PESTA Kesenian Bali (PKB) tanpa dokumentasi bagai makan mewah tanpa adanya air. Itu dikatakan fotografer Made Widnyana Sudibya saat memberikan materi dalam program Kriyaloka (Lokakarya) Dokumentasi Seni dan Budaya PKB XLV di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu 1 Juli 2023.
Widnyana Sudibya adalah seorang fotogrefer yang juga dikenal sebagai arsitek dan budayawan. Ia termasuk fotografer yang setia melakukan dokumentasi melalui foto di PKB sejak beberapa tahun lalu. Foto-fotonya banyak tersebar di media sosial maupun di media massa.
“Dokomentasi itu penting (dalam PKB),” kata Widnyana.
Karena dokumentasi itu penting, kata Widnyana, penyelenggara PKB imesti berpikir serius agar dokumentasi itu tetap ada.
“Kita tidak bisa menggelar event yang danannya besar, tetapi dokumentasi tidak ada. Sama dengan makan mewah tak ada air,” ujar Widnyana.
Pendokumentasian itu, kata dia, memang sudah menjadi bagian dari sebuah event, apalagi event kesenian. Hal itu juga dilakukan sebagai bentuk penghargaan kepada seniman. Seniman dan karya-karyanya harus diabadikan dalam dokumentasi, baik foto, video dan lain-lain.
“Mestinya, ketika menyerahkan sertifikat kepada seniman pengisi acara, saat itu sudah langsung disertai dengan penyerahan multi media minimal CD saat mereka tampil. Begitu, seharusnya kalau menghargai seniman,” kata Widnyana.
Pendokumentasian ini penting, lanjut Widnyana, karena hal itu berkaitan erat dengan upaya-upaya penggalian, pelestarian dan pengembangan seni budaya. Dengan dokumentasi kita bisa membandingkan seni budaya kita dengan seni budaya luar, juga pengaruh-pengaruhnya.
Apalagi kini perkembangan pengaruh seni budaya luar juga banyak. “Sekarang dengan mudah kita mengakses seni budaya di luar daerah dan luar negeri, sehingga kita harus tetap kuat pada pondasi kita yaitu seni dan budaya,” katanya.
Saat ini, dan pada masa-masa yang akan datang, kata Widnyana, penggiat dokumentasi tidak hanya bertumpu pada dokumentasi cetak, tetapi juga pada elektronik dan digital.
“Dari tahuan 2005, saya sudah membuat aplikasi terstruktur untuk media-media kedepan. Selain penyimpanan mudah dan gambang, biaya juga murah. Jika dokumentasi cetak, biaya mahal dan rentas rusak,” ujarnya.
Seniman, lanjut Widnyana, sekarang harus memiliki kesadaran untuk mendokumentasikan karyanya. Jangan hanya fokus pada penyiapan teks, sinopsi dan lainnya.
Karya-karya seni sebaiknya dilengkapi dengan gambar dan seni visual, seperti foto dan video. Karya seni harus didokumentasikan melalui visual. Teks bisa saja dibuat dengan indah, tapi jika dilengkapi dengan gambar maka keindahannya akan makin lengkap.
Di sisi lain, pendokumensian tidak bisa dilakukan oleh seniman saja, karena mereka pelaku. Mereka sudah berkreasi, juga berkarya. Yang membuat dokumentasi dengan baik adalah penyelenggara.
“Makanya harus ada kolaborasi antara pelaku seni, pemerintah dan penggiat dokumentasi. Ketiga ini harus gabung,” kata Widnyana.
Dokumentasi itu, kata Widnyana, penting bagi seniman sebagai bahan pembelajaran, bagi seniman untuk berkarya dan pengembangan karya. Penting bagi pemerintah untuk merancang supaya acara lebih baik ke depannya, dan bagi pendokumentasi itu sendiri untuk pengembangan tekniknya.
Sekarang ini ada banyak media dokumentasi visual, namun menurut Widnyana hal itu lebih banyak dipakai untuk kepentingan pribadi. Padahal, kalau berbicara dokumentasi, kita harus menyumbangkan dan berkontribusi pada seni dan budaya itu sendiri.
“Jangan bicara kamera yang mahal, dengan handphone juga bisa. Intinya anak-anak muda lebih pada pendokumentasian pribadi, dan belum bisa disajikan untuk masyarakat banyak,” katanya.
Minat anak muda mendokumentasikan seni dan budaya dengan tujuan lebih luas untuk pengembangan seni budaya itu sendiri mesti dibangkitkan. Caranya, dengan melibatkan anak-anak muda pada setiap event, termasuk PKB.
Pendokumentasian PKB memang mestinya melibatkan generasi muda, seperti siswa dari sekolah fotografi. Mahasiswa dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus mesti dimasukan ke pantia. “Anak-anak yang masuk panitia itu kemudian ditatar diberikan pembelajaran dan tanggung jawab,” katanya.
Generasi muda harus terlibat dan berperan di dalammnya, sehingga ilkim pendokumentasian bisa berlanjut terus karena mereka akan menularkan kepada teman-teman mereka.
Intinya, minat dan niat dari pendokumentasian ini harus ada. Kalau mengundang UKM kampus atau siswa SMK maka mereka akan ikut mencatat.
Taman budaya mempunyai 8 panggung, kalau mereka ditempatkan satu satu di masing-masing panggung maka seni budaya itu akan tercatat. Dari catatan-catatan itulah kemudian dikembangkan program-program dalam setiap PKB agar PKB tidak terlihat sama dari tahun ke tahun.
Dokumentasi itu juga penting untuk mencegah karya-karya seni kita diklaim oleh pihak lain, dan mencegah terjadinya perdebatan panjang di kemudian hari.
Karya seni itu bisa diklaim orang lain. Sebut saja Tari Pendet. Jadi, seniman dan karya seninya penting didokumentasi untuk mengabadikan peristiwa seni itu sendiri, seperti kapan pentas, sekaa dari mana, di mana pentas, tahun berapa dan lainnya.
“Kalau kita tidak mempunyai dokumenasi, jika lantas seni budaya kita diklaim lalu bagaimana cara beragumen,” katanya.
Untuk itulah, kata Widnyana, penyelenggara PKB mesti memikirkan dana pendukomentasian secara lebih serius. Karena sering sekali, dulu, dana pendokumentasian itu sangat kecil, bahkan tidak ada.
Dana pendokumentasian itu diakui memang besar. Sebut saja di PKB mulai pementasan jam 10 hingga jam 12, lalu tak bisa pulang karena jam 2 sudah ada pentas lagi, terus tak bisa pulang karena menunggu pentas jam 5 dan jam 7 pentas lagi.
Jadinya, satu hari penuh di PKB. Lalu, setelah jam 12 itu harus posting di media sosial, maka jam 1 dini hari baru selsai. Semua itu memerlukan dana. Kamera saja harganya 10 jutaan lebih.
Seringkali dalam pendokumentasian itu kamera tidak jadi fokus. Padahal itu adalah alat yang penting.
“Saya bebapa kali habiskan kamera di PKB. Pada PKB tahun 2017, 2018 dan 2019 hampir setiap satu tahun saya mengganti kamera,” kata Widnyana. [T][Ado]