KOLABORASI SASTRAWAN dan perupa tampaknya sedang menghangat di Bali. Setelah kerja sama kreatif antara perupa Made Gunawan dan penyair Sahadewa, lalu respons penyair-perupa Nyoman Wirata terhadap sajak-sajak penyair Pos Budaya, disusul respons penyair Wayan Jengki Sunarta terhadap karya seni instalasi Ketut Putrayasa, kini muncul kolaborasi perupa Wayan Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi.
Hal yang menarik, jika kolaborasi sebelumnya antara karya seni lukis dan puisi, kolaborasi Suklu-Mas Ruscitadewi antara seni lukis dan novelet. Bahkan, kolaborasi ini berlangsung ulang-alik: lukisan Sujana Suklu direspons dengan novelet oleh Mas Ruscitadewi, lalu teks novel Mas Ruscitadewi kembali direspons dengan karya rupa.
Karya kolaborasi itu diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Nawa Sena. Jumat, 23 Juni 2023, buku itu didiskusikan di kantor Kompas, Renon, Denpasar. Dalam diskusi yang dibuka Rektor ISI Denpasar, I Wayan “Kun” Adnyana dan dipandu I Wayan Juniarta itu hadir lima narasumber sebagai pembahas, yakni pakar hukum yang juga budayawan Bali, I Dewa Gede Palguna; guru besar sastra Universitas Udayana, I Nyoman Darma Putra; akademisi dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, I Made Sujaya; akademisi dari Universitas Hindu Indonesia, I Gusti Agung Paramita; serta pendiri Sawidji Art Gallery, Dian Dewi Reich.
Diskusi itu, menurut pemilik Bali Mangsi Foundation yang menjadi penerbit buku Nawa Sena, Hartanto, bertujuan menyiapkan epilog yang akan dimasukkan dalam buku.
Nawa Sena, begitu judul yang diberikan untuk kerja bersama kedua seniman berbeda wahana itu. Pada mulanya, Lawang Nawa Sena merupakan tajuk yang digunakan Suklu untuk menandai konsep dan narasi pembuatan relief di area Yowana Mandala, bencingah Pura Besakih. Lawang berarti pintu gerbang. Nawa Sena diambil dari nama dua tokoh imajiner sebagai representasi dualitas yang bertentangan tetapi sekaligus saling membutuhkan.
Isi buku Nawa Sena | Foto: Ist
Menurut Sujana Suklu, plot dan sekuens Nawa Sena menggunakan bahasa rupa tradisi, sedangkan narasinya mengisahkan kehidupan manusia Bali dengan budayanya. Kisah yang dihadirkan layaknya multiverse nawa dan sena yang bersimulakra dari masa Bali Kuno, Bali masa kini, dan Bali masa depan.
“Perubahan plot tiga zaman tidak implisit pada motif, hanya perubahan kostum sebagai penanda. Reka cerita semacam ini memberi kebebasan membangun plot, multi matra, bersifat ekletik, naratif, sekaligus multitafsir,” jelas Suklu.
Suklu menguraikan kata nawasena berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘masa depan yang cerah, memilii karakter ekspresif, mudah bergaul, nyeni, mudah bicara, menikmati hidup’. Nawa dapat diartikan sebagai tujuan sedangkan sena diartikan kilatan cahaya. Proses dan tujuan ekuivalen sebagai satu kesatuan, saling membutuhkan dan mengimajinasikan.
Dalam literasi masa lampau, imbuh Suklu, nawa berarti Sembilan dan sena tokoh pewayangan. Kata nawasena disatukan atau dipisahkan bermakna luas, imajinatif terologis, sekaligus filosofis.
Karya rupa Lawang Nawa Sena Suklu direspons sastrawan Mas Ruscitadewi ke dalam bentuk novelet. Karena itu, terjadi alih wahana dari visual ke verbal, dari rupa ke kata. Suklu menyebut itu sebagai medium exchange practice atau intermingle, sementara Mas Ruscitadewi menyebut sebagai lango. Hartanto yang menjadi “mak comblang” kolaborasi ini menyebutnya sebagai “senyawa” kreativitas, saling “alih media”.
“Tidak hanya berhenti pada respons sastrawan Mas Ruscitadewi ke dalam novelet atas karya rupa Sujana Suklu, tapi setelah menjadi novelet, Suklu kembali meresponnya dalam bentuk karya rupa. Jadi, ini ulang alik dari rupa ke kata lalu ke rupa lagi,” beber Hartanto.
Hal itu pula, imbuh Hartanto, menjadi keistimewaan kolaborasi Sujana Suklu-Mas Ruscitadewi. Keistimewaan lain, jika biasanya lukisan direspons dengan puisi, kini karya rupa direspons dengan novelet.
“Kalau lukisan direspons puisi kan sudah biasa. Nah, Suklu mintanya bukan puisi. Saya langsung teringat Mas Ruscitadewi untuk merespons. Jadilah novelet Nawa Sena,” tutur Hartanto.
Mas Ruscitadewi juga tampaknya senang merespons karya rupa Suklu. Konsep dualitas dan bentangan Bali masa lalu, masa kini, dan masa depan sejalan dengan minat kreatifnya.
Sebelumnya, doktor filsafat agama Hindu di IHDN Denpasar (kini UHN IGB Sugriawa) ini memang pernah mengadakan penelitian mengenai konsep dualitas dalam teologi kuno masyarakat Bali, yaitu lingga-yoni. Karena itu, tidak butuh waktu lama bagi mantan wartawan Bali Post ini menyelesaikan novelet Nawa Sena.
“Nawa Sena ini sesungguhnya kan juga berangkat dari konsep lingga-yoni. Karena sudah lama mempelajarinya, saya lebih mudah untuk masuk ke dalam karya Suklu,” kata Mas Ruscitadewi.
Buku Nawa Sena | Foto: Ist
I Nyoman Darma Putra mengungkapkan alih wahana dari seni rupa ke seni sastra sudah muncul sejak lama dan sering terjadi. Karya-karya seni rupa tradisional Bali umumnya sebagai respons terhadap karya sastra tradisional, khususnya wiracarita Mahabharata dan Ramayana.
Demikian juga dalam seni pertunjukan. Dalam sastra modern, sudah biasa muncul film yang diangkat dari novel, begitu juga sebaliknya, setelah filmnya laris lalu dinovelkan. Karena itu, relasi antara karya rupa dan karya sastra seringkali diidentikkan dengan hubungan antara ayam dan telor, entah siapa yang duluan. Hal ini seringkali dianggap sebagai lingkaran setan.
“Tapi, saya berpandangan, itu tak usah diperdebatkan. Justru itu merupakan lingkaran jenius karena memperkaya kemungkinan dalam dunia kesenian kita,” kata Darma Putra.
Menurut Darma Putra, dalam Nawa Sena, Suklu dan Mas menyajikan talennya masing-masing. Suklu menyajikan lukisan-lukisan abstrak yang dahsyat, Mas Rus menjadikan lukisan itu sumber inspirasi menulis novelet dengan isi dan bahasa yang sangat kuat.
Darma Putra menggambarkan kolaborasi Suklu dan Mas Ruscitadewi sebagai pasatmian. Ini istilah bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, satmya yang berarti ‘satu dalam hakikat’ atau menjadi satu, dipersatukan. Dilihat dari isi dan spiritnya, lukisan Suklu dan tulisan Mas Rus telah menyatukan zat-zat atau sifat dasarnya seperti disimbolkan pertemuan tokoh Nawa dan Sena.
I Gusti Agung Paramita juga menilai Nawa Sena sebagai pertemuan estetik dua insan yang diawali oleh kesepakatan: sepakat untuk tidak saling meniadakan, sepakat untuk tidak saling mengalahkan, dan sepakat untuk membangun dunia estetiknya masing-masing. Dia menggambarkan relasi Nawa Sena dengan mengutip istilah Jawa Kuno, yakni surup sumurup, saling memasuki. Nawa menjadi Sena, Sena berpotensi menjadi Nawa.
Meski berangkat dari karya rupa Sujana Suklu, novelet Mas Ruscitadewi masih tetap bisa dinikmati sebagai karya mandiri. Dalam merespons karya rupa Sujana Suklu, Mas Ruscitadewi tidak memindahkan begitu saja bentuk visual menjadi verbal, tetapi melibatkan kerja interpretasi yang sangat dipengaruhi oleh wawasan dan pengalaman puitiknya sebagai sastrawan.
Boleh jadi, seseorang yang awalnya menikmati lukisan Sujana Suklu memunculkan imajinsasi yang berbeda setelah membaca novelet karya Mas Ruscitadewi. Hal ini erat kaitannya dengan karakter rupa dan kata yang membebaskan sekaligus memenjarakan. Hal itu menunjukkan, walaupun dikatakan merespons karya rupa, novelet Mas Ruscitadewi tetap bisa dibaca sebagai karya mandiri.
Hal itu dibuktikan oleh Dewa Palguna. Dia mengaku awalnya tak tahu jika novelet itu sebagai hasil kerja kolaborasi dengan perupa Sujana Suklu. “Saya awalnya dikirimi naskah noveletnya saja. Jadi, walau berangkat dari karya rupa, novelet Nawa Sena yang dikerjakan Mas Ruscitadewi dapat dibaca sebagai karya mandiri,” kata Palguna.
Palguna menilai dalam Nawa Sena, kedua seniman saling menggugat eksistensi mereka masing-masing sekaligus menghadirkan kediriannya. Melalui simbolisasi tokoh Nawa dan Sena, Palguna menemukan karya itu sebagai sebuah guguatan walaupun pada ujungnya memberikan harapan seperti dicerminkan oleh tokoh Pradnya yang merupakan anak dari pertemuan Nawa dan Sena.
Jika para narasumber lain menyoroti dimensi seni pada karya kedua seniman, Dian Dewi Reich menyoroti pada aspek proses penggarapan hingga akhirnya buku itu didiskusikan sebagai sebuah seni juga. Menurutnya, meski disebut “sangat Bali”, Nawa Sena juga sangat unversal.
Rektor ISI Denpasar, I Wayan ”Kun” Adnyana saat membuka diskusi menyatakan kerja bersama atau interaksi antara perupa dan sastrawan sebagai upaya menggali dan memahami kehidupan, yang penuh puitika dan penuh saling sapa.
”Fiksi sastra dan diksi rupa yang dikembangkan Sujana Suklu dan Mas Ruscitadewi mengajak kita untuk memaknai kehidupan dengan berbagai sudut pandang,” kata Kun Adnyana. [T]