MANUSIA TIDAK BISA hidup sendiri. Manusia hidup berdampingan dan berkelompok dengan manusia lainnya di mana hal itu merupakan salah satu sebab dari kelestarian. Bahkan, menurut studi, kemampuan manusia dalam berkompromi dan membentuk sebuah kelompok–dan akhirnya membentuk sistem canggih–adalah hal membuat Homo Sapiens (manusia) dapat lestari jika dibandingkan dengan Homo Neanderthal yang lebih kuat secara fisik tetapi tidak bisa berkelompok sebaik Homo Sapiens itu sendiri.
Terlepas dari sisi positif, berkelompok juga dapat menimbulkan sisi negatif jika dilihat dari aspek manusia sebagai individu: terjadinya gesekan antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Gesekan antara manusia terjadi karena secara individu, manusia memiliki standar kebenaranya masing-masing. Gesekan tersebut dapat membuat permusuhan dan–bahkan–dendam. Harapan atas terjadinya “penebusan dosa” dari pihak yang berlawanan adalah kondisi yang lazim pada sebuah permusuhan.
Tetapi, apakah permusuhan dapat dijabarkan dengan sesederhana selesainya masalah nyata di antara kedua belah pihak? Bagaimana dengan kondisi di mana gejolak permusuhan yang tetap ada walaupun realitanya kedua belah pihak yang berseteru telah berdamai? Atau, bagaimana dengan gejolak permusuhan yang sudah hilang entah ke mana walaupun oposisi belum melakukan “penebusan dosa” secara nyata? Apakah permusuhan hanya ada dalam konteks imaginer?
Contoh yang cukup subtil sering terjadi pada proses psikoterapi rekonstruktif yang menyasar alam nirsadar. Sekadar penjelasan singkat, alam nirsadar adalah alam “bawah”, tidak tampak, dan tidak berada pada area kognitif tetapi sangat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap kekinian. Alam ini terbentuk dari “represi” atau proses menekan masalah dari alam sadar ke nirsadar akibat masalah tersebut terlalu berat untuk ditangani.
Proses represi yang berlangsung sejak lama akan membuat masalah semakin mengeras sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalaman jika masalah tersebut tidak direkonsiliasi dengan baik.
Pada orang-orang yang memiliki masalah dengan figur di masa kecilnya–misalkan, figur ayah atau ibu–di mana permusuhan di alam nirsadar tersebut belum terselesaikan dengan final, permusuhan akan tetap muncul walaupun permohonan maaf dan rekonsiliasi konflik di dunia nyata sudah terjadi. Permusuhan bisa jadi akan semakin parah jika tidak ada resolusi konflik nyata–bahkan jika konflik makin memanas–di masa kini dengan figur tersebut. Tidak sampai di situ.
Seseorang yang belum bisa berdamai dengan figur imaginer di alam nirsadarnya dapat melakukan reaksi negatif terhadap orang lain yang menampilkan gestur yang menyerupai figur imaginer tersebut.
Contoh dari konteks ini adalah karyawan muda–yang memiliki masalah dengan ibu sebagai figur imaginer di masa kecil–yang mudah naik darah saat berhadapan dengan atasan perempuan paruh baya yang memiliki nada dan gestur yang menyerupai ibu dari karyawan muda tersebut. Padahal, realitanya, nada dan gestur dari atasan tersebut adalah hal yang sangat biasa dan dapat ditolerir oleh karyawan lain. Nyatanya, tidak ada masalah signifikan dengan atasan paruh baya tersebut.
Hal yang lazim dilakukan oleh seseorang jika mendapatkan masalah adalah menyelesaikan masalah yang tampak nyata di depannya. Menggunakan contoh karyawan muda tersebut–dapat juga terjadi pada kasus lain, manusia akan berusaha mengubah kondisi eksternal saat mengalami masalah dengan orang yang mirip dengan figur bermasalah di masa lalu dengan cara menghindari, mengubah, atau bahkan menunggu kondisi eksternal di masa kini untuk berubah dengan sendirinya.
Tetapi, apakah masalah akan hilang dengan berubahnya kondisi eksternal? Padahal, pertemuan dengan orang lain di masa mendatang yang memiliki kemiripan dengan figur bermasalah di masa lalu sangat mungkin untuk terjadi lagi. Saat kondisi itu muncul, pola yang sama dan menghabiskan energi–dengan mencoba mengubah kondisi eksternal–bisa saja dilakukan kembali. Siklus yang sama bisa saja berputar berkali – kali. Lalu, mau sampai kapan?
Dari pada sibuk mengubah kondisi eksternal yang tak berkesudahan, bagaimana jika dendam ditelaah dengan menyempatkan waktu sejenak untuk bertanya kepada diri sendiri?
Bagaimana jika pengubahan kondisi eksternal agar menjadi lebih nyaman bukanlah solusi atas masalah yang muncul? Jangan-jangan, penciptaan kondisi eksternal yang selalu baru sejatinya hanya usaha untuk menghindari kenyataan? Jangan-jangan, tindakan yang sepatutnya diwujudkan adalah rekonsiliasi terhadap musuh imaginer di dalam diri manusia itu sendiri? Jangan-jangan, sejauh apapun manusia menghindar, musuh yang sama akan tetap mengikuti dan menjelma dalam bentuk lain selama manusia tersebut belum dapat berdamai dengan musuh imaginer di dalam dirinya sendiri?
Jangan-jangan, selama ini mata belati dendam sejatinya tidak mengarah ke musuh tetapi mengarah ke diri sendiri? [T]
- BACA artikel lain dari penulisKRISNA AJI