MENURUT teman-teman, bagaimana sistem perkuliahan kita saat ini? Khususnya kampus yang berada di beberapa titik kota Indonesia, yang mungkin, namanya masih belum sebanding dengan kampus-kampus bergengsi seperti Oxford University di Inggris atau Harvard University di Amerika Serikat.
Wajah kampus kita saat ini memang beragam. Ada kampus yang memiliki sistem, peraturan, layaknya Orde Baru: otoriter, anti kritik, dan menginginkan mahasiswanya selalu tunduk-patuh terhadap peraturan, tidak usah ikut-ikutan hal-hal yang tidak jelas, sudah, fokus kuliah saja.
Sebaliknya, ada juga kampus yang terbuka (bukan UT), tak anti kritik, membebaskan mahasiswa untuk berkreasi dan berekspresi, dosennya tidak kolot (asyik), dan tentu menyenangkan bisa kuliah di kampus seperti ini.
Dan berbicara mengenai sistem kampus atau perkuliahan, ada salah satu film yang dirasa releate untuk menggambarkan bagaimana kehidupan mahasiswa di dunia bernama kampus.
Film ini dengan gamblang menyampaikan kritik tentang sistem pendidikan yang mendewakan teksbook dan hafalan. Juga, “meludahi” sistem perkuliahan yang seperti sirkus. Kemudian, mengolok-olok ketakutan-ketakutan yang dialami mahasiswa terhadap sistem pendidikan—dan agama—yang penuh tekanan.
Menghajar sistem rangking yang tidak hanya melahirkan persaingan yang tak sehat, tapi juga kebiasaan saling memakan di antara sesama. Dan, tentu saja, sebuah cara berpikir yang menyamakan pendidikan dengan selembar ijazah! Hingga bagaimana seharusnya mengejar keterampilan dan pengetahuan tanpa bertumpu pada pengakuan orang lain.
Semua hal itu, dapat kita jumpai dalam film India yang berjudul 3 Idiots, yang dirilis pada tahun 2009. Film ini dibintangi oleh Aamir Khan (sebagai Rancho), R. Madhavan (sebagai Farhan), Sharman Joshi (sebagai Raju), Kareena Kapoor (sebagai Pia) dan Booman Irani (sebagai Viru Sahastrabudi).
Seperti kata Mahfud Ikhwan dalam blognya, Dushman Duniya Ka (aku dan film india melawan dunia), dalam film ini kita akan menemukan kehidupan kampus, panorama ruang kuliah, hingga sesak pengap asrama, muncul di layar lebar dengan cara yang jauh ‘lebih layak dan semestinya’.
Lebih lanjut Mahfud menulis, dalam film ini, kita bisa dapatkan suasana kelas, perdebatan, hingga kegelisahan intelektual dan masa depan yang serupa dengan, ambil contoh, With Honor, Dead Poet Society, atau Good Will Hunting. Ditambah adegan-adegan mabuk-mabukan di malam hari, botol-botol anggur di bawah kursi, dan olok-olok pekok seputar Tuhan dan agama, membuat suasana kampus di 3 Idiots menjadi lebih lengkap lagi.
Maka, bagi mereka yang pernah menghuni bedeng-bedeng di pojok fakultas, atau yang pernah menumpang tidur, mandi, cuci, hingga menggarap skripsi di markas-markas unit kegiatan mahasiswa, 3 Idiots akan menjadi sebuah mesin waktu dan wahana nostalgia yang lumayan menjanjikan.
Masih mengutip tulisan Mahfud Ikhwan, film ini, oleh sutradaranya, Rajkumar Hirani, ditujukan untuk menjadi komentar sosial atas realitas yang terjadi di ranah pendidikan India, khususnya pendidikan tinggi. Seperti yang bisa ditangkap dalam dialog antara mahasiswa Rancho dan Pak Rektor Viru, India dihantui oleh angka bunuh diri pelajar tertinggi di dunia.
Hal ini, menurut Rancho, dan tentu saja menurut film ini, dikarenakan pendidikan di India memperlakukan peserta didiknya seperti mesin; dengan ujung dari semuanya semata adalah pekerjaan dan kesuksesan material.
Sistem perkuliahan seperti dunia sirkus, penuh tekanan!
Sistem perkuliahan yang terlihat seperti sirkus membuat mahasiswanya merasa tertekan dan terbebani. Seperti yang dikutip dari dialognya Rancho, ia mengatakan, hidup ini layaknya seperti dunia sirkus yang mengharuskan segala sesuatu di dalamnya untuk terlatih dengan keras. Tidak memperdulikan apakah mereka merasa nyaman atau malah sebaliknya merasa tertekan.
Sama halnya seperti sistem perkuliahan saat ini, di mana mahasiswa dituntut untuk terus berlomba-lomba dalam meraih nilai, meraih prestasi, dan dituntut untuk terus bersaing.
Dosen tak ubahnya seperti seorang pelatih dalam dunia sirkus yang memegang cambuk untuk membuat seekor singa atau gajah tunduk pada perintahnya. Hal itu bukannya membuat mereka bertambah pintar, tapi lebih kepada rasa takut terhadap cambuk yang membayangi pikiran mereka. Tentu, hal ini akan terlihat seperti tekanan yang sangat kuat terhadap mental mereka.
Hal itu juga kerap terjadi pada sebagian mahasiswa dalam dunia perkuliahan. Di mana mahasiswa tidak berani menyuarakan pendapatnya, atau memiliki sudut pandang yang berbeda dari dosennya—karena itu akan berpengaruh pada nilai, dan proses kelulusan mereka nantinya.
Tak jarang, beberapa mahasiswa hanya mengerjakan tugas layaknya seperti mesin, yang sudah di program oleh sistem kampus. Yang mereka kerjakan hanya sekadar untuk memenuhi tugas mata kuliah atau hanya sebatas hadir dalam setiap kegiatan di kampus. Sehingga tidak ada pembelajaran yang mahasiswa dapatkan dari hal tersebut, melainkan hanya ketakutan—dan tekanan—yang menyelimuti pikirannya.
Dalam film 3 Idiots, hal ini digambarkan dengan kondisi dari salah satu mahasiswa genius yang bernama Joy Lobo. Ia merupakan mahasiswa yang terobsesi dengan mesin, sehingga projek akhir kuliahnya ia membuat semacam drone, namun karyanya itu dipandang aneh dan membuang-buang waktu oleh Profesor Viru Sahastrabudi.
Joy Lobo tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan penemuannya, dan diancam untuk tidak diluluskan pada tahun tersebut. Sehingga, rasa putus asa dan ketakutan itu membuatnya memutuskan untuk bunuh diri, karena beban tekanan mental yang dihadapinya.
Sistem otoriter yang diterapkan
Dalam film 3 Idiots, tokoh yang menerapkan sistem otoriter itu adalah Profesor Viru Sahastrabudi, rektor kampus Imperial College of Engineering (ICE). Ia juga menerapkan sistem tersebut kepada keluarganya. Jika ia memiliki anak perempuan, harus menjadi seorang dokter. Jika anak laki-laki yang terlahir, harus menjadi insinyur.
Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi—karena anak-anak juga memiliki haknya sendiri untuk memilih apa yang mereka suka. Sehingga, anak laki-laki dari Viru Sahastrabudi meninggal bunuh diri, karena sudah tidak kuat dengan sistem yang dibuat oleh ayahnya sendiri—yang memaksanya untuk sekolah dan menjadi seorang iinsinyur.
Sistem otoriter ini juga ia terapkan di kampusnya, di mana tidak ada yang boleh menyangkal semua peraturan yang telah dibuat. Dan mengharuskan mahasiswanya untuk terus berlomba-lomba dalam menjalani dunia ini, untuk bisa menjadi yang nomor satu.
“Hidup ini adalah perlombaan, menjadi yang terbaik adalah tujuan yang harus dicapai, kita harus mampu menjadi burung Cuckoo yang tidak pernah membuat sarangnya sendiri, tapi dia mengakui sarang burung lain dengan mendepak telur-telur burung tersebut dari sarangnya,” begitulah pidato Viru Sahastrabudi yang terus diulang-ulang setiap ada mahasiswa baru.
Sistem otoriter seperti ini sudah seharusnya dihindari, jika pada akhirnya akan menimbulkan rasa tertekan kepada orang lain. Selain itu, hilangnya kebebasan seseorang dalam mengekspresikan dirinya sendiri juga dipandang kurang baik, karena dapat menimbulkan mental illness bagi mereka yang tidak memiliki pengendalian diri yang kuat.
Tak jarang, kita temui mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan karena tugas menumpuk yang diberikan, dan dikejar deadline yang tidak mengenal waktu.
Alih-alih menjadi paham dengan pelajaran-pelajaran yang didapatnya, mahasiswa hanya akan fokus kepada bagaimana cara untuk menyelesaikan tugas tersebut sampai selesai, dan pada akhirnya tidak ada pembelajaran yang mereka dapatkan. Miris![T]
*Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.