TARI JOGED adalah kesenian kesayangan kaum bangsawan era keemasan kerajaan di Pulau Bali. Pada masa lampau, joget hanya dipentaskan di lingkungan keraton. Masing-masing puri mengayomi penari joged. Bahkan, hanya raja yang boleh ngibing penari yang dikoleksinya.
Pada tahun 1881, seorang petugas kesehatan Belanda, dokter Yacobs, ketika bertamu di Kerajaan Mengwi, terpesona dengan para penari joged privat sang raja yang elok-cantik berambut panjang tersenyum ramah. Para penari joged yang dijamin hidupnya tersebut, dipingit di lingkungan puri.
Keberadaan tari joged yang tidak boleh dipentaskan di luar tembok keraton itu juga dapat ditemukan di Sukawati. Tersebut, seorang penari joged bernama Ni Wati milik Kerajaan Sukawati yang dijadikan permaisuri (diberi gelar Jero Nyeri) oleh Raja Gianyar, Dewa Manggis VII (1847–1884).
Dalam perkembangannya, pada pertengahan abad ke-19, tari joged menyebar luas dengan beragam ciri khasnya (Gudegan, Leko, Adar, Tongkohan, Gandrung). Tari joged yang pernah dikawal ketat keluarga raja pun, tetap bertahan, bahkan hingga kini, dengan sebutan Joged Pingitan dalam pemaknaan sebagai mustika seni tari luhur, bahkan bergeser posisinya sebagai tari sakral.
Setelah kemerdekaan RI, keberadaan Joged Pingitan ditemukan di sejumlah tempat wilayah Sukawati seperti di Pekuwudan, Batuan, dan Tegenungan. Kemudian pada awal kemerdekaan, Joged Pingitan terlihat kewingitan tariannya dan rancak teduh iringan gamelan bambunya di Peliatan. Konstruksi artistik Joged Pingitan dibingkai alur dramatik, yang lakonnya bersumber dari cerita Calonarang.
Salah satu penari Joged Pingitan legendaris yang dikagumi penonton di tahun 1990-an adalah Ni Ketut Cenik. Di usia rentanya, 88 tahun, ia masih sanggup tampil secara tunggal membawakan sekian peran karakter-karakter pokok cerita Calonarang. Karena totalitas berkesenian yang ditunjukkan Cenik itulah kiranya seni pentas warisan zaman kerajaan Bali tersebut (Joged Pingitan) masih mencoba bernafas ketika itu.
Namun, setelah berpulangnya seniwati sepuh yang dimasa hidupnya selalu tampak ceria ini, Joged Pingitan terpuruk dan ambruk terkubur. Keberadaan sekaa Joged Pingitan, kini, dapat dihitung dengan satu jari tangan saja yang ironisnya, semuanya pingsan. Diantara sekaa itu adalah yang ada di Banjar Pakuwudan, Sukawati, di mana Ni Ketut Cenik menari utamanya. Dulu, bersama Cenik, komunitas seni ini, sesekali masih tampil di lingkungan desanya.
Dilihat dari segi ansambel pengiringnya Joged Pingitan menggunakan barungan karawitan Bali yang termasuk golongan tua. Instrumentasi dari gamelan Joged Pingitan terdiri dari alat-alat berbilah (xylophone) dari bambu berlaras pelog lima nada. Permainan instrumen-instrumen ini mempergunakan sepasang pemukul dengan tehnik yang jalin menjalin.
Salah satu ciri khas repertoar sajian instrumental gamelan ini disebut gandrangan. Saat mengiringi tari, gamelan bambu ini memainkan tabuh-tabuh palegongan (genre tari legong atau Legong Keraton). Selain menyajikan palegongan, Joged Pingitan Pakuwudan selalu menyuguhkan tari Calonarang di mana Ni Ketut Cenik menjadi maskotnya.
Pada masa lalu, diduga kuat antara tari joged dan perseliran mempunyai interaksi yang sangat erat. Joged yang diayomi kaum bangsawan ini harus setia dan siap mengabdi serta mentaati segala perintah raja. Menjadi penari joged milik istana pada saat itu merupakan sebuah kebanggaan yang tiada taranya. Di samping menjadi kebanggaan keluarga, juga menjadi idola masyarakat.
Seorang penari joged koleksi raja, selain kehidupannya dan keluarganya terjamin juga mendapat hadiah sawah. Hadiah-hadiah dan sawah yang diterimanya inilah kemudian menjadi tumpuan hidup para penari bila sudah tak terpakai lagi atau sudah tua dan kembali ke desanya masing-masing.
Joged Bumbung yang kini bergelinjang girang adalah jejak terakhir dari Joged Pingitan. Tapi bila Joged Bumbung khusus mementaskan keriangan ibing-ibingan pasangan penari dan penonton, sedangkan Joged Pingitan tampil serius klasik. Bagian ibing-ibingan-nya berlangsung formal santun. Sajian andalannya, seperti tampak pada Joged Pingitan Pakuwudan adalah tari legong dan drama tari Calonarang-nya.
Foto: Dok. Kadek Suartaya
Dramatari Calonarang Joged Pingitan yang ditampilkan, diawali dengan peragaan tari Sisian (murid-murid Calonarang) dan dilanjutkan dengan tari Matah Gede (Calonarang). Ada pula penokohan Pandung yang bertugas membunuh Calonarang dan terakhir adalah sajian Rangda dan Barong.
Adegen di pekuburan yaitu saat Calonarang unjuk ilmu hitam adalah bagian yang dinanti-nanti penonton. Segenap penghayatan dan interpretasi ngereh yaitu melukiskan proses ngelingse menjadi leak bercanda ria sembari menimang dan mempermainkan mayat orok di tengah malam, membuat penonton bergidik. Sorot matanya yang tajam dan jinjit gerak-geriknya sungguh menyeramkan.
Bila Joged Pingitan menyeramkan dalam pengejawantahan tafsir estetiknya, kini dengan mudah dapat dipergoki tari Joged Bumbung yang tak kalah “garang” dalam mengumbar ketaksononohan jaruh aksinya. Efek joged porno ini sangat “menyeramkan” secara kultural, yang begitu bablas mencoreng moreng kesopansantunan serta mengoyak-ngoyak nilai keindahan martabat salah satu kesenian masyarakat Bali.
Memang, di persada Nusantara ini, gelora birahi tak hanya identik dengan tari joged. Hal serupa dapat pula dijumpai dalam seni pertunjukan Indonesia sejenis lainnya. Pementasan tayub (Jawa Tengah) tak akan lengkap tanpa disertai ulah pengibing yang merogoh kutang dengan alasan menyelipkan hadiah uang di sela payudara penari. Bahkan Ronggeng dan Dombret (Jawa Barat) lebih berbau mesum, akan tetapi biasanya merupakan kesepakan pribadi yang tersembunyi.
Berbeda dengan erotisme vulgar tingkah sejumlah penari dan ulah pengibing tari joged di Bali yang belakangan ini mendunia. Betapa, hand phone (HP) pintar yang kini hampir setiap orang menggenggamnya seakan terasa panas oleh gairah goyang seronok liar konten tari Joged Bumbung belakangan ini, yang berseliweran sambung menyambung. [T]