HARI HARI TERAKHIR, laman media sosial saya dipenuhi foto dan berita reuni sekolah teman teman media maya saya. Ada yang reuni SD, SMP, SMA dan kuliah, untungnya tak ada yang mengadakan reuni teman seangkatan TK. Yang saya lihat adalah wajah wajah gembira dari para peserta reuni. Hampir tak satu-pun yang memperlihatkan muka cemberut.
Saya membayangkan mereka yang ikut reuni kebanyakan adalah mereka dengan pribadi extrovert, orang yang suka keramaian, yang mendapat energi dari pertemuan dengan banyak orang. Tapi benarkah demikian adanya, tidakkah para introvert seperti saya bisa juga menikmati suasana itu seperti mereka?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya iseng berkomunikasi dengan beberapa sahabat yang baru saja melaksanakan reuni, entah SMP, maupun SMA. Entah dia sebagai peserta fasif ataupun menjadi inisiator dan organisator pelaksanaann reuni tersebut. Dan ternyata saya mendapatkan jawaban yang cukup beragam dan ada yang mengejutkan.
Seorang teman mengeluh begini, “Aku kecewa, ternyata tujuan kita mengadakan reuni, harapan kita biar ketemu sahabat lama ternyata menyisakan kegelisahan tentang cara kita memandang sebuah persahabatan. Apa saya yang terlalu berharap akan indahnya sebuah pertemuan kembali, tapi ini lho sudut pandang saya seorang extrovert, bagaimana menurut pandanganmu, yang kutahu seorang introvert?“
Begitu seorang teman menumpahkan perasaannya pada saya. Kebetulan saya sendiri habis reuni besar angkatan SMA kami di Kintamani beberapa bulan yang lalu, dan tak ada kata lain selain bahagia yang bisa saya ingat tentang acara tersebut. Jadi saat sahabat saya menyampaikan keluhannya itu , saya tergerak untuk menganalisanya lebih lanjut untuk dituangkan dalam tulisan ini.
Penulis (saya) paling kiri dan teman-teman saat reuni | Foto: Dok Ketut Suantara
Sesuai pertanyaan yang diajukan, saya akan coba melihatnya dari dua sisi. Secara umum bagaimana orang orang memaknai sebuah reuni sekolah, yang kedua bagaimana kegiatan reuni ini dari sudut pandang orang introvert, mereka yang tak menikmati keramaian, orang orang yang butuh kesunyian untuk me- recharge kembali energi hidupnya.
Dari percakapan dengan beberapa sahabat, setidaknya saya bisa membagi 3 kriteria orang memaknai sebuah reuni sekolah, yaitu :
1. Yang menganggap kegiatan ini penting, bahkan sangat penting. Kapan lagi kita bisa bertemu teman sekolah, teman ber-seragam putih abu abu dalam suasana santai, riang gembira. Mengenang kembali kebersamaan kita puluhan tahun yang lalu. Teman adalah harta yang tak bisa dicuri dari kita, ajaran Ikagai Jepang mensyaratkan harmonis dan luasnya hubungan sosial untuk hidup yang lebih panjang dan berkualitas. Dan tak saya ragukan lagi, mayoritas sahabat saya masuk dalam kriteria ini, terlihat dari cara mereka menikmati acara tersebut
2. Yang menganggap ini kegiatan kurang penting. Apa sih yang bisa diharapkan dari kegiatan reuni kita, selain hanya buang buang waktu, tenaga dan uang. Ini mungkin bagi mereka yang telah mapan, punya karier bagus, pekerjaan dan penghasilan yang besar. Menganggap waktu adalah uang. Atau mereka yang idealis , memperhitungkan setiap aktivitas mestilah ada tujuannnya.Tapi satu yang sama diantara dua orang ini adalah bahwa mereka tak memandang penting arti pertemanan. Teman bisa datang dan pergi kapan pun, seperti daun jatuh tertiup begitu mungkin pikir mereka. Atau mereka yang punya motif tertentu saaat membina sebuah persahabatan. “Ngapain hari hari gini reuni, menjelang pemilu lagi jangan jangan? “…nah, mungkin ada yang berpikiran seperti ini.
3. Mereka yang bersikap netral. Ada reuni , kalau ada waktu datang, kalau tak sempat ya tak apa-apa, hidup masih tetap berjalan tanpa adanya reuni-reunian begini. Mereka biasanya adalah individu yang dihinggapi sindrom inferioritas, menganggap diri kalah, tak sebanding dengan teman teman sekolahnya. Entah dari sisi pekerjaan, kedudukan sosial dan terutama finansial.” Uang segitu (biaya reuni) besar lho artinya buat kami, lebih baik untuk beli beras makan keluarga !”, itu barangkali alasan yang muncul saat diajak ikut reuni.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana anda dengan pribadi kurang terbuka memaknai arti sebuah reuni sekolah, itu yang perlu saya paparkan, agar tak rugi waktunya berdiskusi dengan saya,
Saya akan menjawabnya secara apple to apple, membandingkan langsung dengan apa yang saya alami , dengan kriteria yang sama, yaitu masa SMA, dengan waktu yang tak berbeda jauh. Dan masalah lokasi pelaksanaan saya rasa tak terlalu berpengaruh signifikan.
Jujur, sebagai seorang yang idealis saya juga megharap ada sedikit nilai tambah dari kegiatan kumpul banyak orang begini, generasi Y yang lahir menjelang tahun 80 an, pada saat teknologi telah maju mestilah punya sebuah keprihatinan khusus tentang nasib bangsanya dan bukan sekedar nyanyi dan joged bareng seperti yang dicontohkan televisi kita.
Saat ada waktu berbicara di depan, saya selipkan pesan sastra, kegemaran saya dihadapan seratusan teman angkatan saya yang hadir pagi itu di bukit Kintamani yang dingin.”Cerita kita, bagaikan pencuri ulung yang masuk dan bersembunyi di sudut ingatan kita, dia akan hadir kembali saat tiba waktu kita memanggil, dan mengingatnya,“ begitu saya mengutip kata kata AS Laksana. Entah apakah ada yang masih ingat dengan kata kata indah ini diantara para sahabat saya yang hadir disana.
Dan untuk lebih jujurnya lagi, motivasi utama saya untuk hadir dan bertemu kembali teman teman lama saya adalah untuk bisa melakukan , memperlihatkan apa yang dulu tak bisa dan tak sempat saya lakukan saat masih berseragam putih abu-abu dulu. Tapi dari segi positif pastinya.
Saya dulu anak kampung yang sekolah ke kota, tak cukup percaya diri untuk maju ke depan kelas, bicara depan orang banyak, bercanda dengan teman baru apalagi lawan jenis. Sebagai anak yang terlihat serius tak banyak yang berani untuk mengajak bercanda. Karena nilai cukup bagus, dari kelas 1 sampai tamat tak pernah pindah kelas. Selain teman sekelas dan teman yang pernah main ke kost-an, tak banyak yang tahu nama saya. Mungkin tak lebih dari 50 orang teman saya, dan yang cukup akrab mungkin kurang dari setengahnya.
Dan saya merasa hari inilah saatnya saya menunjukkan siapa diri saya yang sesungguhnya, orang yang ramah, tak canggung untuk memulai pembicaraan duluan, bercanda dan yang terpenting, dibalik wajah serius saya ada sedikit selera humor yang belum sempat mekar. Adanya media sosial hari ini cukup mengkondisikan suasana pertemuan kembali, mereka yang pernah bersama satu sekolah di tempat dan waktu yang sama ini. Percakapan di WAGS, unggahan di face book cukup mendekatkan kembali hubungan komunikasi diantara kami.
Reuni Smansa | Foto: Dok Ketut Suantara
Akhirnya hari itu tiba, se-ratusan alumni Smansa Singaraja yang tamat tahun 1995 menautkan diri di satu tempat, datang dari segenap penjuru, ibu kota negara, ibu kota propinsi maupun daerah lain. Menyempatkan waktu untuk bisa bertemu lagi, pada satu waktu yang tak mesti bisa terulang kembali. Ada canda, tawa ceria, guyonan, nyanyi bersama, ngibing jogged, makan dan foto bersama.
Dan saat yang saya harapkan tiba, sesi berbagi cerita pengalaman saat masih berbaju putih abu abu untuk diceritakan di depan semua yang hadir, dan saya kuatkan tekad untuk maju ke depan, menuntaskan misi yang tertunda. Mungkin karena waktunya yang kurang pas, saya maju saat acara mau berakhir, habis makan bersama, beberapa teman sudah ada yang balik ke kotanya. Tapi tak apa, setidaknya saya sudah berusaha ikut mewarnai suasana pertemuan yang hangat ini.
Di satu sisi saya puas karena sempat bicara ke depan, setidaknya nanti ketemu di jalan teman teman saya ingat, ooo yang cerita ke depan saat reuni kemarin itu ya, tak ada salahnya kan. Untuk tujuan menunjukkan sisi humor, saya merasa gagal total, saat saya menunjukkan sebuah joke, tak ada satupun yang tertawa. Saya jadi penasaran, apa saya yang memang garing, atau selera humor mereka yang tak cukup bagus. Baiknya saya ceritakan sedikit disini, pidato kebudayaan saya hari itu, mungkin ada yang ingin tersenyum setelah membacanya :
Pada suatu waktu saya unggah di status di medsos saya, foto bersama teman SMA yang kebetulan muslim dengan kalimat seperti ini, bersama teman SMA saya, Ali M sesama minoritas saat kami SMA dulu, dia dalam keyakinan, saya dalam kepribadian, Saya diam sejenak lalu berkata, tak ada orang Singaraja kalem, yang ada itu mereka banyak omong tapi baik hati, tak ada yang mengerti joke saya, sedih rasanya. Bla,bla,bla.. cerita saya tutup dengan kisah di rumah kost saat mau ujian masuk perguruan tinggi.
Saat saya dan seorang teman berkunjung ke rumah kost yang lebih banyak penghuninya teman SMA kami, kami terkejut saat ada seorang sahabat yang keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan apapun. Handuknya justru digantung di leher. Ya Tuhan,” jlema buduh nani!”, begitu umpat kami berdua dengan gusar.
Saat dikonfrontasi teman lain, memang gayanya begitu, setiap hari begitu, irit celana dalam katanya. Mimihhh, begitu kata kami berdua. Pulangnya sambil bersungut teman saya berbisik di telinga saya, entah kesal apa menyesal, saya menghentikan cerita. Lalu sang MC bertanya, “ apa yg dibisikkan teman anda pak??.”
Kebetulan yang bersangkutan ada disini, silahkan ditanya langsung!” jawab saya. Bergegas dicari teman saya itu, yang ditanya tak bisa menjawab. Balik sang MC ke saya,” tolong dijawab pak, jangan buat kami penasaran!”.
Dengan berat hati saya jawab, dia ngomong begini,” teras keleng jelema to, sing ngelah lek…tapi pantesan juari, gelahne gede soalne!”..hanya sedikit yang tertawa.
Sejak saat itu saya bulatkan tekad, tak mau lagi maju buat stand up comedi, seperti kata seorang sahabat,” Seperti kacang atom tut, kau garing sampai ke dalem”, sedih. [T]