//”Tidak!” potong Kumbhakarna. “Jangan kausamakan diriku dengan dirimu. Engkau seorang negarawan. Penglihatan dan perhitunganmu pasti telah melampaui zaman. Sebaliknya, aku tidak memiliki jangkauan pemikiran demikian. Percayalah, aku tidak memusuhi Rama. Aku perang hanya demi tanah air semata.”//
NAMANYA Kumpi Buta, nenek dari ibu saya. Dipanggil Kumpi Buta karena beliau memang benar-benar buta. Kendati buta, tapi dialah pencerita paling piawai yang saya kenal. Saban malam, bersama bibi, misan-mindon tiduran di Bale Dauh, di rumah nenek yang tak seberapa luas.
Terkenang inilah “sekolah” pertama saya—saat mana di kampung belum ada sekolah Taman Kanak-Kanak. Dan Kumpi Buta adalah seorang penutur yang saban hari menyampaikan cerita-cerita yang tak pernah habis saya reguk menjelang tidur—seperti mengobati dahaga lain. Memberi kanal batin ini nutrisi jiwa, orang Bali menyebutnya sebagai amreta jiwa.
Ada cerita yang tak bisa saya lupakan sampai hari ini, judul yang diberi Kumpi saya ” Karebut Kumbhakarna”, belakangan saya tahu sumbernya dari kakawin Ramayana, literasi paling tua di nusantara, ditulis Mpu Yogiswara, hampir seribu tahun silam, tepat di bulan Agustus 1084.
Entah, bulu tengkuk saya dibuat merinding mendengar cerita ini. Mungkin saya terperangkap penjiwaan Kumpi Buta bercerita. Bila ia mengerang, gunung-gunung, samudera, bumi dibuat berglojotan. Bila ia makan, ia dihidangkan makanan serba lesat, serba banyak. Ribuan celeng, daging singa, harimau, kera ludes sekalian. Kemudian tidur kembali dalam waktu bertahuan-tahun.
Sungguh susah membangunkan raksasa penidur ini. Bila ia hendak dibangunkan, segala bunyi-bunyian, gong, gamelan, air panas, tombak, batu-batu harus disertakan. Kulitnya tak mudah dilukai, api tak juga bisa membakarnya. Konon menurut Kumpi saya saat itu, Kumbhakarna mendapat anugerah Batara Brahma karena tapanya yang keras. Saraswati, dewi penguasa lidah lalu membelokkan permintaan Kumbhakarna.
Dan ia pun keseleo lidah, di mana niat awal ia memohon supaya diberi anugerah bahagia senantiasa, kata-katanya meleset, lalu ia mengucapkan ingin diberi anugerah tidur bertahun-tahun. Itulah gambaran awal saya mengenai tokoh Kumbhakarna, sosok besar, sakti mandraguna dan mengerikan dari Ramayana.
Nun di suatu hari, saban odalan di pura kawitan, saya suka memperhatikan lukisan ider-ider wayang Kamasan. Kebetulan saat itu ider-ider pura kawitan saya bergambar lukisan wayang Kamasan—baik itu lukisan-lukisan dari kisah Ramayana dan Bharatayuddha, Sutasoma, dan lain-lain.
Saat itu saya suka adegan-adegan perang, yang paling menyita perhatian saya adalah, adegan perang Kumbhakarna dengan pasukan kera. Tubuhnya yang sebesar gunung itu direbut ribuan kera. Lalu ribuan kera itu termakan seketika. Kumpi saya menamai peristiwa ini: Karebut Kumbhakarna. Dan episode ini melekat hingga kini.
Namun bersamaan dengan berlalunya waktu, pemahaman pada tokoh ini pelan-pelan saya pahami dari pertunjukkan wayang kulit di kampung. Satu pembelajaran lisan yang sungguh berarti—sebelum nantinya saya memasuki budaya literasi, membaca adaptasi Ramayana dari karya masyur Herman Praktikno—judulnya “Hamba Sebut Paduka Rama Dewa”. Terbit pertama kali di tahun 1962—sementara edisi revisi terbit kembali tahun 1983.
Tiga puluh enam tahun kemudian, tepatnya tahun 2011, Kompas menerbitkan ulang buku ini dengan judul yang sama. Di situ, ibu Edi Sedyawati, arkeolog kenamaan Indonesia memberi kata sambutan dengan tajuk: “Menafsirkan sebuah tema besar”.
Memang, di samping rujukan yang melimpah, Praktino adalah seorang penafsir yang terbuka, seorang dalang yang tak pernah meninggalkan visi rohani kultur lokal bernama “dunia Jawa”. Di mana cerita dari sumber yang jauh itu menjadi saakan milik sendiri, tumbuh, berkembang dalam tanah baru bernama budaya Jawa.
Buku-buku Ramayana edisi cetakan, apalagi edisi terjemahan, telah begitu banyak diterbitkan, tapi jarang ada penulis yang mengali lembar-lembar episode itu perihal bagaimana tradisi memberi tafsir sejak cerita “asing” dari India ini dibumikan di Jawa dan Bali, terutama dari tradisi para dalang, yang selalu memberi tafsir baru untuk cerita carangannya.
Namun ada dua adaptasi yang pantas dicatat untuk hal ini, layak dibaca untuk menyuburkan kanal intuitif—memberi kita gambaran-gambaran kaya, dengan kedalaman makna berlapis-lapis. Dua buku dimaksud adalah, Anak Bajang Menggiring Angin (Oktober, 1983) karya Sindhunata dan Kitab Omong Kosong (Juli, 2004) karya Seno Gumira Ajidarma.
Kelampauan, nilai-nilai, cerita lama: mitos dan legenda selalu menjadi segar di tangan dua penulis ini, karena ia tak mau meninggalkan kultur lokal sendiri dari kejeniusan para dalang dan kultur dunia Jawa.
Pertanyaan kemudian, apa hubungan tiga buku itu dengan tokoh Raksasa Kumbhakarna? Setidaknya, sebelum membaca acak teks Uttara Kanda dan Kakawin Ramayana, dari situlah sosok Kumbhakarna saya baca, tentu dengan lapis-lapis pemahaman yang tak pernah tuntas, apalagi paripurna.
Lalu siapa sesungguhnya Kumbhakarna itu? Penggalan kisahnya bisa kita simak dalam leterasi Hindu Jawa, Uttara Kanda, berbahasa Jawa Kuna. Sebuah teks yang digarap zaman Raja Darmawangsa Teguh dalam proyek “Mangjawaken Byasamata”—meminjam istilah yang dipopulerkan penekun sastra Jawa Kuna IBG. Agastia.
Kisah Kumbhakarna dari Uttara Kanda diawali dengan liturgi diri mati raga. Di situ, Bhagawan Waisrawana, putra bhagawan Wisrawa dan cucu bhagawan Pulastya, yang merupakan salah satu putra dewa Brahma, menerima dari Brahma selaku pelindung salah satu dari empat bagian dunia, di samping dewa Indra, Yama, dan Baruna, lagi pula boleh menetap di Lengkapura. Tempat itu pernah didiami para raksasa yang dalam peperangan melawan para dewa, dikalahkan dewa Wisnu lalu pindah ke alam bawah.
Sumali, raja para raksasa, ingin mempunyai keturunan yang sama kuat seperti Waisrawana. Ia berhasil menghadiahkan anaknya Kaikasi sebagai istri kepada Wisrawa, ayah Waisrawana. Ia melahirkan empat anak, juga raksasa seperti dirinya sendiri, tiga anak laki-laki itu Dasamukha, Kumbhakarna, dan Wibhisana, dan satu anak perempuan, yaitu Surpanakha.
Ketiga anak laki-laki itu juga melakukan tapa sekuat tenaga. Sehingga dewa Brahma mengabulkan permohonan mereka masing-masing. Dasamukha mohon dan memperoleh kekuasaan terhadap tiga dunia. Wibhisana agar ia memiliki setiap macam kebijaksanaa. Ketika tiba giliran Kumbhakarna mengajukan permohonan, para dewa merasa takut, kalau-kalau seluruh dunia akan musnah.
Para dewa lalu mengutus Saraswati, dewi tutur kata, memasuki lidahnya. Sebagai akibat, maka dengan melawan kemauan sendiri, dan tanpa disadari, ia mohon agar dapat tidur seribu tahun lagi, dan Kakawin Ramayana lalu menambahkan, ia terpaksa dibangunkan hanya untuk menghadapi perang. Dan Rahwana ketika ia mulai keteter membangunkan Kumbhakarna dengan susah payah.
Kakawin Ramayana menuliskan adengan ini begitu detail, seram, mengerikan. Dentuman gambelan, siraman air panas, tusukan tombak, lemparan batu-batu cukup lama membuat Kumbhakarna bisa tersadar dari tidurnya yang lelap.
Kendati toh Kumbhakarna bangun akhirnya, saat mana ia mendengar dialog Sumali tentang inti hakikat kesadaran. Ia bangun dengan amat marah, dan ketika berjalan membuat bumi bergoyang. Semua isi hutan lari pontang-panting.
Ketika Rahwana menyuruh Kumbhakarna berperang untuk membela dirinya, ia menolak lalu balik menasihati Rahwana, bahwa apa yang dilakukan adalah tindakan yang merugikan kerajaan dan kemartabatan kaum rakasasa. Rahwana tidak terima nasihat panjang lebar itu, membentak, menghardik balik Kumbhakarna dengan kata-kata hinaan.
Kumbhakarna pun akhirnya berperang, namun tidak dalam pemenuhan membela Rahwana yang jahat itu. Ia berperang demi tugas yang lain, ia berperang demi tanah air Alengka yang telah memberi hidup berlimpah, entah ia mati, entah ia hidup, itu persoalan lain.
Memang dibandingkan dengan Wibhisana, sang adik, Kumbhakarna mengambil jalan berbeda. Wibhisana memilih Rama, wujud dari kebajikan dan keselamatan dunia. Sementara, Kumbhakarna memilih tanah air yang telah memberinya hidup.
Kumbhakarna bukan tidak berani berontak pada sang kakak, Rahwana—alasan paling tepat ia tidak mungkin melakukan itu, karena betapa di masa kecil Rahwana selalu membimbingnya. “Sebagai putra Alengka aku wajib berbakti kepada tanah air,” demikian Herman Praktikno membahasakan isi hati Kumbhakarna kepada Wibhisana.
Ketika Wibhisana mempertanyakan sikap Kumbhakarna yang bertindak dengan perasaan, Kumbhakarna menyatakan tidak.
“Tidak!” potong Kumbhakarna. “Jangan kausamakan diriku dengan dirimu. Engkau seorang negarawan. Penglihatan dan perhitunganmu pasti telah melampaui zaman. Sebaliknya, aku tidak memiliki jangkauan pemikiran demikian. Percayalah, aku tidak memusuhi Rama. Aku perang hanya demi tanah air semata.”
Sampai di sini kita memasuki satu spekulasi apa saya maksud sebagai Kumbhakarna Tattwa. Bahwa penggalan cerita ini memiliki lapis atau irisan-irisan kesadaran yang berbeda dengan Wibhisana, dan dengan terang Kumbhakarna menyatakan; ia tidak memusuhi Rama. Ia hanya terpanggil oleh lapisan kesadaran perihal tanah air, yang ia pandang sebagai “Ibu Alengka”. Dan lapisan-lapisan kesadaran itu bolehlah kita pahami sebagai tattwa—di mana inti kesadaran tunggal kelak disepakati sebagai “sarining tattwa”.
Bila pembelaan Wibhisana lebih pada nilai-nilai, kebajikan-kebajikan semesta hidup sebagai seorang pengganti raja—yang jelas ia sangat paham darma raja, namun tidak demikian dengan Kumbhakarna. Yang ia pilih justru hal-hal di lapisan fisikal-material, membala tanah air, tak peduli dari siapapun serangan itu.
Sikapnya jelas, entah hidup, entah ia gugur, tak penting akhir dari pilihan itu—semua demi tanah air, yang telah memberi dia hidup, kenikmatan, tanah yang memberi segalanya. Apakah mungkin Kumbhakarna meninggalkannya? Inilah sisi kebenaran Kumbhakarna.
Lalu Wibhisana berpikir dalam lapisan kesadaran lain, ia lebih membela kebijaksanaan, lebih membela nilai-nilai, ia mengutamakan dharma raja, wajib hukumnya melindungi siapa saja yang datang memohon perlindungan. Dan Rama adalah teladannya.
Ketetapan hati Wibhisana telah sesuai dengan permohonan tapanya yang kuat, mendapatkan segala kebijaksanaan. Tapi terpilih di posisi Kumbhakarna juga penting—sebagai si penidur dia tidak meninggalkan kerajaannya, ia takluk pada tanah airnya, ia berperang demi ibu pertiwi yang telah merawatnya.
Pertanyaan kini, bila diukur, ditimbang dengan kesetiaan, siapakah gerangan lebih tinggi, Kumbhakarna atau Wibhisana? Lagi-lagi satu presisi mesti diperbincangakan, bila kita ditanya soal kesetian, kesetiaan ala siapa lebih tinggi?
Kumbhakarna bersetia pada “ibu” pertiwi, sebagai pusat sarwa tattwa, tanah air, penyandang, penyusu segala yang hidup. Sementara Wibhisana bersetia pada langit kebijaksanaan, walau dia harus meninggalkan tanah air—membiarkan negaranya dihancurkan tentara Rama.
Atau bila spekulasi saya benar, jangan-jangan Kumbhakarna tengah melakukan Raja Yoga, yoga di jalan pedang, yoga di jalan kesatria, di medan tempur bernama “rana yajna”. Dan sampai di sini, saya berusaha tidak memberi jawaban, memberi jawaban sama artinya mendifiniskan, mendifinisikan sama artinya dengan memenjara pikiran, mengempang tafsir kebijaksanaan yang mengalir senantiasa—itulah sanatana dharma—karena di kanal itu kebenaran terus mengalir. [T]
Kusa Agra, Anggara Kliwon, Purnama Kasanga, 19 -2-2019.