PARTISIPASI adalah istilah yang belakangan jamak didengar oleh masyarakat Indonesia. Ya, ini tentu tidak lepas dari suhu politik yang menghangat. Tidak hanya partai politik yang berharap tingginya partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024, Penyelenggara Pemilu, seperti KPU, dan Bawaslu juga mengharapkan hal yang sama. Kenapa demikian? Tentu sebagai negara demokrasi, partisipasi rakyat menjadi kunci suksesi kekuasaan di Indonesia.
Apabila merujuk tulisan Miriam Budiardjo dalam buku “Partisipasi dan Partai Politik”, yang dimaksud dengan Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
Artinya partisipasi yang bisa dilakukan oleh masyarakat, misalnya memilih pemimpin dan wakil rakyat pada pemilihan umum, menghadiri rapat umum, hingga menjadi anggota partai politik.
Dalam negara-negara demokrasi, seperti Indonesia, konsep partisipasi politik adalah kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan lewat kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan masa depan, selain itu juga menentukan siapa-siapa saja orang yang akan duduk di kursi kepemimpinan.
Jadi bisa dikatakan kalau partisipasi politik adalah penerapan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. So, jadi nggak heran kalau partai politik, KPU, hingga Bawaslu berlomba-lomba untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024, apalagi menjadi salah satu indikator keberhasilan kerja masing-masing institusi.
Namun sayangnya, partisipasi yang terbaca oleh institusi-institusi tersebut hanyalah sebatas hadirnya si pemilik hak suara dan menggunakan hak pilihnya di bilik suara pada pemilihan umum. Padahal partisipasi dapat diaplikasikan dengan bermacam-macam bentuk dan intensitas. Kalau dibuatkan piramida, maka partisipasi politik dapat dibagi menjadi empat kelompok besar.
Pertama, sekaligus sebagai pemilik strata tertinggi adalah kelompok aktivis. Biasanya, kelompok ini mengimplementasikan partisipasi politiknya dengan menjadi pejabat umum, anggota partai politik penuh waktu, pimpinan dari kelompok kepentingan.
Kedua, adalah kelompok partisipan. Biasanya kelompok ini mengimplementasikan partisipasi politiknya dengan cara menjadi petugas kampanye, aktif dalam partai politik atau kelompok kepentingan, hingga aktif dalam berbagai aktivitas sosial.
Ketiga, adalah kelompok pengamat. Kelompok ini biasanya mengimplementasikan partisipasi politiknya dengan menghadiri kegiatan-kegiatan kampanye, anggota kelompok kepentingan, memberikan suara dalam pemilihan umum, berdiskusi dalam berbagai masalah politik, hingga memberi perhatian kepada perkembangan politik.
Sedangkan keempat, adalah kelompok orang yang apolitis. Artinya kelompok ini adalah orang-orang yang tidak melaksanakan aktivitas yang ada di tiga kelompok sebelumnya.
Berkaca dari empat kelompok yang sudah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibaca bahwa kelompok yang paling banyak jumlahnya adalah kelompok apolitis—kelompok yang bisa dikatakan tidak peduli dengan kehidupan politik yang sedang berlangsung di sekitarnya.
Bahkan mereka tidak mau melibatkan diri sama sekali dengan kegiatan-kegiatan yang berbau politik. Dan ini adalah masalah bagi negara yang meletakkan kedaulatan tertingginya di tangan rakyat. Bukankah masa depan bangsa ditentukan oleh rakyatnya? Apa kabar apabila rakyatnya sendiri nggak peduli dengan arah yang akan diambil oleh bangsanya sendiri?
Nyatanya partisipasi tidak hanya sekadar menggunakan hak pilih di bilik suara. Partai politik, KPU, hingga Bawaslu tidak mesti selalu sibuk mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya di bilik suara.
Menggugah kesadaran masyarakat yang masuk ke dalam kelompok apolitis juga menjadi tugas utama dalam negara yang menganut sistem demokrasi, seperti Indonesia. Banyak aktivitas atau kegiatan yang bisa dilakukan oleh rakyat Indonesia untuk berpartisipasi dalam ikut menyukseskan pesta demokrasi lima tahunan ini. Setelah tahu ini, kalian mau berpartisipasi dengan cara apa? [T]
- BACA opini dan esai-esai politik lainnya dari penulis TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA