latihan bersama.
Bersyukur tahun 1976 tim kecak ini diundang oleh Saheran, Raja Iran, untuk pentas di Iran. Para penari kecak ini bahkan dijemput ke Bali dengan pesawat khusus dari Iran yang khusus mengangkut para penari dari Banjar Teges Kanginan.
Mereka melakukan pertunjukan di istana Raja, Persipolis, dan pemakaman raja-raja, pembukaan festival Siras pada bulan Agustus tahun 1976. Pertunjukan mereka di luar negeri ini memperoleh apresiasi dari berbagai media cetak kala itu. Banyak media yang menulis tentang perjalanan pertunjukan mereka di sana.
Kesuksesan mereka dalam melakukan pertunjukan kecaknya, tersebar kemana-mana. Hingga mendapat tawaran pentas di berbagai daerah.
Pertunjukannya pun berlanjut ke tempat-tempat lainnya. Pada tahun 1978 karya ini baru dapat dipertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan juga di Jerman. Banyak juga tamu-tamu luar negeri baik dari Jerman, Perancis, Eropa lainnya, yang datang ke Teges Kanginan untuk melihat proses karya “Cak Tarian Rina”.
Rina pada karya Sardono diminta untuk menari telanjang bulat memerankan tokoh anak-anak. Tahun 1986 Rina bersama group kembali diundang untuk melakukan pertunjukan ke Vancouper, Canada, menampilkan Cak Rina bersama para dosen seni dari ASTI Bali I Nyoman Catra, Bapak Yan Gus, Bapak Berata, Ida Ayu Trisnawati, dan lainnya.
Kala itu Rina masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMKI Bali, karena yang diminta adalah penampilan materi “Cak Tarian Rina” maka Rina pun mengajarkanya untuk menarikan kecak style Rina.
Tahun 1987 Rina melakukan pertunjukan cak di Festival Of Art di Singapura. Tahun 1986 Rina sudah memerankan sebagai tokoh dalam kecaknya. Epos yang dipakai dalam pertunjukan kecaknya memakain wiracerita Sugriwa Subali.
Workshop Kecak Oleh I Ketut Rina Dalam Media Cetak di Jepang | Sumber: File I Ketut Rina
Kiprah Rina dalam kesenian kecak semakin menjulang. Selain itu, Rina juga kerap didatangi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk memberikan workshop kecak, termasuk kepada wisatawan asing seperti; Meksiko, Jepang, Amerika, dan negara lainnya. Rina juga kerap berkolaborasi dengan seniman-seniman dalam negeri dalam sajian seni daerah misalkan tari Zaman-Aceh, tari Sunda, tari Jawa, dan lainnya.
Kegiatan itu dipertunjukan dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda dalam acara Indonesia Berdendang di istana negara, Jakarta tahun 2016. Rina juga mengajar kecak di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Jogjakarta pada acara Indonesian Cruss Cultural tahun 2022.
Menurut Rina, karya ini begitu menarik karena melibatkan para pedagang di wilayah Malioboro, mahasiswa pedalangan, seniman asing dari Australia, ada juga penari dari Aceh, Papua, Kalimantan, dengan mengkolaborasikan musik Sunda, dan juga sinden Sunda. Karya ini dipertunjukan di titik nol Malioboro.
Kiprah Rina dalam seni kecak, juga dilakukan dengan berkolaborasi bersama beberapa artis Indonesia, pemusik, seperti; Agnes Monika, Dwiki Darmawan, Tiga Diva Indonesia, dan lainnya, termasuk disainer dari Jepang Kansayo Mamoto. Dialog budaya juga pernah dilakukan dalam lintas kampus bersama mahasiswa dan rektor perguruan tinggi seni se- Indonesia.
Rina kerap memberikan workshop juga kepada seniman dari berbagai negera yakni India, Jepang, Canada, Amerika, Jepang, yang menginginkan dirinya langsung berbagi tetang kecak style Rina.
Ada juga penari dari Belgia Bernama Argo; salah satu penari profesional sering mengajar juga di luar negeri, yang ingin mendapatkan spirit kecak Rina. Kecak Rina juga kerap ditonton oleh para pejabat mulai dari Bupati, Gubernur, Presiden dari era Soekarno, Megawati, Gusdur, SBY, dan Jokowi termasuk artis International David Coverfil.
Rina juga kerap mengisi acara international di Bali, seperti acara G-20. Rina bersama group kecaknya memberikan sentuhan Garapan baru dalam karya ini. Spirit kecak lebih ditonjolkan dengan gubahan kostum. Kecak Rina bersifat dinamis, tidak harus terikat dari cerita.
Kecak Rina disesuaikan juga dengan acara dan karakter budaya setempat. Rina juga bekerja sama dengan J. Subianto. Garin Nugroho, juga sebagai bintang iklan Gudang Garam, Garuda Indonesia. Rina juga pernah tampil pada acara Miss A World, HUT Kompas Megalitikum Kuantum.
Dalam berkolaborasi, Rina pasti memasukan kekhasan kecak yang dimilikinya. Karatetristik kecak Rina menjadi indentitas dalam karyanya. Dia memberikan energi dalam suasana yang diinginkan oleh lawan mainnya dalam kolaborasi seni yang dilakukannya. Eksplorasi pertunjukan sesuai dengan lingkungan juga menjadi identitas Rina dalam berkarya.
Kecak bersifat fleksibel. Setiap saat pertunjukan kecaknya berubah. Merespon setiap suasana, baik hujan ataupun hal lain yang ada disekitar stage pertunjukan. Saat hujan, dia akan merespon air untuk memberikan sentuhan baru pada karyanya.
Pertunjukan kecaknya tidak terikat oleh cerita. “Apa yang ditampilkan oleh masing-masing pemain kecaknya, sudah mengandung cerita”, ujar Rina.
Kecaknya harus tampil secara totalitas menampilkan dirinya secara serius, totalitas, berenergi, memiliki power diri, dan ekspresif. Hal ini menjadi sangat penting dalam pertunjukan. Identitas kecak Rina juga mempergunakan api dalam pertunjukannya. Elemen api adalah simbol kekuatan yang berfungsi untuk memperindah suasana dan juga penunjang unsur estetik dalam sajiannya.
Dalam setiap penampilannya, Rina selalu memberikan mandat kepada pemain agar setiap pertunjukan kecaknya bisa membius penonton, baik dalam penonton yang berjumlah sedikit sekalipun. Pemain harus tetap serius, tidak boleh ragu-ragu baik dari gerak, ekpresi. “Adakan dialog dengan penoton”, ujar Rina.
Rina juga kerap menyelinap dalam penonton dalam penyajian kecaknya.
I Ketut Rina Bersama “Cak Tarian Rina” | Dokumentasi, I Ketut Rina, Tahun 2005
Rina mempelajari karakter pemain kecaknya. Rina selalu mengarahkan pemain kecaknya untuk mampu menunjukan performa terbaiknya. Pemain kecaknya disarankan untuk rileks tapi serius dalam pertunjukannya. Pemain kecaknya yang berasal dari satu banjarnya memudahkan Rina untuk “mengkontrol” pemainnya. Dibutuhkan kesatuan rasa dalam pertunjukannya.
Apabila ada penampilan dalam jumlah yang lebih banyak, 500-1000 pemain, Rina akan memberikan pengarahan sebelumnya terhadap para pemainnya. Pemain kecak yang berasal dari banjarnya, menjadi pemain inti dalam karyanya yang mampu mengikat pemain lainnya untuk menumbuhkan rasa yang sama. Sehingga nantinya kualitas pertunjukan tetap terjaga. Dia tetap mengajarkan sesuai karakteristik kecak Rina.
Dari tahun 1970 hingga sekarang Rina tetap latihan, berproses untuk melatih dirinya guna menjaga kwalitas seni yang dimilikinya. Proses ini biasanya dilakukan di tempat-tempat terbuka, seperti berteriak-teriak di goa, loncat-loncat kesana kemari sembari menjaga kebugaran tubuhnya.
Rina tetap berusaha menjaga kwalitas pertunjukan dengan prinsip yang dimilikinya. Penghargaan terhadap pemainnya dari segi finansial juga menjadi pertimbangan dirinya dalam menentukan “harga pertunjukannya’. Seniman harus dihargai dengan layak.
Apabila ada tawaran untuk tampil, Rina kerap menanyakan kepada Client-nya, apakah bapak sudah pernah menonton kecak saya? Ini untuk menjaga kualitas groupnya. Dari situ, kita bisa melihat bahwa seorang leader group harus mampu mengayomi pemainnya. Berjuang bersama dan menjaga harga diri bersama-sama.
Pandangan orang awam tentang kecak, memandang setiap pertunjukan kecak memiliki bentuk yang sama. Hal itu sesungguhnya keliru. Setiap kelompok kecak memiliki identitas tersendiri sesuai karakteristik yang dimiliki oleh penciptanya. Karakteristik diri sang seniman akan memberikan rasa baru dalam karyanya. [T]
.
Wawancara penulis bersama I Ketut Rina | Dokumentasi, I Nyoman Mariyana, Tahun 2023