PADA Hari keempat saya di Pulau Lombok, saya melanjutkan perjalanan ke daerah Sembalun. Saya sampai di Desa Sembalun Lawang. Desa itu berada di Kecamatan Sembalun, Nusa Tenggara Barat.
Desa ini menjadi salah satu pintu masuk para pendaki Gunung Rinjani. Para pendaki itu datang dari berbagai penjuru dunia.
“Dari Sembalun, waktu yang di tempuh untuk ke Rinjani relatif lebih singkat dan cepat,” kata seorang karyawan di tempat saya menginap.
Suasana Desa Sembalun dan bawang sebagai hasil pertanian | Foto: Dok Don Rare
Di samping itu Sembalun Lawang juga dikelilingi oleh enam puncak yang seakan menjadi penjaga Gunung Rinjani. Enam puncak itu adalah Bukit Sempana (2329 MDPL), Lemba Gedong (2200 MDPL), Kondo (1934 MDPL), Anak Dara (1923 MDPL), Pergasingan (1806 MDPL), dan Bukit Bao Ritip (1500 MDPL).
Data-data itu saya lihat ditempel di sebuah bangunan saat akan check –in di penginapan. Apakah Sembalun hanya cerita tentang gunung dan bukit? Ituyang menjadi pertanyaan saya .
Suasana Desa Sembalun | Foto: Dok Don Rare
Sembari berkeliling Desa Sembalun Lawang saya menyusuri jalanan desa. Berhenti di kebun sekaligus warung kopi dengan latar Rinjani. Nikmatnya sudah tidak bisa ditakar lagi. Sampai di pintu masuk para pendaki di sembalun saya memutuskan untuk berkeliling kembali.
Tepat menjelang matahari akan kembali ke peraduan, saya menuju ke sebuah jalan berbatu dan berdebu. Jalan kecil dengan sekeliling rumah penduduk. Sampai di ujung jalan, saya menyeberangi jembatan bambu dan tak disangka saya tiba pada area pertanian di desa itu dan bertemu dengan seorang petani laki-laki.
Namanya Amak.Nika. Nama yang unik karena setelah mencatat namanya ia menyuruh saya mengisi tanda titik (.) di antara kata Amak dan Nika. Tertulis namanya Amak.Nika. Tapi, agar tak salah paham, baiklah saya tulis saja Pak Amak.
Amak.Nita dan saya | Foto: Dok Don Rare
Lelaki sederhana itu berumur 40 tahun. Memiliki dua anak. “Satu anak masih SMP, satu lagi masih TK,” kata Pak Amak.
Ladang yang di kelola hanya 12 are saja. Ini juga yang bikin saya terplanga-plongo. Lahan sedikit itu ditanami cabai, tomat dan bawang merah. Pak Amak menjadi petani sejak tamat sekolah dasar. “Menjadi petani karena memang tidak ada yang bisa dikerjakan selain bertani,” tegas Pak Amak.
Pak Amak memang lelaki sederhana.
“Pergi ke ladang pagi dan pulang sore setelah matahari terbenam adalah kehidupan yang harus dijalani sebagai seorang petani,” bisik Pak Amak.
Tanaman yang ditanam juga yang bisa lebih cepat panen dan menghasilka cash flow. “Sebut saja cabai yang bisa panen dalam waktu enam bulan, tomat yang panen tiga bulan dan bawang merah selama dua setengah bulan,” imbuhnya.
Selain itu Pak Amak juga menanam beberapa lajur bawang prei dan arcis (kacang kapri). Menariknya, tanaman-tanaman itu khusus ia tanam pada saat musim kemarau.Namun nanti pada saat musim hujan tiba ia akan menanam padi di lahan dekat Rinjani.
“Meski hasil tidak seberapa, tapi dijalani saja menjadi petani,” imbuhnya.
Bagi Pak Amak, menjadi petani adalah jalan hidup. Semua sudah diatur. “Kalau pun hasil tak banyak saya bersyukur ada saja hasil dan dengan alam yang seperti ini,” kata dia sambil menunjuk pada gunung dan bukit yang mengelilingi lahannya. “Ini adalah kemewahan,” lanjutnya.
Sekali lagi saya harus menilik kembali dan bertanya lagi berapa petani yang masih tersisa dan menpunyai prinsip seperti Pak Amak? Semoga saja masih ada. [T]
Pintu masuk pendakian ke Gunung Rinjani | Foto: Dok Don Rare