“POLLING IS POLITIC” kata cendekiawan Daniel Dhakidae. Ungkapan almarhum mantan manajer Litbang Kompas tersebut tampaknya tepat menggambarkan kondisi Indonesia pasca reformasi. Ada kesadaran untuk mendengarkan suara publik melalui jajak pendapat (polling), seiring demokratisasi yang berkembang di negeri ini.
Setidaknya, gegap gempita hasil polling makin terasa menjelang hajatan lima tahunan pemilihan umum (Pemilu). Seperti saat ini, kian dekat pelaksanaan pemilu 2024, semakin banyak lembaga-lembaga survei mempublikasikan hasil jajak pendapat tentang preferens Pemilu.
Hasilnya selalu menarik perhatian publik, karena akan ditampilkan siapa partai politik (Parpol) atau kandidat calon presiden dan calon wakil presiden (Capres/Cawapres) yang paling unggul dan siapa yang kalah popular. Setelahnya, hampir selalu diikuti debat tentang hasil polling, baik menyangkut metodologi ataupun rasionalisasi temuannya.
Bagi pihak yang kalah unggul bisanya akan meragukan hasil jajak pendapat, dengan tuduhan metodologinya meragukan atau dugaan polling pesanan. Sebaliknya, pihak yang diunggulkan akan terus mengglorifikasi hasil polling tersebut.
Beitulah, keramaian ini akan terus berlangsung sampai nanti menjelang Pemilu. Dengan kata lain, polling akan menjadi bagian wacana publik yang terus hangat di tahun politik.
***
Dari sudut pandang komunikasi, publikasi polling adalah upaya penciptaan opini publik. Menunjukkan siapa yang dominan dalam masyarakat itu penting, menurut teori Spiral of Silence. Teori yang digagas oleh Elisabeth Neuman ini berasumsi bahwa orang akan cenderung mengkonfirmasi suara mayoritas.
Orang takut terisolasi secara sosial, sehingga mereka yang memiliki pilihan minoritas atau anti mainstream cenderung diam. Mereka ini akan tertekan suara mayoritas, ibarat uliran dalam spiral yang terus menekan ke bawah.
Polling pun memiliki fungsi ganda, selain menyajikan data sebagai bahan pengambilan keputusan, juga berfungsi promosi, khususnya bagi yang diuntungkan oleh hasil polling tersebut. Bagi yang skeptik, bahkan polling saat ini lebih ditujukan untuk fungsi yang kedua ini. Itulah kenapa terus saja ada tuduhan polling pesanan. Jadi, praktis, polling adalah salah satu strategi kampanye yang efektif saat ini.
Dalam logika kampanye, menurut teori Spiral of Silence, publikasi polling memiliki relevansi dalam dua tujuan. Pertama, menunjukkan siapa kandidat yang mayoritas dipilih publik akan mengamplifikasi suara para pendukungnya. Mereka akan semakin percaya diri untuk menunjukkan pilihannya.
Kedua, mempublikasikan kandidat pilihan mayoritas di sisi lain juga akan menekan suara para pendukung kandidat yang tidak diunggulkan. Ada ketidaknyamanan untuk menunjukkan pilihan ketika mereka merasa pilihannya itu minoritas.
Di sini, peran media menjadi startegis. Selagi media menyediakan ruang bagi publikasi polling, maka fenomena suara mayoritas vs suara minoritas akan terus terjadi.
Namun, kepercayaan orang pada hasil polling bisa saja terjadi ketika ada hasil yang saling bertentangan di antara lembaga survei, padahal polling dilakukan pada saat yang hampir bersamaan, dengan metode yang serupa.
Pada akhirnya, fenomena ini menegaskan asumsi dalam retorika bahwa kredibilitas (ethos) adalah salah satu kunci keberhasilan komunikasi.[T]